Search
tembakau temanggung

Jangan Jadi Pembunuh, Buya

“…..harus dipertimbangkan juga buruh pabrik rokok, petani tembakau dan lain-lain,” Ahmad Syafii Maarif

Demikian penggalan dhawuh Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, saat dimintai pendapat mengenai fatwa rokok haram yang disepakati Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 di Yogyakarta.  Dalam berita yang ditulis oleh dua wartawan (Siswanto dan Suryanta Bakti Susila) dan diterbitkan pada Minggu, 14 Maret 2010 di Viva.co.id tersebut, Kiai Syafii Maarif mendukung betul pelarangan merokok dengan mempertimbangkan beberapa aspek, mulai dari nasib buruh pabrik rokok, petani tembakau dan lainnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Majelis Tarjih, Yunahar Ilyas mengungkapkan, bahwa fatwa yang dikeluarkan Muhammadiyah mengingat prinsip at-tdriij (berangsur), at-taisir (memudahkan) dan ‘adam al-kharaj (tidak mempersulit). Dan begitu juga Din Syamsuddin berpesan, agar semua pihak tidak terbawa polemik fatwa pelarangan merokok. Artinya, fatwa haram merokok bukanlah harga mati agar manusia meninggalkan barang nikmat yang menjadi salah satu magnet datangnya penjajah ke Nusantara.

Asal punya argumen yang oke, silahkan pilih jalan masing-masing, hidup itu sederhana, yang membuat rumit adalah penafsirannya.

Kala itu, meski Ki Ageng Suryo Mentaram pernah memvonis manusia tak akan mencapai puncak kebahagiaan selama masih memeliki keinginan, nyatanya saya merasa sangat bahagia mengetahui Don Muhammadiyah yang notabene pengemong masyarakat berpendapat bijaksana seperti demikian. Benar-benar bisa dijadikan panutan umat.

Betapa bijaksananya Kiai Syafii Maarif dalam mempertimbangkan hal ini.  Beliau begitu peka terhadap nasib kaum buruh rokok dan para petani tembakau yang jumlahnya tidak sedikit itu. Mungkin, dulu Kiai Syafii Maarif tidak ingin hatinya teriris tatkala menyaksikan bertambahnya pengangguran di Indonesia apabila rokok hilang dari negeri ini. Tak bisa dibayangkan juga, seandainya industri rokok gulung tikar, bagaimana pusingnya Pak Jokowi memikirkan rakyatnya yang kluntang-kluntung tak memiliki pekerjaan.

Namun apa boleh buat, Tuhan menciptakan manusia dengan sifat hati seperti air mendidih. Sekarang bilang A, satu detik kemudian mungkin tak lagi mengingat A, cepat muveon. Kebahagiaan saya seketika sirna usai membaca opini yang ditulis Kiai Syafii Maarif di Kompas pada 19 Januari kemarin. Dengan lantang Beliau menulis opininya dengan judul Pembunuh Itu Bernama Nikotin.

Dalam opininya, Kiai Syafii Maarif menyebutkan angka kematian dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan negara akibat rokok dengan jumlah dan nominal yang begitu fantastis.   Bayangkan, angka kematian akibat rokok (dalam hitungan tahun) mencapai 235.000 jiwa dan dana yang harus dikeluarkan negara sebesar 11 triliyun. Bukan main bukan?

Baca Juga:  Pramoedya Ananta Toer dan Kretek

Saya tidak bisa memastikan bahwa 235.000 jiwa itu benar-benar mati karena rokok dan 11 triliyun itu benar-benar dikeluarkan untuk mengurus perokok yang penyakitan. Karena kita sama-sama tahu, mati tak punya sebab. Dan masalah uang, bangsa kita memiliki budaya “sunat” anggaran yang menakjubkan.

Kenapa saya bilang mati tak punya sebab? Ini saya berikan contoh. Ada A yang jatuh dari tebing setinggi 20 meter, namun ia hanya patah tulang, tak sampai nyawanya melayang. Sedangkan B terpeleset saat berjalan, namun harus diantarkan menuju kuburan. Logika kita tentu tidak begitu terima dengan dua kejadian ini, yang seharusnya wassalam ya Si A, bukan B yang hanya terpeleset, bukan?

Begitulah mati, barang yang tak pernah diharapkan tapi pasti akan selalu datang. Kalau waktunya mati ya pasti mati, kenapa kita doyan sekali merangkai-rangkai sebab kematian? Entahlah.

Mungkin Kiai Syafii Maarif menghapus memori ingatan mengenai gigih dan tetap sehat kwarasannya para mbah-mbah pengkretek yang sudah keriput kulitnya. Mereka masih hidup sehat dan tetap produktif meski mulutnya tak pernah berhenti mengepulkan asap.

Kiai, bacalah buku Mereka yang Melampaui Waktu, biar panjenengan melihat gambaran para sesepuh kita yang doyan ngretek namun masih kuat nyawah, bekerja keras dan memiliki semangat tinggi dalam berjuang. Mereka memiliki resep pribadi untuk menjaga kesehatan. Jangan dikira dokter adalah sandaran kesehatan para tetua itu. Bagi mereka, bisa makan saja sudah sangat untung. Jangan-jangan mereka yang panjenengan katakan mati sebab nikotin itu makanannya sudah tak lagi steril, dipenuhi bahan kimia yang pabriknya menyesakkan dada itu? Jangan-jangan yang membunuh mereka adalah kaum intelek dan pemerintah yang suka tutup mata terhadap mereka? Tak pernah memerhatikan wong cilik? Dan membuat peraturan seenak udelnya? Kiai, jangan bunuh ketentraman kakek-kakek itu dengan tulisan panjenengan, karena satu-satunya hiburan mereka adalah merokok. Ngapuntene Kiai.

Negara ini patut bangga memiliki cita rasa kretek yang khas. Yang membuat iri negara-negara lain untuk mematikan kretek di Bumi Pertiwi ini. Maka, jika negara Indonesia ingin melihat rakyatnya sehat dan selalu bahagia, perlu langkah berikut: (1) Menaikkan cukai rokok sesuai kantong para perokok. Tidak perlu ikut standar Bank Dunia dan WHO. Percayalah, bahwa Bangsa ini sudah keren dan punya standar sendiri sejak dulu; (2) membuat regulasi iklan merokok wajib kreatif dan ramah lingkungan (padahal sejauh ini tidak ada iklan rokok yang menampilkan orang merokok; iklan paling tidak nyambung sedunia. Kayak gitu masih dilarang); (3) regulasi lain yang berangsur dapat menginsafkan rakyat Indonesia untuk berhenti menghujat rokok serta penikmatnya dan petani tembakau secara serius menggarap lahan untuk ditanami tembakau supaya dapurnya tetap mengepul.

Baca Juga:  Rekam Jejak Sri Mulyani si Menteri Pendukung FCTC

Terakhir, mari kita membudayakan tidak hanya menyantap daging. Karena tulang dan sumsum yang sering orang asing abaikan, jika diolah dengan baik, memiliki cita rasa yang lebih gurih. Persoalan FCTC, kampanye anti rokok, dan segala macam regulasi yang ingin membunuh tembakau Indonesia jangan hanya dilumat dagingnya, coba sekali-kali kita olah tulang dan sum-sumnya. Karena di situlah sebenarnya “letak segala sesuatunya”.

Ibil S Widodo