Press ESC to close

Berlaku Adil pada Industri tembakau

Mundurnya Sigit Pramudito selaku Dirjen Pajak dua hari lalu cukup mengejutkan khalayak. Apalagi pernyataan mundur ini disampaikan pada bulan Desember, bulan dimana target penerimaan panjak sedang dikejar habis-habisan. Sigit sendiri pernah menyampaikan kalau realisasi penerimaan pajak hanya akan berkisar di 85% saja.

Tahun ini, pemerintah memang sedang menggenjot pemasukan negara dari sektor pajak. Banyak sektor industri yang pajaknya dinaikan untuk mencapai target, salah satunya pajak dari industri tembakau. Tahun 2015 saja, pemerintah menargetkan pemasukan cukai rokok sebesar Rp 131 triliun.

Memang setiap tahunnya industri hasil tembakau memberikan pemasukan yang signifikan terhadap negara. Tahun lalu, penerimaan negara dari cukai saja mencapai 112 triliun. Dan ini baru dari cukai hasil tembakau, belum pajak-pajak lainnya yang dikenakan pada industri ini.

Sayangnya, target tinggi pemerintah tahun ini banyak tidak terealisasi. Hingga bulan oktober saja realisasi penerimaan pajak oleh negara baru mencapai 57%, padahal tinggal tersisa dua bulan hingga tutup tahun. Begitu juga dalam target penerimaan cukai tembakau, pemerintah baru merealisasikan sekitar 62% dari target penerimaan Rp 120,5 triliun.

Baca Juga:  Kaleidoskop 2021: Wacana Revisi PP 109/2012 Hingga Intervensi Bloomberg

Pemerintah terlalu ambisius dengan menaikan target penerimaan, padahal kondisi ekonomi Indonesia tahun ini sedang lambat-lambatnya. Malah, untuk industri tembakau, pemerintah tidak memberikan insentif atau keringanan seperti deregulasi dalam paket kebijakan ekonomi yang Ia keluarkan untuk industri nasional.

Hal ini jelas memperlihatkan kalau pemerintah memperlakukan industri tembakau sebagai sapi perah mengingat penerimaan negara dari sektor lain tidak tercapai. Meski memang tiap tahunnya selalu mengalami kenaikan pendapatan, tapi pemerintah tidak sepantasnya hanya mengandalkan cukai tembakau sebagai sarana penerimaan negara.

Tahun depan, pemerintah telah memutuskan kenaikan cukai tembakau mencapai 11%. Hal ini tentu membuat pengusaha di industri tembakau ketar-ketir mengingat tingginya beban yang harus mereka tanggung untuk negara. padahal, tahun ini saja, realisasi target penerimaan cukai oleh negara belum tercapa, dan bisa jadi tidak tercapai.

Pemerintah harusnya menyadari kalau kondisi perekonomian memang sedang sulit. Ketika industri lain mendapatkan keringanan dalam urusan pajak dan lain-lain, kenapa hanya industri tembakau yang ditumbalkan untuk menambal kekuarangan kas negara. Kalau terus begini, bisa jadi akan terjadi PHK besar-besaran bagi para pekerja di industri ini.

Baca Juga:  Merokoklah, Tapi Hormati Hak Kami

Pemerintah harusnya belajar dari mundurnya Dirjen Pajak agar tidak terlalu ambisius dalam menentukan target penerimaan. Apalagi dengan kondisi perlamatan ekonomi seperti sekarang. Selain itu pemerintah juga harus memberikan solusi agar iklim perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik nantinya.

Dan yang terpenting, pemerintah harus melihat industri tembakau sebagai mitra yang baik. Yang tiap tahunnya menyumbangkan pemasukan yang signifikan pada negara, bahkan melebihi apa yang dikeluarkan Freeport. Jangan sampai perlakuan tidak adil pada industri ini membuatnya kolaps dan membuat kondisi perekonomian semakin kacau.

Renal Rinoza
Latest posts by Renal Rinoza (see all)

Renal Rinoza

Penulis, Bergiat di Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI)