Search

Bonek, Kretek, dan Kultur Kekerabatan

Ia keluar dari sebuah toko kue kering langganannya di jalan raya Kenjeran di kota Surabaya. Satu-persatu barang dimasukkannya ke dalam tas karung di atas motornya. Seminggu dua kali Wani berbelanja di toko kue ini kemudian menitipkan kue-kue itu ke beberapa warung. Setahun setelah Wani tidak lagi berkerja di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ia mulai melakukan pekerjaan ini. Tapi dia tetap tidak melepaskan keanggotannya pada Bonita (Bonek Wanita), karena ia sendiri mencintai sepak bola.

Baru dua puluh lima meter motornya melaju. Di tikungan jalan, laju motornya dihentikan seorang polisi. Wani terbengong sesaat karena tidak tahu salahnya. Polisi itu memintanya menunjukkan surat-surat dan mengatakan jika ia belok saat lampu berwarna merah. Wani yang tak bermasalah dengan surat-suratnya, merasa tidak melanggar lampu merah, berdebat masalah tanda lampu. Kemudian ia sadar polisi-polisi ini sedang cari duit, dengan mencaricari kesalahan. Polisi itu kemudian menanyakan mau sidang di pengadilan atau bayar ditempat? Ia milih ditilang, karena masih ada harapan uang tilang itu akan dimanfaatkan negara untuk masyarakat.

Sesampai di rumah, karena sejak punya SIM (Surat Izin Mengemudi) sepuluh tahun yang lalu belum pernah ditilang. Wani membaca surat tilang yang diberikan polisi tadi, dan ia sadar TKP (Tempat Kejadian Perkara) telah berpindah tempat. Wani sakit hati, karena merasa dikibuli dan diperdayai.

Kisah Wani dan polisi memang bukan kisah nyata. Namun kelakuan aparat pemerintah yang berbuat semena-mena di negeri ini yang ujung-ujungnya wani piro semacam ilustrasi di atas, adalah cerminan perilaku aparat hari ini. Dampaknya bisa jadi lebih parah karena penentu kebijakan dan pembuat undang-undangnya juga berwatak wani piro. Sehingga aturan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keputusan pemerintah untuk terlibat dalam perang global melawan tembakau membuat sebagian orang begitu anti tembakau.

Meskipun tidak sedikit yang jatuh cinta dan tak ingin dipisahkan dari aromanya, dan sebagian lagi menyusuri jejak sejarahnya yang mistis. Pada proses mencari tahu itulah kita menyadari, bahwa banyak sejarah yang hilang dari kesadaran kita sebagai bangsa merdeka. Yang seharusnya tetap merdeka dalam pilihan dan pemikiran. Banyak sekali aset dan komoditas bangsa yang diaborsi sebelum sempat menjadi buah yang seharusnya dapat kita petik dan dinikmati bersama hari ini.

Bonek, sebutan bagi suporter sepak bola pendukung Persebaya Surabaya, yang selalu ikut ke mana pun Persebaya pergi. Suporter ini sering terlibat tawuran, lama-lama berdampak buruk pada citra Bonek dan perlakuan masyarakat. Bonek kemudian menjadi suporter yang ditakuti masyarakat. Pada beberapa pertandingan di luar kota seringkali suporter yang naik kereta dilempari batu oleh warga sekitar. Sehingga perusahaan kereta api mengalami kerugian karena fasilitas penunjangnya rusak. Dampak tersebut akhirnya berimbas pada Persebaya. Persebaya sering ditolak bermain di beberapa kota.

Baca Juga:  Petani Tembakau Hadapi Ancaman La Nina

Itu adalah cerita Bonek waktu lalu. Bonek yang sekarang sudah meninggalkan tradisi tawurannya dan belajar dari pengalaman mereka di masa lalu. Bonek sudah mulai menata diri dalam organisasi. Dari organisasi-organisasi kecil berbasis wilayah, membentuk organisasi aliansi yang lebih maju dan kritis terhadap kemajuan persepakbolaan Indonesia yang diberinama Green Force ’27.

Bonek dengan Bonitanya, yang anggotanya dari berbagai latar belakang bisa bersatu dan disatukan lewat bola, sudah banyak melakukan kegiatan sosial. Bersih-bersih kampung dan kota, kegiatan hari anak sampai pada membangun ekonomi anggota. Selain itu mereka membangun komunikasi antarbonek, dan juga mulai menjalin komunikasi dengan suporter klub lain, untuk menghindari bentrok antarsuporter saat pertandingan.

Bonek bukan sekumpulan orang-orang pengangguran. Tapi mereka adalah sekumpulan orang yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk mendukung kemajuan persepakbolaan tanah air. Ini dapat dibuktikan dengan keberadaan mereka melihat pertandingan Persebaya saat bertanding dan memberi dukungan moril.

