Press ESC to close

Betapa Rewelnya Negara Kita pada Rokok

Kalau mau betapa lebaynya negara ini sama rokok, ingatlah peristiwa ketika Menteri Susi Pudjiastuti kegep sedang merokok usai pelantikan Menteri Kabinet Kerja Jokowi akhir 2014 silam. Media begitu santernya memberitakan ulah menteri Susi. Percakapan di media sosial tak bisa dibendung, seperti biasanya. Sebagian kalangan memaki dengan alasan moral lantaran seorang menteri tak semestinya melakukan polah itu, apalagi ia adalah perempuan. Meski sebagian yang lain bersikap woles.

Kepada media, Menteri Susi lalu mengklarifikasi, “Kemarin saya merokok itu karena capek berdiri saat pelantikan, bukan mau dipertontonkan. Kan saya sudah bilang ke media kalau saya minta izin lima menit untuk merenggangkan otot dan refres,” seperti dikutip liputan6.com akhir 2015 silam. “Tapi ya anyway saya tidak bisa berubah drastis siapa saya, bagaimana saya selama 50 tahun terakhir,” lanjutnya.

Pernyataan Susi tentu saja tak diterima mentah-mentah oleh masyarakat, meski jika menilainya sebagai sebuah pilihan, merokok adalah kegiatan yang dibolehkan. Tapi lagi-lagi karena alasan moralitas, Susi tetap kerap menerima nyinyiran dari publik.

Selain karena Susi adalah seorang menteri, apalagi itu masih dalam momen sakral, Susi adalah perempuan. Sodara sebagai perokok barangkali tahu betapa rewelnya masyarakat memandang seorang perempuan yang merokok. Dalam keluarga ia akan dipandang negatif. Kecuali di perkotaan—itupun hanya sebagian kecil masyarakat—perokok perempuan berada dalam posisi yang (mungkin) tak ada bedanya dengan pekerja tuna susila; yang moralitasnya konon dipertanyakan. Oleh kalangan ekstrimis antirokok, perempuan merokok mungkin akan mentah-mentah ditolak jadi seorang mantu.

Baca Juga:  Memangkas Mata Rantai Dagang Tembakau

Jangankan perempuan, yang sebagian masyarakat masih mengamini budaya patriarki, laki-laki yang merokok pun kerap menerima tudingan negatif. Sebab rokok kerap dinilai sebagai musabab dari semua ‘keburukan’, laki-laki yang merokok walhasil tak jarang mendapat tudingan miring dari masyarakat. Lebih-lebih oleh mereka para antirokok.

Itu stigama, dan nyatanya masyarakat kita tak sedikit yang memandang rokok adalah barang yang mestinya dihindari. Lebih mengerikan, rokok dan perokok bahkan dicap sebagai budaya bar-bar.

Itu hanya contoh kecil. Di layar televisi, berkali-kali pemerintah menekan iklan rokok melalui berbagai regulasi mengenai iklan rokok. Sebuah penelitan konon pernah menunjukkan angka mengejutkan tentang meningkatnya jumlah perokok di negeri ini karena iklan rokok. Pemerintah karena itu, melalui UU No. 32 tahun 2002 mengatur jam tayang iklan di televisi menjadi di atas jam 10. Namun belakangan, kabarnya pemerintah juga tengah membahas UU baru yang akan menggantikan UU sebelumnya tentang tayangan iklan rokok di televisi. Dalam draf yang disusun DPR pada Desember 2016 itu, Komisi I DPR konon akan menambahkan pasal yang berbunyi, “Materi siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras, rokok, dan zat adiktif lainnya”.

Di akses layanan, sejak 2015 wacana untuk memangkas bantuan kesehatan untuk para perokok sudah santer. Meski sempat redup, wacana itu itu belakangan kembali ramai. Pemerintah konon tengah menyusun peraturan perundang-undangan yang akan membatasi bantuan BPJS Kesehatan terhadap penyakit yang katanya diakibatkan dari rokok. Jadi, nantinya, BPJS Kesehatan katanya tak akan menanggung penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Baca Juga:  Produsen Rokok Kecil dan Peresmian KIHT Sidoarjo

Peraturan perundangan itu katanya berpayung pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 111 tahun 2013 pasal 25 yang menyebutkan bahwa hal-hal yang tidak dijamin dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan. Meski jika diamati, itu hanya tafsiran dari para antirokok saja.

Tak berbeda jauh, pemerintah DKI sempat mewacanakan untuk memotong bantuan pendidikan kepada siswa sekolah yang orang tuanya adalah perokok. Katanya, mereka yang merokok tak pantas menerima bantuan karena mampu membeli rokok.

Di beberapa daerah, melalui Perda KTR, mereka melarang pemasangan iklan rokok di area publik. Warung-warung dilarang menjual iklan rokok secara terang-terangan. Salah satu wali kota bahkan sempat mengeluarkan pernyataan yang bahkan tak layak untuk seorang pemimpin kepala daerah kepada rakyatnya. Perda-perda KTR itu sialnya juga tak diberangi dengan penyediaan dengan ruang merokok yang nyaman.

Kenapa mereka yang ngotot bicara hak soal rokok, tak bisa adil dalam hal itu?

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut