Press ESC to close

Kenduri dan Sebatang Rokok  yang Tak Tergantikan

Satu perbedaan yang paling kentara antara masyarakat pedesaan dan perkotaan, adalah bagaimana masyarakat desa begitu memiliki banyak cara untuk saling mengenal dan menjalin kedekatan. Ini lah salah satu identitas, yang sampai kapan pun masyarakat perkotaan tak mudah memilikinya. Lalu, bagaimana sebenarnya akar tradisi pada masyarakat pedesaan itu terbentuk? Dan mengapa dalam hal itu, masyarakat perkotaan seperti tak bisa menyamainya?

Saya misalnya, meski sudah lebih dari tiga tahun menjadi anak kosan lantaran status saya sebagai mahasiswa di pinggiran Jakarta, hingga kini saya bahkan tak mengenal tetangga-tetangga dekat di sekitar tempat saya tinggal. Bahkan hanya untuk sekadar nama. Kami berinteraksi jika hanya ada keperluan saja. Atau paling banter, hanya saling melempar senyum bila secara tak sengaja bertemu di jalan. Itu pun karena akrab muka. Selebihnya, ya diam-diaman saja.

Pola prilaku itu tak terjadi pada masyarakat di desa. Hingga kini bahkan saya masih heran, bagaimana orang-orang di desa bisa saling mengenal di antara mereka hanya dari sekadar nama. “Oh, Tika? Mantan Istrinya Ujang? Anaknya bapak Dirja? Yang dulu nikah gara-gara ‘kebobolan’? Itu kan dua-duanya emang suka berdua-duaan”. Anehnya, meski bukan kerabat atau tetangga dekat, pengetahuan mereka tentang isu-isu yang berkembang di desa, sekali pun isu yang agak rahasia, bahkan bisa menjadi rahasia umum.

Tentu ada banyak faktor yang bisa kita simpulkan mengapa kebiasaan itu bisa terbentuk. Salah satunya menurut saya adalah tradisi kenduri yang lazim di masyarakat pedesaan. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di desa, kenduri menurut saya memiliki faktor penting dalam membentuk pola prilaku masyarakat desa dalam berhubungan dan menjalin interaksi.  Di sini lah ruang dimana masyarakat menjadi satu: berkumpul dan menghilangkan sekat-sekat sosial di antara mereka.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kenduri berarti perjamuan makan untuk memperingat peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa, kenduri lebih dikenal dengan selamatan atau kenduren—istilah itu yang umum dikenal di kampung saya. Konon, lahirnya tradisi kenduri ini, berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara.

Dalam tradisi masyarakat pedesaan, kenduri biasanya diadakan oleh satu kepala keluarga dengan mengundang kerabat atau tetangga dekat karena ada hajat tertentu. Bisa untuk mendoakan kerabat keluarga yang sudah meninggal, mendoakan atau menamai anak yang baru lahir, sampai mendoakan mereka yang baru pindah atau menempati rumah baru dengan harapan agar terhindar dari marabahaya.

Baca Juga:  3 Rokok Enak yang Sulit Ditemukan di DKI Jakarta

Kenduri bisa dilakukan dalam banyak acara, baik yang bersifat hajat satu keluarga maupun yang sudah menjadi rutinitas satu kelompok masyarakat tertentu. Kenduri yang bersifat kepentingan keluarga di antaranya, kenduri selapanan (berdoa untuk keselamatan anak), kenduri mitoni (memperingati kehamilan anak pertama), kenduri syukuran (beryukur atas keinginan yang sudah tercapai). Sementara kenduri yang diadakan karena sudah menjadi rutinitas masyarakat, seperti kenduri suronan (memperingati tahun Jawa), kenduri Badan (diadakan setiap hari raya Idul Fitri atau tepat pada 1 Syawal), kenduri selikuran (memperingati puasa karena sudah 21 hari).

