Press ESC to close

Simulakra Anti Tembakau

“Merokok sama dengan mati muda” Begitu mereka sering bilang.

Langsung kita balas: “Siapa tahu umur manusia ?”

Kita hidup dalam kecemasan; kecemasan yang kita hidupi setiap saat, kecemasan yang terbentuk secara sistematis dan bukan sekadar ekses dari perilaku budaya. Bahwa kecemasan ini bukanlah sesuatu yang natural, bukan sesuatu yang mengada bersama tumbuh-kembang habitus kita. Ia adalah fenomena emosional rekaan manusia. Saya akan menggaris bawahi frasa ‘buatan manusia’, yang selanjutnya bisa kita maknai sebagai sesuatu yang tidak semestinya kita alami, sebagaimana diskriminasi rasial, dan pembedaan kelas sosial berdasarkan strata ekonomi.

Berusaha menjadi tidak cemas, sebagaimana saban hari kita lakukan, merupakan perjuangan seumur hidup.

Sebagian dari kita memilih menekan kecemasan tersebut dengan berbagai cara, salah satunya ialah dengan pemakaian produk tembakau. Memang kecemasan tidak lantas hilang begitu saja, rasa cemas mempunyai dinamikanya sendiri, pasang-surut, timbul-tenggelam seiring kondisi eksternal yang mempengaruhi spiritual manusia. Mari kita kerucutkan ikhwal kecemasan. Pada realita, bahwa semua hal mengada di alam ini berada dalam pasangan yang saling bertolak belakang.

Emosi akan selalu beroposisi biner dengan logika.

Baca Juga:  Peran Pemerintah Daerah dalam Mengoptimalkan DBHCHT

Sampai di sini, kecemasan adalah melulu masalah emosi, setiap orang boleh melakukan apa saja yang dirasa baik buatnya, mampu meredam kecemasannya, selama tidak mengganggu orang lain.

Dalam konteks pola perilaku konsumsi produk tembakau sebagai usaha untuk menekan kecemasan, seringkali situasinya tidak seperti yang diharapkan. Akan selalu ada pihak-pihak yang menginginkan kecemasan berkuasa atas manusia, karena jika banyak orang tidak bisa mengatasi kecemasan, maka semakin banyak pula keuntungan material yang mereka (baca: kaum anti tembakau) peroleh.

Pihak-pihak anti tembakau menciptakan sebuah wacana, termaterialisasi ke dalam sebentuk simulakra (realitas rekaan). Realitas yang apabila kita cermati dan telisik lebih lanjut, sengaja dibuat untuk memanipulasi psikologi massa supaya membenci produk-produk tembakau, dan sekaligus konsumen produk tembakau. Setelah itu histeria massa pada tembakau adalah puncak tujuan mereka. Semena mereka memakai nalar untuk mengalahkan rasa, identik dengan memakai kemanusian untuk menundukkan manusia. Dalam pandangan saya, perilaku dari pihak anti tembakau tersebut adalah abusive; mendustakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kita tidak bisa menghindari kontradiksi dari waktu ke waktu.

Banyak skema dipakai untuk melegitimasi simulakra anti tembakau, mulai dari yang saintifik sampai yang dogmatis. Secara saintifik mereka bersandar pada dinasti kesehatan, yang secara empiris tidak kita temukan kebenarannya. Kalau dikatakan tembakau berpotensi membunuh seseorang, dari searatus teman yang mengkonsumsi tembakau, berapa banyak teman anda yang meninggal karena rokok? Berapa banyak yang meningal karena kanker akibat konsumsi tembakau? Hampir kita tidak bisa menemukan kebenaran empiris dari klaim anti tembakau di atas. Tidak puas dengan kebohongan saintifik, mereka melengkapi diri dengan kebohongan dogmatis, malalui imterpretasi banal atas dalil-dalil agama.

Baca Juga:  Apa Guna Perdes KTR di Kebumen?

Kebohongan akan selalu diikuti oleh kebohongan yang lain. Demikianlah, skema pembentukan simulakra anti tembakau. Simulakra yang dibangun dalam skema negativitas. Dan perkara simulakra yang berujung histeria massa ini sudah terlalu jauh dari porsinya, tidak lagi pada taraf manusiawi.

Bukan perkara menang atau kalah, adalah baik bilamana tercapai keseimbangan, proporsional dalam memandang suatu permasalahan.

Sumber Foto: Eko Susanto (Flickr)

Joel Swarman
Latest posts by Joel Swarman (see all)

Joel Swarman

Starving Artist . simple . direct . and functional. yogyakarta