Isu perang global melawan tembakau yang dihembuskan para penggiat anti tembakau, Belakangan juga memanfaatkan media massa untuk mengiklankan peringatan bahaya rokok dan merokok. Yang salah satunya melibatkan monyet dalam iklannya. Di bagian penutup iklan itu ada larangan pada seekor monyet mengambil sebatang rokok karena akan membuat si monyet mati. Ketika ada orang yang tersinggung dijawab, “Emang lo monyet”. Ya, memang seharusnya larangan itu pantas buat monyet. Karena yang membuat iklan dan pengambil keputusan di negara ini bisa jadi bisanya cuma mengatur monyet. Meskipun begitu, pada beberapa komunitas dan masyarakat termasuk pada Bonek dengan Bonitanya, tidak tampak ada perubahan perlakuan terhadap kretek. Kretek tetap menjadi keseharian.

Media strategis lain yang digandeng untuk memuluskan rencana perang global melawan tembakau adalah agama. Karena ulama (dengan ilmu agamanya), adalah orang yang langsung berhubungan dengan umat. Fatwa-fatwa yang diberikan merupakan kiblat dan diyakini sebagai pencerahan serta hukum tak tertulis yang harus dijalankan. Karena pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang diberi kehendak bebas untuk memilih. Maka kemudian Tuhan yang kita yakini maha kuasa, menyediakan surga dan neraka sebagai buah dari pilihan kita. Surga adalah gambaran kesenangan dan neraka adalah gambaran siksaan dan penderitaan.

Ulama yang telah mengajarkan manusia agar tidak mencampur adukkan antara yang haq (suci, baik dan benar) dengan yang bathil (kotor, buruk, dan salah). Sebenarnya manusia sedang memilih jalannya. Beberapa dari mereka memilih memberi fatwa haram pada rokok (baca kretek), yang entah dapat ilhan dari mana. Dan Bonek, karena juga manusia, punya kehendak bebas atas pemaknaan dan penilaiannya pada kretek, yang selama ini ada di tengah-tengah teman dan jari mereka.

Baca Juga:  Mari Membandingkan Rokok Win dan Twizz

Buat Bonek rokok adalah sahabat sejati yang selalu menemani setiap waktu. Ketika sendiri menunggu angkutan atau teman dan di saat kita punya persoalan. Kretek memberi ketenangan, jadi saat emosi masih bisa kita tahan saat kita merokok. Rokok sebagai pembuka percakapan dalam pertemuan-pertemuan. Rokok sebagai pencair kebekuan ketika ada persoalan pribadi-pribadi maupun persoalan organisasi, ketika mengadakan pertemuan, sebelum acara salah satu pihak akan mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan rokok pada pihak lainnya. Ketika mereka emosi kita akan tahu dari hisapan dan hembusannya yang dalam, sehingga pembicaraan bisa dialihkan atau direndahkan suaranya.

Selain Bonek, Bonita yang ada di dalamnya sebagian juga ada yang perokok. Namun, proses hegemoni dan pencitraan terhadap perempuan perokok berdampak pada penilaian (sebagian) anggota Bonek laki-laki terhadap Bonita perokok. Sedang Bonita yang merokok punya alasan sendiri ketika memilih jadi perokok. Ada yang bilang awalnya iseng karena ikut-ikut temannya. Ada yang menjawab perempuan merokok itu terlihat keren, lainnya menjawab sudah zamannya atau mengikuti gaya hidup. Tapi ada yang menjawab merokok karena ingin bebas dari aturan.

Proses hegemoni yang menyebabkan masyarakat jadi sesat berfikir memang tidak mudah untuk diubah. Apalagi penyesatan itu telah berlangsung puluhan tahun. Dan Bonek, sebagai bagian dari masyarakat yang pola pikirnya juga disesatkan, tidak bisa begitu saja disalahkan, bahkan ketika ada yang merendahkan harkat dan martabat perempuan karena merokok. Bonek adalah bagian dari masyarakat yang harus dibangun kesadarannya, karena Bonek adalah bagian.

Dan sebatang rokok yang dulu bisa jadi tidak pernah kita gubris, kecuali untuk dibakar dan dinikmati asapnya, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri sejarah keberadaannya. Dia selalu menjadi pembuka yang manis, yang telah menyatukan banyak perbedaan menjadi diskusi yang santai.

Sedang Bonek dengan Bonitanya, yang penikmat mbako, tidak pernah khawatir dengan peringatan yang tertulis di bungkus rokok, yang dikhawatirkan Bonek adalah, harga tiket mahal, Persebaya pecah gara-gara buruknya manajemen sehingga berdampak pada kualitas pemain dan permainan. Serta khawatir pada isu politik yang dibawa-bawa pada kepengurusan PSSI (Persatuan Sepak Bola Indonesia), sehingga sepak bola tidak lagi murni berkembang sebagai olahraga.

 

Naskah diambil dari buku Perempuan Bicara Kretek dan ditulis oleh Anis Mahesaayu

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)