Hingga kini, tradisi itu masih kental di kalangan masyarakat pedesaan. Meski ada beberapa anggota keluarga atau masyarakat yang mulai meninggalkannya. Konon, lahirnya tradisi ini bermula sejak masuknya Islam di Indonesia. Dari sudut pandang teologis, kenduri diadakan karena alasan bahwa satu ungkapan doa yang dibacakan secara berjamaah dipercaya bakal memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkabul ketimbang doa yang dibacakan sendiri.

Lebih dari itu, dari aspek sosiologis kenduri adalah sebuah wadah dimana masyarakat bisa menjalin keakraban dan gotong royong; ruang untuk menghilangkan tembok yang memisahkan perbedaan strata sosial maupun ekonomi. Tak melihat kaya atau miskin, pejabat atau petani, tua maupun muda, semuanya menjadi satu menjadi sebuah simbol masyarakat nusantara yang sebenarnya.

Dalam praktiknya, karena kenduri secara umum juga bisa disebut perjamuan, perkumpulan, atau memperingati peristiwa tertentu, maka sebenarnya tak sedikit pula masyarakat perkotaan yang melakukannya. Yang umum kita tahu barangkali Kenduri Cinta di bawah Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang diadakan setiap Jumat di minggu kedua setiap bulannya. Meski sudah menjadi rutinitas, namun tetap saja, ada aspek yang tak tersentuh seperti kenduri-kenduri yang sudah menjadi tradisi dan dilakukan masyarakat di desa: yakni kedekatan emosional yang tercipta.

Sebagai orang desa, saya begitu akrab dengan tradisi ini. Dulu, ketika saya masih aktif di satu kelompok majelis pengajian di desa saya, bersama dengan teman-teman sesama santri, kami sering diminta hadir dalam satu acara kenduri. Kadang untuk mendoakan anggota salah satu keluarga yang sudah meninggal, kenduri sebagai wujud rasa syukur, atau mendoakan jabang bayi yang sudah menjelang kelahiran. Selain kami, tentu kenduri—kami lazim menyebutnya selamatan—juga dihadiri kerabat dekat keluarga, dan tetangga dekat setempat.

Baca Juga:  Panorama Tembakau dan Replika Menara Eiffel di Boyolali

Di saat seperti itu, semuanya pecah dalam suasana hangat khas masyarakat pedesaan: guyub, rukun, dan kompak. Sembari menunggu ustad—karena biasanya mereka datang belakangan—yang akan memimpin jalannya selamatan, mereka yang umumnya adalah bapak-bapak banyak bicara seputar aktivitas mereka sebagai seorang petani, pedagang, bahkan kondisi desa. Dengan suguhan jamuan yang sudah disediakan tuan rumah berupa makanan ringan yang beragam jenisnya. Dan tentu saja, satu jenis jamuan lain yang tak pernah absen: rokok.

Iya. Seingat saya, sejak zaman kali pertama saya mengenal apa itu selamatan, rokok adalah satu di antara banyak jenis jamuan yang tak pernah absen dalam acara kenduri. Di antara banyak beberapa orang yang kadang menanti datangnya jenis jamuan tertentu, seperti peyek atau rengginang, dan akhirnya dikecewakan, rokok bahkan selalu setia menamani jamaah kenduri. Dari mulai jenis kretek hingga filter.

Salah satu kebiasaan unik yang hingga kini saya ingat adalah, kenduri menjadi momen bagi mereka untuk berburu rokok gratis. Beberapa kawan saya bahkan kadang sengaja tak membawa rokok dalam menghadiri kenduri. Namun jangan salah, pasca selesai, kantong baju mereka akan dipenuhi dengan berbatang-batang rokok dalam beberapa produk yang berbeda. Maka wajar, jika usai acara masih menyisakan berbagai jenis jamuan karena tak dihabiskan jamaah kenduri, maka rokok selalu tandas dari tempatnya.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut