Press ESC to close

3 Keistimewaan Rokok bagi Negara

Rokok boleh saja dianggap kontroversial oleh masyarakat yang telah terpengaruh oleh kampanye pengendalian tembakau. Namun bagi pemerintah dan masyarakat lainnya, rokok memiliki keistimewaan yang tak bisa lagi dibantahkan. Keistimewaan tersebutlah yang sampai hari ini rokok beserta aktivitas merokoknya masih dianggap legal, bahkan dilindungi oleh Undang-Undang.

Bagi masyarakat Indonesia, rokok yang memiliki keistimewaan tersebut adalah kretek yang merupakan bagian dari warisan budaya bangsa Indonesia. Selain tentunya manfaat sosial-budaya-ekonomi bagi masyarakat. Sedangkan keistimewaan rokok bagi negara, sudah sejak dahulu sama-sama diketahui sebagai sektor strategis tulang punggung negara dalam hal pendapatan negara yang sangat besar. Berikut adalah alasan rokok menjadi istimewa bagi negara :

1. Pendapatan Negara dari Sektor Rokok Besar

Perlu diketahui bahwa pendapatan negara dari sektor rokok didapat dari sektor pajak dan bea cukai. Disana terdapat pungutan negara dari Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Daerah Retribusi Daerah (PDRD). Belum lagi dari hasil ekspor dan bea masuk sektor rokok yang nilainya juga besar.

Dan ketika berbicara pendapatan negara dari sektor rokok, selama bertahun-tahun selalu mengalami kenaikan yang signifikan. Selain karena memang negara menargetkannya naik, juga karena sektor rokok yang paling realistis dan konsisten menyumbang untuk pendapatan negara. Bahkan meskipun regulasinya banyak yang merugikan industri rokok karena alasan kesehatan, namun berbicara angka yang disetor dari sektor rokok tahun ke tahunnya selalu diandalkan negara untuk menyelamatkan kas negara.

Pada 2015 dan 2016 misalnya, pendapatan negara hanya dari cukai rokok saja sudah sangat besar. Bahkan jika boleh dibandingkan dengan sektor strategis lainnya, rokok selalu menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan negara.

Mantan Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin pernah mengatakan, industri rokok merupakan salah satu industri penyumbang pendapatan negara terbesar. Bahkan, jika dibandingkan dengan minyak dan gas bumi (migas), devisa negara dari industri rokok jauh lebih besar.

Terakhir pada 2016 lalu, pendapatan negara hanya dari cukai rokok saja sebesar Rp 137 Triliun (Seratus Tiga Puluh Tujuh Triliun Rupiah). Dari pajak pertambahan nilai berdasarkan golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) jumlahnya hampir Rp 20 Triliun (Dua Puluh Triliun Rupiah). Belum lagi jika dihitung dari golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), Cerutu, dan Hasil Tembakau lainnya.

Jika pendapatan negara dari tax amnesty  yang dimulai dari Juli 2016 hingga akhir Maret 2017 realisasinya hanya sebesar Rp 127 Triliun, itupun dengan setengah mati pemerintah menggenjot warga negaranya untuk mendaftar tax amnesty. Dibandingkan dengan setoran sektor rokok, pemerintah tak repot-repot untuk mendapatkan setoran yang lebih besar dari hasil tax amnesty. Hanya menargetkan lebih besar, dan simsalabim sektor rokok dengan konsisten menyelamatkan pendapatan negara.

Baca Juga:  Memahami Ruang Merokok

2. Sektor Rokok Dikuasai oleh Negara

Seringkali kita lupa bahwa industri rokok sebenarnya adalah industri yang dikuasai oleh negara. Walaupun bukan dalam artian sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebenarnya. Tapi jika kita jeli melihat skema yang berjalan di sektor rokok, maka asumsi bahwa sektor rokok dikuasai oleh negara tidak dapat dipungkiri. Lihat saja dari komponen pungutan negara terhadap rokok, berdasarkan Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, bahwa satu batang rokok sekitar 70% sudah diberikan kepada negara.

Jadi ketika perokok membeli sebatang rokok terdapat komponen Cukai, PPN, dan PDRD yang menjadi pendapatan negara. Adapun persentase dari setiap komponen tersebut pada tahun ini, yakni  57 persen untuk cukai rokok berdasarkan Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, PPN sebesar 9,1 persen, dan PDRD sebesar 10 persen.

Dari besarnya persentase negara mengambil keuntungan dari sebatang rokok tersebut, kita dapat mengasumsikan bahwa sektor rokok sejatinya dikuasai oleh negara. Sehingga meski secara kepemilikan sektor rokok dimiliki oleh swasta, tapi pada praktek penguasaan keuntungannya dikuasai lebih besar oleh negara.

Jika lagi-lagi kita cermat menghitung harga sebungkus rokok tanpa pungutan negara yang begitu besar, harga jual rokok sangatlah murah. Menjadi mahal karena pungutan negara yang sangat besar di dalamnya. Jika tidak percaya, cobalah anda buktikan dengan membeli rokok illegal. Bandingkan harganya yang sangat murah dengan rokok legal yang setiap tahunnya mengalami kenaikan.

Maka jangan heran jika pemerintah selalu menyebut bahwa sektor rokok adalah sektor strategis bagi negara. Karena dibalik dari setoran sektor rokok yang sangat besar kepada negara, ternyata sektor rokok sejatinya juga dikuasai oleh negara. Bisa dikatakan juga bahwa selama ini industri rokok setingkat dengan BUMN yang nilai keuntungannya sebagian besar untuk pemasukan kas negara.

3. Menyerap Tenaga Kerja yang Besar

Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun mengenai keistimewaan sektor rokok dalam menyerap tenaga kerja yang besar. Siapapun pemerintahannya, pasti mengakui bahwa ada penyerapan tenaga kerja yang besar pada sektor rokok.

Baca Juga:  Awas, Perda KTR Tangsel Sarat Kriminalisasi

Jumlah tenaga kerja untuk industri rokok secara keseluruhan melibatkan sebanyak 6,1 juta orang. Tentunya ini adalah angka kasarnya saja yang kalau mau diteliti lebih lanjut dari hulu ke hilirnya kita pasti akan menemukan angka yang lebih besar lagi jumlahnya. Dari hulu misalnya, jumlah petani tembakau dan cengkeh saja, berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian menunjukan jumlahnya sudah hampir 3 juta Rumah Kepala Keluarga (KK).

Belum lagi berbicara di sektor pengolahannya, sirkulasi, pedagangnya, hingga pekerja advertising dan medianya. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dakhiri pun menyebutkan bahwa jumlah pekerja sektor rokok lebih dari enam juta. Dari pertanian tembakau sampai industri rokok. Distribusi dan segala macamnya. Jumlah pekerja dalam industri rokok, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga memperkirakan sekitar 6,1 juta orang pekerja di dalamnya.

Industri rokok yang juga disebut sebagai Industri Hasil Tembakau (IHT) ini telah membentuk rangkaian lapisan pekerja, mulai dari perkebunan dan pengolahan tembakau sampai industri rokok. Sebagian besar pekerja terserap dalam industri kecil yang masih menggunakan tangan atau sigaret kretek tangan (SKT). Lapisan ini masih ditopang dengan pekerja dagang untuk memasarkan tembakau dan rokok baik untuk pasar domestik (domestic demand) maupun pasar ekspor.

Maka tak heran jika pemerintah selalu menegaskan apabila sektor rokok ini mati akan berdampak signifikan kepada ketenagakerjaan di Indonesia. Dan penyerapan tenaga kerja yang besar inilah selalu menjadi pertimbangan pemerintah dalam setiap perbincangan terkait sektor rokok.

Dari ketiga alasan tersebutlah yang menjadikan rokok dipandang strategis dan istimewa bagi negara. Dapat kita bayangkan jika sektor rokok ini mati diakibatkan oleh kampanye pengendalian tembakau yang semakin hari makin massif, maka tiga hal keistimewaan rokok bagi negara akan hilang. Mari kita lihat apakah negara berani kehilangan tiga hal yang istimewa dari sektor rokok tersebut. Kalau berani silahkan ilegalkan rokok yang selama ini sudah seperti industri plat merah bagi negara.

Azami Mohammad

Doyan aksi meski sering dipukul polisi