Press ESC to close

Jangan Ngomong Negatif Soal Kretek Kalau Tidak Tahu Siapa yang Berkepentingan

Selama ini kretek selalu dianggap sebagai biang keladi atas berbagai penyakit yang dialami masyarakat. Mulai dari jantung, kanker, hingga gangguan kehamilan semuanya selalu disebabkan satu faktor; kretek. Padahal, jika kita mau adil, semua penyakit di atas tidak serta merta disebabkan oleh kretek sebagai faktor tunggal.

Jika menilik sejarah, kretek diciptakan oleh Haji Djamari untuk meredakan sesak nafas yang dialaminya. Ia melakukan inovasi sederhana dengan mencampur cengkeh pada tembakau yang dilinting daun jagung. Hasilnya, sesak nafasnya sembuh dan kretek menjadi dikenal masyarakat. Kenapa bisa begitu? Karena memang cengkeh memiliki manfaat sebagai pereda sesak dan baik untuk kesehatan jantung.

Hal inilah yang kadang dilupakan banyak orang bahwa kretek berbeda dengan rokok putih biasa. Jika kretek adalah perpaduan antara cengkeh dan tembakau, maka rokok hanya menggunakan tembakau sebagai bahan utama. Ketidakpahaman atas hal ini membuat generalisasi bahwa kretek dan rokok adalah sama.

Akhirnya kretek tetap saja dianggap sebagai penganggu kesehatan, tentu menurut para ahli kesehatan. Padahal, kebanyakan penelitian kesehatan terkait tembakau selalu berdasar rokok putih biasa yang jelas berbeda dengan kretek. Saya sendiri belum menemukan riset kesehatan yang menjadikan kretek sebagai objek penelitian. Lagipula, berapa banyak riset kesehatan terkait tembakau yang diperbarui? Kalaupun data terbaru keluar, malah beberapa menyatakan bahwa riset terdahulu salah.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik, Sudahkah Pemerintah Memenuhi Hak Perokok?

Terkait keengganan Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ada hal yang patut dipahami oleh publik. Selain Tiongkok, kebanyakan negara yang meratifikasi traktat internasional itu tidaklah memiliki kepentingan ekonomi terhadap tembakau. Kalaupun Tiongkok mau meratifikasinya, itu karena negara tirai bambu ini memiliki kontrol kuat terhadap pertanian dan perdagangannya.

Sementara di Indonesia, tata niaga tembakau masih memiliki banyak lubang. Hal ini tentu harus diperbaiki, tapi tidak berarti Indonesia perlu meratifikasi FCTC. Untuk hal ini, Indonesia harus mengingat besarnya kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya negara serta masyarakat terhadap tembakau. Kalau Singapura atau Denmark meratifikasi traktat tersebut, hal itu bisa dimaklumi mengingat mereka tak memiliki kepentingan terhadap tembakau.

Coba lihat Kuba atau Argentina yang sama seperti Indonesia, memiliki kepentingan yang tidak sedikit pada tembakau, mereka juga tidak meratifikasi traktat tersebut. Lagipula Amerika Serikat sendiri tidak melakukan hal tersebut. Jadi jangan sampai salah menyatakan Indonesia harus meratifikasinya, wong jelas-jelas negara seperti Amerika Serikat saja tidak melakukan itu.

Baca Juga:  Upaya Phillip Morris Mendominasi Bisnis Tembakau Dunia

Kalaupun kita semua (harus) sepakat jika kretek dan tembakau adalah pembunuh massal, kenapa yang dilakukan adalah mengendalikan (perdagangan) tembakau? Kenapa para aktivis kesehatan tidak mendorong negara ini untuk mengilegalkan rokok serta tembakau. Ini juga hal penting yang perlu diketahui khalayak. Jangan sampai terjerat kampanye negatif terhadap kretek, tapi tidak tahu apa kepentingan mereka yang mendorong pengendalian tembakau ini.

Muhammad Yunus

Mahasiswa UIN Jakarta doyan ngisap Rokok