Search
Ladang Petani Tembakau

Kami Berjalan di Atas Tanah Sendiri, Dengan Kaki Sendiri

Tanah Evav, yang berarti “tanah leluhur” orang Kei, menempati posisi tinggi di dalam tradisi. Sebagaimana tercermin pada filosofi yang terkandung di atas. Sehingga salah satu alasan “berperang” adalah ketika tanah Evav diambil orang.

Kalau saya kembali pada ajaran nilai para “Tete Manis” (bahasa Maluku: “Leluhur”), yang banyak juga bisa ditemukan di daerah-daerah lain tentang bagaimana hubungan manusia dengan alam, dan bagaimana kita harus mempertahankannya habis-habisan, bukan semata karena alasan romantisme. Walau juga sama sekali tidak salah menjadi romantis untuk alasan itu. Tetapi lebih karena krisis luar biasa yang melanda banyak elit di negeri ini. Termasuk para elit non-negara (intelektual, media, aktivis dsb)! Pada mereka kita tidak temukan pandangan visioner berazaskan nilai-nilai “berjalan di atas tanah sendiri, dengan kaki sendiri, tegak lurus menuju Matahari.”

Demikian juga kalau saya dan beberapa teman membela industri kretek nasional, yang 100% sahamnya masih dimiliki pengusaha nasional (ada industri kretek nasional yang sudah dikangkangi kapitalis global), bukan semata karena alasan kecanduan merokok kretek (karena di dalam barisan kami juga ada yang bukan perokok), tetapi karena pada kami masih tertanam semangat solidaritas horisontal. Sebuah solidaritas yang tidak rela melihat saudari/a, orang tua, kerabat kami para petani cengkeh dan tembakau, buruh-buruh pabrik dan perkebunan, para pengecer baik yang di emperan kaki lima, warung maupun perempatan jalan, yang puluhan juta jumlahnya, digerus segelintir orang dan elit dengan menggunakan uang kapitalisme global.

Bisa jadi kami dianggap subyektif dan berpihak. Tanpa harus merasa malu, dengan pikiran dan hati terbuka kami akan berkata: “Ya, kami memang subyektif dan berpihak!” Dengan sadar kami berusaha keras membangun keberpihakan itu: sesuatu yang sudah langka dan kering di benak dan hati para elit kekuasaan, media, politisi, dan juga mereka yang menyebut dirinya AKTIVIS!!

Baca Juga:  Jika Iklan Rokok Dilarang, Kenapa Iklan Minuman Berenergi Tidak?

Pikiran dan perasaan sehat siapa yang tidak gelisah dan risau melihat bagaimana raksasa bisnis AS Blomberg, yang bagi kami tidak lebih merupakan “Hitler Masa Kini”– karena salah seorang anggota keluarga Blomberg menghalalkan genosida bagi bangsa Palestina– membiayai Perguruan Tinggi, Pemerintah dan LSM Indonesia untuk membunuh industri Kretek Indonesia yang strategis dan historis?

Seolah tidak ada tempat lagi bagi nurani dan akal sehat di negeri ini. Semua dikikis oleh kepentingan-kepentingan berdurasi ringkas dan nafsu pragmatis tanpa nurani, dengan efek sistematis dan beresiko merusak tatanan kesejahteraan puluhan juta manusia berjangka panjang. Dunia aktivis LSM dan lembaga riset perguruan tinggi, yang selama ini kering dan tidak punya greget visioner jauh ke depan, seperti campuran-campuran kandungan lahar dingin, dengan digerakkan oleh modal asing, siap menguntal nafkah hidup orang banyak.

Kawan saya Rony Siwabesi dari Saparua dan beberapa teman lain dari luar Jawa penghasil Cengkeh, dan BUKAN PEROKOK berkata: “Le, beta bukan perokok. Tapi tubuh, darah, nafas, dan pikiran beta dibesarkan oleh bunga Cingke (cengkeh). Katorang samua jadi terdidik hingga akhir karena kebun-kebun Cingke keluarga. Kalo semua itu terancam, katorang seng bisa diam, ale. Ini soal hidup mati.”

Baca Juga:  FCTC Dalam Pandangan Jokowi

Ada logika dari pernyataan masuk akal itu. Dan lebih dari itu semua, ada greget, ada pemihakan yang kuat untuk senantiasa menjaga kehidupan dari masa lalu ke masa depan. Pemihakan dan sikap logis “berdarah segar” menjaga kehidupan seperti ini yang tidak dimiliki oleh para elit politik, elit perguruan tinggi, dan elit LSM di Jawa yang terus-menerus mendukung pembunuhan industri Kretek nasional.

Ketika negara masih saja bingung dengan urusan birokrasi dan tetek bengek kepentingan politik dan belum juga selesai dengan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi bagi lebih dari 50 ribu keluarga pengungsi Merapi Yogya Jateng ketika para pengungsi itu sudah kembali ke desa-desa mereka yang rusak dan hancur lebur, dan para aktivis di Jakarta begitu ramai dan cerewet mau membunuh industri kretek lewat advokasi-advokasi liberalis mereka, sebuah perusahaan Kretek nasional malah mengambil inisiatif mengucurkan dana CSR mereka untuk menalangi kemandegan dan absentnya Negara di desa-desa lingkar Merapi. Di mana akal sehat dan nurani mereka itu? DI MANA…?!

Kami akan terus berada di atas tanah sendiri, berjalan dengan kaki sendiri, tegak lurus menuju Matahari.

“…langit di luar
langit di dalam

bersatu dalam jiwa…”

(WS. Rendra)