Search
tingwe_

Cukai Rokok Sudah Naik 10%, Lalu Perokok Dapat Apa?

Akhirnya terjawab sudah misteri kenaikan cukai tembakau tahun depan. Kemarin sore, pemerintah republik telah menetapkan kenaikan (rata-rata) sebesar 10,04%. Artinya, pemerintah menargetkan pendapatan dari cukai tembakau hingga kisaran Rp 160 triliun. Sebuah jumlah yang tentu saja, tidak sedikit.

Kenaikan cukai ini jelas saja berdampak pada banyak hal. Untuk pabrikan, hal ini berdampak pada kemampuan mereka, terutama yang berada di level menengah ke bawah bakal mengalami kesulitan dalam membeli pita cukai. Secara konsep cukai rokok memang dibayarkan oleh konsumen, tapi tetap saja pabrikan harus “menalangi” dulu dalam proses pembelian pita cukai. Nantinya, jika rokok yang dijual tidak laku, duit pita cukai itu tentu saja tak dikembalikan negara.

Untuk petani tembakau atau cengkeh, mungkin mereka tidak bakal terdampak secara langsung dari kebijakan ini. Tapi ya tetap saja kalau cukai tinggi, produksi rokok turun, pabrikan memilih mengurangi pembelian, mereka akhirnya terdampak juga. Meski ya memang tidak secara langsung.

Tapi pihak yang secara langsung dan jelas terkena dampak adalah konsumen. Hal paling nyata dari perkara ini tentu saja harga rokok bakal naik. Angkanya memang berbeda, tapi kalau diratakan terbilang lumayan signifikan. Apalagi konsumsi masyarakat hari ini menyasar sigaret kretek mesin yang tarif cukainya terbilang paling tinggi. Hal ini kemudian harus memaksa konsumen untuk merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati kreteknya.

Baca Juga:  Mengapa Kabupaten Berau Layak Dijadikan Contoh Penanganan Perda KTR?

Sepertinya memang inilah yang diharapkan pemerintah. Mereka tahu kalau konsumen kretek tak bakal berpaling atau berhenti mengonsumsinya, karena itulah mereka naikkan cukai setinggi-tingginya. Persoalannya, setelah para perokok membayarkan cukai yang tinggi, apa yang didapat oleh mereka?

Yak, tepat. Para perokok hanya mendapat diskriminasi dari pemerintah. Mereka yang merokok selalu kesulitan menemukan ruang yang benar-benar diperbolehkan untuk merokok. Sementara, aturan-aturan soal kawasan tanpa rokok dibuat terus-menerus di banyak daerah. Kalau melanggar KTR, sudah diancam pidana, perokok pun tertimpa stigma buruk dari masyarakat.

Aturan-aturan soal rokok yang dibuat pemerintah tak pernah memperhatikan kepentingan perokok. Padahal mereka adalah kelompok yang selalu terdampak dari kebijakan apapun soal rokok. Sudah begitu, perokok hanya dijadikan sapi perah untuk menambal kebutuhan anggaran negara. Sial betul.

Awal tahun depan harga rokok bakal naik signifikan. Cukai rokok yang ditetapkan pemerintah pun menjadi lebih tinggi. Dan target yang mencapai angka Rp 160 triliun itu bakal dibebankan pada kita konsumen, bajingan betul.

Karena itu saya sepakat sekali dengan wacana soal manfaat cukai untuk perokok. Saya kira sudah saatnya para perokok dapat menikmati sebagian kecil dana cukai yang mereka bayarkan. Tentu saja tidak dalam bentuk dana, memangnya perokok mengharapkan bantuan langsung tunai. Enak saja.

Baca Juga:  Bisakah Merokok Jadi Tindakan Alternatif Mencegah Corona?

Manfaat yang paling diharapkan perokok, dari dana cukai, adalah satu hal berguna yang bakal mewujudkan keadilan bagi semua orang. Sebuah ruang yang memberi kejelasan dimana para perokok dapat menikmati ududnya. Ya, ruang merokok.

Sudah saatnya para pemerintah daerah itu dipaksa untuk mengalokasikan dana cukai buat bikin ruang merokok. Jangan cuma getol minta dana cukai dan buat aturan KTR saja, tapi mereka juga perlu menyediakan ruang merokok sebagaimana tertera di Undang-undang.

Jikalau pemerintah memang tak menghiraukan harapan ini, saya juga sepakat dengan ajakan Komunitas Kretek untuk tidak lagi mengonsumsi rokok bercukai. Beli saja rokok ilegal atau linting dhewe. Buat apa bayar cukai kalau manfaatnya tak bisa dinikmati oleh perokok.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)