Press ESC to close

Perokok Ngawur, Jangan Takut untuk Menegur

Ada kabar gembira sehari buat antirokok dari Solo. Ciyeee.

Memasuki hari aktif kerja pasca libur lebaran, Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas) mengadakan razia perokok di sekitar lingkungan Balai Kota Solo. Razia yang dilakukan oleh empat petugas linmas itu berkeliling di sekitar kantin Balai Kota usai apel lagi dan silaturahim dan halal bihalal. Dengan membawa dua asbak, petugas lalu mematikan belasan aparatur sipil negara (ASN) yang kedapatan sedang merokok.

“Sesuai perintah, dilarang merokok di kawasan Balai Kota,” kata Ariyanto, salah satu petugas Linmas yang melakukan razia, seperti dikutip Tribunsolo.com.

Itu tentu saja kebijakan yang perlu dicontoh. Dan lebih baik lagi bisa dilakukan tiap hari, dan dengan petugas dan asbak yang lebih banyak lagi.

***

Sejauh pengalaman saya menjadi perokok, ada dua persoalan yang kerap mengemuka perkara berbagi ruang antara perokok dan bukan perokok. Pertama, mereka yang anti terhadap paparan asap rokok kerap mengeluh karena merasa menjadi korban. Kedua, mereka yang merokok merasa tak jadi persoalan, sebab aktivitas yang mereka lakukan adalah legal.

Perlu dicermati, ini dua firqah yang menjadi akar lahirnya gep antara perokok dan bukan perokok. Sebetulnya ada beberapa firqah lain, hanya saja sisanya masih pada fase garis woles, alias bisa saling berbagi dan memahami.

Kedua firqah ini umumnya sama-sama sesat. Sebab, keduanya tak mengetahui bagaimana sebetulnya undang-undang mengatur persoalan berbagi ruang itu. Dalam pergaulan sehari-sehari gep antara keduanya sering terjadi.

Kelompok pertama, kerap menegur beberapa temannya yang merokok padahal masih dalam koridor area bebas merokok. Sementara yang kedua juga tak kalah egoisnya, merokok di sembarang tempat, bahkan sampai di angkutan umum, seperti di angkot dan bus. Memang sih, belakangan di beberapa angkutan umum seperti di Jakarta tertempel beberapa stiker mengenai aturan larangan merokok di angkutan umum. Tapi ya, siapa sih yang mau rempong mengurusi begituan, misalnya dengan melaporkannya ke polisi.

Baca Juga:  Ramadhan dan Pembuktian Rokok Tidaklah Adiktif

Halaah. Repot kali. Wong kehilangan dompet atau motor aja, kita males ngurusnya. Apalagi cuma gara-gara rokok. Ujungnya, keduanya hanya menunjukkan gelagat ketidaksukaannya masing-masing. Yang pertama, biasanya hanya menutup hidung sambil lirik-lirik manja sinis. Dan yang sedang merokok, pura-pura tidak tahu dan sok cuek. Nah, pada tahap inilah status keduanya sudah berkategori lampu kuning: diem-dieman.

Ini repot, sebab keduanya akan melahirkan rantai kebencian yang panjang. Kelompok yang pertama boleh jadi akan memendam stereotipe dan men-generalisir bahwa semua perokok itu tak tahu diri. Padahal, masih banyak juga perokok yang taat aturan dan menghargai mereka yang tidak perokok. Sementara bagi perokok nakal, akan memandang mereka yang tidak merokok ini adalah orang-orang yang lebay.

Duh, padahal kalo ngomong baik-baik kan, enak ya. “Mas, maaf itu rokoknya tolong dimatiin dulu. Enggak baik. Ini ruang sempit,” “Oh, iya, Mba. Maaf”. Nah, kan. Kalau keduanya kebetulan lagi sama-sama cari jodoh, kan siapa tahu aja ya kan.

Kelompok yang pertama ini biasanya memang lahir dari keluarga bebas asap. Sampai di rumahnya mungkin hanya ada sepeda untuk mobilitas angggota keluarganya keluar rumah. Sementara golongan yang kedua, ya sudah jelas, lahir dari lingkungan yang woles dengan asap rokok dan tentu asap-asap yang lain.

Baca Juga:  Perkara Etika Tongkrongan Perokok bagi Orang Madura

Tapi walau bagaimanapun, aturan kawasan tanpa asap rokok (KTR) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 115 ayat 1 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok memang tak akan efektif bila tak dijalankan oleh mereka yang hidup di lingkungan yang dekat dengan asap rokok.

Di kampus saya kini sudah tak terhitung jumlah baliho yang berisi larangan merokok di beberapa tempat, dari mulai selasar sampai basement fakultas. Tapi lagi-lagi, siapa sih yang mau repot ngurusin gituan dengan melapor satpam atau petugas fakultas, misalnya. Apalagi sama teman sendiri. Duh, wong cuma gara-gara rokok masa iya sampai putus pertemanan. Apalagi sampai putus pacar. Di fakultas saya, kini hanya ada satu orang yang ditakuti oleh para perokok, dia adalah salah satu dosen yang siap ngajak berantem bagi mahasiswa dan dosen yang kedapatan merokok di jam aktif perkuliahan. Makanya, kalau udah sore, ya merokok lagi. Beberapa dosen dan mahasiswa bahkan bisa sembunyi-sembunyi merokok di toilet.

Jadi gimana? Ya jangan diem. Kalau udah putus aja nyesel.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut