Press ESC to close

Harga Rokok Naik, Sudahkah Pemerintah Memenuhi Hak Perokok?

Kenaikan harga jual rokok di pasaran mulai mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan pemerintah menaikkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang semula 8,7% menjadi 9,1%. Belum lagi pada tahun ini cukai rokok juga mengalami kenaikan tarif sebesar rata-rata 10,54%, dan meningkatkan harga jual eceran rokok di pasar.

Untuk kenaikan tarif PPN, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan Atas PMK No. 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Sementara kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok berdasarkan PMK Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/3012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Yang perlu diketahui oleh para perokok atas kenaikan harga ini adalah perokok pada tahun ini menyumbang lebih banyak kepada negara. Sederhananya begini, jika kita membeli sebungkus rokok kretek filter dengan harga Rp16.000 maka ada tiga komponen pajak yang dikenakan atas pembelian sebungkus rokok kretek filter. Adapun tiga komponen tersebut, yakni pungutan cukai per batang, PPN, dan Pendapatan Daerah Retribusi Pajak (PDRP). Kalau anda mau menghitung lebih rinci berapa alokasinya, silahkan baca Mari Belajar Cara Menghitung PPN Rokok.

Hal ini sangat penting untuk diketahui sebab berkaitan dengan kesadaran menuntut hak konsumen rokok kepada pemerintah. Pertanyaan kritisnya kira-kira begini, sudahkah pemerintah memperhatikan hak konsumen rokok? Sudahkah pemerintah berlaku adil terhadap perokok? Mari sama-sama kita membedah sejauh mana pemerintah melaksanakan kewajibannya dalam memperhatikan hak konsumen rokok.

Baca Juga:  Siasat Sarri Menyoal Larangan Merokok

Pertama soal penyediaan ruang merokok. Semakin hari semakin banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang menerapkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sejatinya penerapan Perda KTR adalah solusi yang baik untuk saling menghargai hak perokok dan bukan perokok. Namun pada pelaksanaannya, Pemda yang menerapkan Perda KTR justru abai terhadap penyediaan ruang merokok. Padahal menyediakan ruang merokok pada KTR hukumnya wajib disediakan, sebab ruang merokok adalah amanat konstitusi yang tertera pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011.

Berdasarkan hasil survei di tahun 2014 yang dilakukan oleh Komunitas Kretek dan Indonesia Berdikari mengenai “Tempat Khusus Merokok yang Nyaman Versi Perokok” menyatakan bahwa 58,1% responden dari 12 kota tidak menemukan adanya ruang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Bahkan lebih parahnya lagi, Perda KTR sarat akan kriminalisasi terhadap perokok.

Dapat dilihat dari penerapan sanksi Perda KTR yang memuat sanksi pidana dan denda yang berlebihan, menabrak daripada hukum perundang-undangan. Ini artinya pajak yang disetorkan perokok kepada negara melalui pemerintah belum memperhatikan penyediaan ruang merokok yang seharusnya menjadi hal terpenting bagi hak konsumen rokok.

Kedua soal masih sering diterimanya perlakuan diskriminatif terhadap perokok. Perlakuan diskriminatif  secara verbal maupun non verbal masih sering diterima oleh perokok. Bukan hanya masyarakat umum saja yang mendiskriminasi perokok, kerap kali pemerintah andil mendiskriminasi perokok. Seperti yang terjadi baru-baru ini, Jokowi mengatakan kepada publik bahwa merokok adalah faktor penyumbang kemiskinan dan dianggap membebani negara.

Padahal permasalahan kemiskinan adalah permasalahan yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan melihat variabel rokok. Terlebih dengan dikatakannya sebagai beban bagi negara rasanya tidak relevan dengan apa yang sudah disumbangkan perokok kepada negara melalui skema pajak konsumennya.

Baca Juga:  Apa Benar Perokok Hanya Menguntungkan Pengusaha?

Belum lagi di daerah-daerah juga terdapat Pemda yang memperlakukan perokok sewenang-wenang, seperti kasus dilarangnya mendapat akses kesehatan, bahkan tidak bisa mendapat kenaikan pangkat di pemerintahan. Untuk kasus masyarakat umum dengan dikepalai oleh barisan antirokok melakukan banyak hal yang mendiskriminasi perokok, seperti mengajak untuk membenci perokok yang seakan-akan biang dari munculnya penyakit tertentu, dan tindakan diskriminatif lainnya.

Atas dua permasalahan tersebut, meskipun masih banyak lagi sebenarnya, kami para perokok memandang bahwa pemerintah hanya memeras keuntungan dari perokok, namun belum memperhatikan hak-hak perokok, terutama perihal ruang merokok. Maka dengan telah dimulainya kenaikan harga rokok di pasaran, pemerintah juga secepatnya harus merespons permintaan perokok perihal ruang merokok dan perlakuan yang adil bagi perokok.

Jika tidak, sudah siapkah pemerintah jika para perokok membangkang untuk tidak membayar pajaknya? Karena berhenti merokok sementara untuk memberi shock terapy kepada pemerintah bukanlah hal yang sulit untuk kami.

Fauzan Zaki

Hanya manusia biasa