Press ESC to close

“Ngerokok Cuma Bakar Uang”, Kata Penyumbang Asap Knalpot

Layak memang PT Transportasi Jakarta mendapat penghargaan dari Komnas Pengendalian Tembakau atas perannya yang dinilai telah membantu siasat pengendalian tembakau pada tempo lalu. Dan tentu bagi warga Jakarta yang kritis, membaca hal itu bukan sesuatu yang lebih heboh dari persoalan aksi bela agama, siapa mendukung kepentingan siapa, siapa berandil untuk tujuan apa, niscaya dikalungi bandrol alias penghargaan. Hih. Padahal timbal dari bus Transjakarta siapa bisa bantah kalau itu penyumbang polusi udara Jakarta juga.

Lalu apa arti ‘bandrol’ itu sesungguhnya? Jelas pengukuhan skema filantropis belaka. Jika ditanya soal keberpihakan, tak lebih dari keberpihakan semu. Toh supir bus maupun karyawan PT Transjakarta tidak pula sejahtera hidupnya berkat iklan yang dibuat seukuran dinosaurus itu. “Ngerokok Cuma Bakar Uang.” Dari sini yang semula merokok dianggap membakar paru-paru beralih maknanya sudah. Absurditas apa yang berimplikasi ditawarkan dari tagline tersebut; adalah hasutan untuk membakar harta lain selain uang. Wuakakak…

Membaca pola kampanye antirokok yang terpampang di bokong bus Transjakarta. Atau bahkan pada media lain yang dilipatgandakan fungsinya. Terus terang saja gagal menghasut pembaca bebal macam saya, boleh jadi pula bagi sopir bus Transjakarta sendiri, bukan lagi merasa diteror oleh pilihan terus merokok atau berhenti merokok.

Lantaran logika bahasa antirokok yang masih mengandalkan dikotomi kacamata kuda. Dimana keren tidak keren, perkasa atau tidak perkasa, sejahtera atau tidak sejahtera, melulu diarahkan pada satu musuh bersama. Buktinya sejak berganti lima rezim sudah, sila kelima belum juga nyata perwujudannya. Sistem pemiskinan masih terus saja bekerja menumpulkan akal sehat masyarakat. Dikotomi adalah racun. Begitulah singkatnya menurut seorang teman penyair.

Baca Juga:  Ketika Buku Nicotine War Semakin Relevan

Kecenderungan corak bahasa kampanye pada bus Transjakarta yang belakangan ini digunakan antirokok, dimana citra visual yang dihadirkan terkesan menunggangi genre pop art, dan yang satire tidak lagi berada pada ranah gagasan. Deformasi semata. Bahasa kampanye di punggung bus itu tak lagi sehoror dulu. Tetapi mungkin di dalam bus itu sendiri masih ada satu-dua yang menampakkan gambar maupun narasi sarkastis; balita yang (terkesan) disuapi puntung rokok di antaranya.

Dari sisi penunggangan gaya pop art itu semakin jelas penjerumusan masyarakat pada diskursus teror visual. Secara gagasan belum berpindah dari misi pelabelan terhadap perokok. Misi yang menjerumuskan orang pada satu citra sikap, bahwa yang beradab dan berkemajuan adalah yang beralih dari merokok, melainkan yang beralih jadi mangsa pasar komoditas yang lebih berkemajuan. Komoditas yang oleh rezim standarisasi dilabelkan lebih sehat, lebih modern, lebih ini dan lebih itu. Meski sebetulnya belum tentu terbebas dari faktor risiko. Bukankah sistem pemiskinan tak mengubah rakyat keluar dari diskursus mangsa dan korban. Coba pikir itu.

Perubahan corak maupun gaya pembahasaan ini bagi rezim seni visual cukup kece terbilang. Meski gaya semacam itu pada beberapa negara maju sudah sejak lama berlaku. Metode social champaign memang sudah seharusnya menyesuaikan perkembangan berpikir masyarakat. Sebut saja masyarakat urban yang dinamis dan terfragmentasi. Pola-pola kampanye berbasis demagogi dan sarkastik yang masih ada dan berlaku, secara eksplisit oleh sebagaian kalangan telah dianggap melecehkan kewarasan komunikan.

Baca Juga:  Begini Aturan Larangan Merokok yang ada di Indonesia

Celakanya, pada salah satu bus Transjakarta yang diisyaratkan sebagai bus khusus wanita terdapat muatan pesan yang menyatakan; “Merokok Bukan Cara Buktikan Kekuatan Perempuan.”  Lha, memangnya maskulinitas hanya milik lelaki yang perokok gitu. Bias gender sudah. Sosok Wonder Woman dalam film terlihat hebat dalam aksinya memberantas kebathilan itu bukan karena Ia merokok atau tidak merokok, tetapi karena yang wonder di mana pun bunyinya adalah hasil konstruksi. Tak lebih dari ilusi budaya kapitalis. Sebagai sebuah wacana penghiburan ya sah-sah saja. Tetapi mestinya tak membunuh nalar kritis kita juga.

Ke depan barangkali ada baiknya Pictorial Health Warning pada bungkus rokok pun segera mengikuti gaya teror visual serupa. Tidak perlu lagi ada gambar gigi rusak, jantung terpanggang, apalagi itu simbol tengkorak, dan anak balita. Biar jadi komoditas berita yang menggegerkan lagi. Kan seru tuh. Bila perlu semua moda transportasi di Jakarta, seperti bemo, bajaj, bentor, metro mini, ojeg sepeda, ojeg online, kereta, sekalian saja dibikin ‘kece’ dengan gaya kampanye serupa. Tetapi untuk korek gas di tangan saya sebaiknya jangan, plis jangan deh, karena jujur saja benda berharga itu bagi saya bukan untuk membakar uang. Sumpah. Sekali lagi bukan untuk membakar uang.  

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah