Search
cengkeh indonesia

Cengkeh, Tanaman yang Kerap Diterpa Musibah

Sejak kali pertama Portugis datang ke wilayah Nusantara pada awal abad ke-16, mereka telah mencium satu komoditas yang nantinya bakal menjadi alasan bangsa asing menjajah negara kita. Ya, rempah bernama cengkeh. Rempah yang tidak tumbuh di Eropa ini digunakan untuk mengawetkan makanan.

Sebagai salah satu tanaman endemik Indonesia, cengkeh diperjualbelikan dengan harga yang tinggi di Eropa. Pada saat itu, harga satu kilogram cengkeh sama dengan harga 7 gram emas. Oleh karena itu, negara-negara Eropa datang ke Nusantara untuk menguasai cengkeh.

Tapi, itu cerita masa lalu. Setelah negara Barat menemukan mesin pendingin bernama lemari es, pengawetan makanan tak lagi menjadi urusan cengkeh. Pasar cengkeh di Eropa pun berkurang dan harganya jatuh. Pemanfaatan cengkeh sebagai bumbu makanan dan bahan lainnya jelas tidak sebesar pemanfaatannya sebagai pengawet makanan.

Beruntung, penggunaan cengkeh sebagai salah satu bahan baku utama kretek membuat harganya terdongkrak lagi. Kebutuhan industri kretek, yang dimulai perusahan rokok Tjap Bal Tiga, membuat produksi cengkeh kembali naik. Masyarakat yang tadinya merugi karena kurang lakunya cengkeh kini kembali menjadikannya primadona mata pencaharian masyarakat.

Upaya budi daya cengkeh kemudian tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Jika dulunya tanaman ini banyak ditanam di wilayah kepulauan Maluku, kini cengkeh tersebar dari Kalimantan, Jawa, hingga Sumatra. Berkembangnya industri kretek pada periode 1950-an membuat harga cengkeh melangit.

Baca Juga:  Soal Pelajar Merokok, Guru Harus Edukatif Bukan Unjuk Kekuatan

Sayang, tingginya harga cengkeh saat itu menggoda rezim Orde Baru untuk memonopoli perdagangan cengkeh dalam negeri melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang sangat merugikan petani. Di bawah naungan lembaga itu, harga cengkeh di tingkat petani hanya dihargai Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilonya. Dampaknya, ratusan ribu pohon cengkeh ditebang atau dibiarkan telantar tak terurus.

Sesudah reformasi, keberadaan BPPC ditiadakan. Perlahan tapi pasti, harga cengkeh merangkak naik seiring bertambahnya tahun. Puncaknya, harga cengkeh mencapai angka Rp200.000 per kilo pada 2012. Tingginya harga jual dan kecenderungan harganya yang stabil membuat cengkeh menjadi salah satu komoditas primadona di Indonesia. Terpenting, para petani cengkeh kembali menikmati kehidupan yang baik.

Ibarat kata, hidup yang selalu berputar seperti roda, terkadang berada di atas kadang ada di bawah. Begitu pun nasib cengkeh. Pasang dan surutnya pertanian cengkeh terus berlanjut. Ketika harga cengkeh sedang bagus-bagusnya, petani ketiban masalah karena hoax kenaikan harga yang mencapai Rp50.000 per bungkus.

Ketika itu, harga cengkeh merosot tajam karena kepanikan pasar. Bahkan harga cengkeh anjlok hingga angka Rp65.000 per kilo. Padahal, harga terendah sebelumnya masih mencapai angka Rp80.000 hingga Rp90.000 per kilo.

Melihat persoalan di atas, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah begitu mempengaruhi pasang surutnya harga cengkeh. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan wacana liar soal rokok Rp50.000 perbungkus menjadi satu bukti betapa berpengaruhnya kebijakan politik dalam perdagangan cengkeh.

Baca Juga:  Saatnya Cukai Sigarete Kretek Tangan Dihapus

Setelah isu itu tak terbukti, harga cengkeh hari ini mulai stabil dan kembali ke harga normal di angka Rp120.000 per kilo. Petani kembali menaruh harapan yang tinggi terhadap tanaman ini. Namun, patut diingat, naikturunnya harga cengkeh amat dipengaruhi kebijakan pemerintah. Apalagi kebijakan pemerintah terkait industri kretek banyak merugikan. Padahal industri kretek merupakan satu industri yang menyerap lebih dari 95% produksi cengkeh nasional.

Ada baiknya pemerintah mulai memperhatikan hal ini. Apalagi pemasukan pemerintah dari sektor cukai salah satunya didukung oleh komoditas ini. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap cengkeh tentu bakal mempengaruhi pendapatan mereka karena selama ini, bagi banyak petani cengkeh, keberadaan industri kretek lebih memberikan pengaruh baik pada penghidupan mereka ketimbang keberadaan negara yang banyak merugikan.

Aditia Purnomo