Press ESC to close

Belajar dari Tradisi bukan Televisi

Kamis malam kemarin semua saluran televisi ramai mengulas tragedi teror yang terjadi di kawasan Sarinah, Jakarta. Tragedi yang menyisakan kedukaan dan perbincangan seru pada kanal grup di ponsel. Semacam doa meresap ke dalam ingatan: semoga tak ada lagi airmata yang tumpah. Sementara di rumah Komunitas Kretek, Rawajati Timur, dua orang lelaki yang baru kami kenal sedang bertandang di ruang tamu. Bukan kebetulan memang, saya dan teman-teman sedari pagi sedang ada kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas jurnalistik kami. Hari yang cukup menyita mata bagi saya. Tiga gelas kopi disuguhkan Jumri di meja tamu.

Beruntung betul dua tamu kami ini berkunjung pas di hari kami kumpul bersinau ria, bisik batin saya. Meski ya tidak terlalu beruntung amat, jauh-jauh datang dari Surabaya pas di Jakarta lagi berstatus mencemaskan. Lagipun kapan sih Jakarta tak pernah berstatus mencemaskan. Asap knalpot dan kemacetan hal klise yang sudah dianggap lumrah, meski bagi yang lain bisa disebut juga sebagai teror. Bahkan tawuran antar kampung di daerah Manggarai dan Matraman kiranya, ah sudahlah.

Dua lelaki yang bertamu itu sebelumnya sudah memberitahu akan kedatangannya lewat teman saya yang juga seatap seperjuangan di komunitas. “Nanti bakal datang anak Unair coy, mau ngobrol-ngobrol buat tugas skripsi,” diinfokannya singkat. Kedatangan mahasiswa yang membawa bebanan kuliah bukanlah hal baru bagi kami. Tentu dengan senang hati selalu kami menerimanya. Dan keguyuban dengan orang-orang baru kerap bermula dari hal-hal yang saling melengkapi.

Baca Juga:  Merokok Merusak Penglihatan, Apalagi Setelah Ini?!

“Saya Helmi.” Demikian mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menyebutkan namanya. Ia mengawali percakapan dengan mengisahkan sekilas persoalannya sebelum dapat tema yang merujuk ke komunitas kami. “Awalnya sih mau ngangkat komunitas bus mania, tapi ditolak dosen,” curhatnya santai. Dan yang bikin tema itu ditolak karena bahasan soal komunitas pecinta bus dianggap tidak terlalu menarik oleh dosennya. Saluran televisi yang mengulas tentang teror beberapa kejap mencuri perhatian kami. Helmi mohon diri untuk meneguk kopi yang disediakan Jumri. Santun juga tamu kami yang satu ini, bersit pikiran saya memuji.

Tak lama berjeda Helmi pun melanjutkan, sejak ia ngeh di kantin kampusnya terpampang stiker berwarna hijau bertuliskan Boleh Merokok. Dimana tertera pada stiker itu nama Komunitas Kretek pula, dari situlah ia mulai penasaran dan berusaha mencari tahu, hingga akhirnya tema konsumerisme dari sisi para penikmat kretek itulah yang disetujui dosennya. “Terus saya juga dapat rujukan Bang dari teman untuk baca buku Kretek-nya Mark Hanusz, buat bahan dasar skripsi saya,” bebernya lagi.

Lepas dari muatan curhatnya, dengan santai saya menimpali hal-hal mendasar yang ingin diketahuinya tentang Komunitas Kretek. “Bagi kami merokok adalah bagian dari ekspresi budaya, dan gak semua yang di Komunitas Kretek itu perokok juga,” jelas saya kepada Helmi yang turut disimak oleh teman di sebelahnya.

Baca Juga:  Kisah Vape yang Dicekal di Banyak Negara

Rupanya obrolan saya dengan Helmi membuat temannya, Gian (29 Tahun), terpincut untuk bercerita tentang tradisi di Padang kota kelahirannya. Satu hal yang menarik diceritakan Gian adalah tentang tradisi mengundang kerabat terkait resepsi pernikahan. “Bagi orang Minang, membawa kapur sirih, pinang, juga rokok wajib hukumnya sebagai media silaturahmi,” ungkap Gian antusias. Saya pun manggut-manggut. “Dua tahun lalu waktu adik saya nikah, tradisi itu masih berlangsung. Termasuk menyuguhkan rokok di meja prasmanan.” Jelas Gian lagi.

Rekaman pernyataan Presiden Jokowi merespon kejadian teror tersiar kembali di televisi. Helmi membakar kretek mild-nya lagi. Perhatiannya tersirap ke layar televisi. Obrolan kami pun terbeslah menimpali tayangan itu. Sampai akhirnya berujung pada janji mahasiswa Unair itu untuk tandang lagi di lain hari. Bagi saya tak semua perkenalan memberi kesan yang berarti. Namun suasana Kamis kali ini mendorong saya untuk tetap percaya, bahwa ada nilai-nilai kesantunan dari tradisi kita yang masih terpelihara. Tentu bukan budaya yang ramai dibincangkan pada berita dan tayangan daur ulang di Kamis malam itu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah