Search

Merokok di Ruang Privat Bukanlah Urusan Bima Arya

Wali Kota Bogor, Bima Arya kian besar kepala mempersempit ruang merokok di wilayahnya lewat Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Setelah disanjung-sanjung sebagai daerah prototype KTR, kini Bima Arya mewacanakan aktivitas merokok juga dilarang di ruang privat atau rumah. Alasannya agar kebiasaan merokok dapat dideteksi sejak dini. Wacana yang digulirkan ini pun menuai protes dari para masyarakat.

Masyarakat menilai tidak masuk akal ketika ada Perda yang mengatur ruang privat masyarakat. Dari kalangan perokok, Komunitas Kretek, melalui ketuanya Aditia Purnomo, mengatakan Pemda tak sepatutnya masuk dalam ranah pribadi warganya. Yang mesti dilakukan Pemda, justru memastikan aturan larangan rokok di ruang-ruang publik dijalankan.

“Ini sama seperti orang nyampurin urusan rumah tangga orang lain. Dari pada ngurusin seperti itu, baiknya Perda yang ada sekarang dijalanin penegakan hukumnya. Karena pelaksanaan Perda ini juga banyak ngaconya, terutama di urusan mengakomodasi para perokok. Karena di Undang-undang 36 tahun 2009 itu ada pasal penjelasan yang berbicara dua tempat seperti di tempat kerja dan tempat umum lainnya harus disediakan ruang merokok. Tapi tidak ada,” terangnya.

Tentu saja wacana larangan merokok di ruang privat ini dianggap tak masuk akal. Bagaimanapun juga pemerintah tak memiliki kewenangan mengatur aktivitas masyarakatnya di ruang privat. Apalagi yang dilarangnya adalah aktivitas legal yang dilindungi oleh Undang-undang.

Sepertinya Bima Arya harus memahami dasar hukum apa yang ingin disampaikannya terkait wacana larangan merokok di ruang privat terlebih dahulu. Bagi seorang pejabat publik, tentunya asal ceplas-ceplos dalam berbicara peraturan yang akan melibatkan publik menjadi berbahaya jika tidak memahami konteks yang disampaikannya.

Baca Juga:  Asap Rokok Bukan Medium Penularan Virus

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD 1945 sebagai berikut:

“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.

Sudah jelas jika melihat apa yang dimaksudkan urusan privat oleh konstitusi, adanya larangan merokok di ruang privat akan sangat bertentangan dengan amanah konstitusi. Toh merujuk Perda KTR yang diterapkan di wilayahnya Bima Arya pun sebenarnya banyak yang bertentangan dengan hukum perundang-undangan yang berada di atasnya, seperti penyediaan ruang merokok di wilayah KTR, terutama di tempat kerja dan di tempat umum lainnya Kota Bogor belum memfasilitasi amanat Undang-undang 36 tahun 2009. Padahal penyediaan ruang merokok adalah kewajiban yang diamanatkan konstitusi dalam mengakomodir hak perokok.

Menyediakan ruang merokok di KTR saja belum sanggup, bagaimana mungkin Bima Arya mau melangkah lebih jauh mempersempit ruang merokok lewat wacana larangan merokok di ruang privasi? Sekilas mungkin banyak pihak yang mengapresiasi (siapa lagi kalau bukan pendukung FCTC), namun persoalan melangkahi amanat konstitusi ini yang jarang disorot oleh publik.

Baca Juga:  Iklan Rokok, Satgas KTR, dan Warung Klontong

Apa yang diwacanakan oleh Bima Arya akan menggangu demokratisasi kebijakan publik di Indonesia. Perda KTR yang cenderung mengkerdilkan hak perokok dengan tidak menyediakan ruang merokok, mengkriminalisasi perokok lewat pasal sanksi denda dan pidana, mengatakan merokok adalah pebuatan Tindak Pidana Kriminal Ringan (Tipiring) adalah contoh kebijakan publik yang tidak demokratis.

Dalam mendorong demokratisasi kebijakan publik, maka diupayakan untuk menciptakan kebijakan yang bersifat problem solving, artinya suatu kebijakan dapat memecahkan berbagai masalah masyarakat bukan sebaliknya dimana kebijakan yang dibuat justru menimbulkan masalah baru (caused problem).

Kalau Perda KTR-nya saja bermasalah, memperluas teritori KTR hingga ke ruang privat pasti akan menimbulkan masalah baru yang serius, kalau tidak percaya kira-kira bagaimana Bima Arya menjawab pertanyaan seperti ini, “bersediakah Anda dalam satu rumah akan disiagakan Satgas antirokok untuk menjaga rumah anda bebas dari asap rokok?”.  Jawaban yang akan didapat kalau bukan dilempar panci oleh pemilik rumah atau bersiaplah digigit anjing galak si empunya rumah.