Press ESC to close

Rokok, Penyakit, dan Perjodohan

Carilah pasangan hidup lelaki perokok sejati. Nasehat itu terasa aneh, kalau tidak boleh dibilang gendeng di tengah upaya gencar pemerintah bahkan dunia memerangi barang yang dianggap berbahaya itu. Kacaunya lagi yang memberi nasehat itu bukan orang pinggir jalan, atau kelompok preman yang mungkin tidak pernah makan bangku sekolahan. Juga bukan mafia narkoba yang mencari mangsa. Kata-kata itu aku petik dari perbincangan santai sore hari antara bapak dan kami, tiga anak perempuannya yang waktu itu masih belum ada yang menikah. Meski sudah belasan tahun berlalu, dialog antara kami rasanya masih begitu segar teringat. Betapa kami berempat menertawakan premis-premis bapak yang kami anggap pembenaran saja untuk kebiasaannya merokok.

Laki-laki perokok lebih mudah diketahui kualitas kesetiaannya. Kualitas kedewasaannya, kualitas tanggungjawabnya. Lebih jauh lagi kualitas romantismenya, termasuk urusan ranjang. Soal yang belakangan itu adik-adikku tak sempat mendengar. Mereka memilih beranjak nonton televisi dibanding mendengar celotehan bapak yang aneh. Mereka jarang bisa berlamalama berbincang dengan bapak. Mereka lebih senang berbincang dengan ibu. Dulu aku juga begitu. Entah kenapa sejak kelas 2 SMA (Sekolah Menengah Atas) aku jadi lebih sering berbicara dengan bapak. Tepatnya diskusi. Bahkan bisa dibilang, bapak adalah teman diskusi yang paling asyik. Tak hanya filsafat, bapak yang walaupun tidak sempat menyandang gelar sarjana kedokteran karena memilih drop out dan pindah ke fakultas hukum. Tapi dia memiliki pengetahuan yang lumayan tentang ilmu kesehatan. Ditopang kegemarannya membaca, bapak tak cukup jelek untuk menjadi oase pengetahuan ekstra.

Yang paling khas, sepanjang perbincangan pasti bapak tak lepas dari kepulan rokok yang tersesap di antara seruputan kopi kental yang selalu ibu sajikan.

Selepas sholat magrib aku kembali ke teras menemani bapak. Sepertinya sholatku tidak begitu khusyuk. Pernyataan bapak tentang lelaki sejati dan rokok tadi benar-benar mengganggu rasa penasaranku. Waktu bergegas aku minta bapak menjelaskan, dia tertawa. Lalu balik berkilah bukankah tadi aku juga sependapat dengan adik-adikku kalau apa yang dikatakan bapak tadi hanya senda gurau. Sekedar pembenaran kebiasaannya merokok.

Aku sekedar basa-basi, aku katakan. Aku minta maaf. Tapi aku sebenarnya juga yakin bapak sangat ingin berbagi cerita tentang ini. Aku tahu walaupun bapak tak pernah mengatakan, aku sebenarnya teman bicara yang paling asyik. “Berapa banyak laki-laki perokok yang kamu kenal?” tanya bapak. Aku jawab sekenanya. Aku sebutkan satu per satu, mulai dari kakek, pakde, om teman-teman sampai tetangga-tetangga kami. Tapi bingung juga ketika aku ditanya bagaimana cara mereka merokok. Seingatku cara mereka mereka merokok biasa saja seperti lazimnya orang mau merokok. Batang rokok ditaruh dibibir, lalu menyalakan rokok dengan korek api. Begitu saja. Mendengar jawabanku bapak tertawa. Ada sindiran di situ. Katanya kalau semua orang merokok dengan cara yang sama itu artinya semua orang punya karakter yang sama. Dan itu tidak mungkin. Orang ada yang pemarah, penyabar, teledor, teliti. Ada yang setia ada yang tidak. Ada yang royal ada yang pelit.

Lalu apa hubungannya antara cara merokok dengan karakter perokoknya? Aku benar-benar apriori. Di satu sisi aku sangat ingin tahu pandangan bapak, tapi di sisi lain aku menilai apa yang akan dijelaskan bapak nanti terlalu mengada-ada. Bagiku menilai karakter orang itu butuh waktu. Butuh banyak bukti. Apalagi ini menyangkut kesetiaan, tanggungjawab dan hal-hal mendasar dalam sebuah hubungan serius. Mana bisa ditentukan hanya atas dasar cara merokok.

Melihat hal besar, bisa dari hal kecil, karena kebiasaan-kebiasaan kecillah yang menentukan cara seseorang dalam menyikapi dan memutuskan hal-hal besar. Itu pendapat bapak. Tidak sepenuhnya aku tidak setuju, tapi menilai orang dari kebiasaannya merokok rasanya terasa tidak adil. “Itu bukannya seperti menilai orang dari cara dia batuk?” celetukku. “Jelas beda,” sanggah bapak dengan nada santai tapi tegas. Bapak lebih menyamakan kualitas merokok dengan makan karena keduanya sama-sama kebiasaan yang dilakukan rutin, terencana dan sadar. Sedang batuk tidak. Orang bisa batuk sambil tidur, tapi makan atau merokok sambil tidur tidak mungkin terjadi.

Bapak mencontohkan dari cara makan yang berbeda-beda masyarakat di seluruh dunia bisa dilihat kualitas karakter masyarakatnya. Disadari atau tidak, bangsa yang makan dengan memakai alat bangsanya lebih maju dibanding yang makan dengan tangan langsung. Aku pikir ada benarnya juga. Orang barat yang makan dengan sendok garpu dan pisau jauh lebih maju. Begitupun dengan Jepang, China, Korea, bahkan Vietnam yang baru beberapa tahun merdeka. Mereka melesat maju meninggalkan bangsa Arab dan melayu yang tradisi cara makannya lebih praktis. Langsung dengan tangan.

“Kenapa begitu ya?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja terdorong rasa ingin tahu akan satu fakta yang baru kusadari. “Itulah kekuatan kebiasaan yang menurut sebagian orang dianggap sepele dan tidak penting,” sahut bapak puas. “Makan langsung dengan tangan, menunjukkan makan hanya dimaknai sebagai cara menghindari lapar. Tapi makan dengan alat menjadi cara bagi suatu bangsa untuk mencapai peningkatan peradaban.”

Cerita bapak membuatku menerawang membayagkan hikmatnya prosesi minum teh di Jepang. Hidangan mereka yang tak hanya nikmat tapi tersaji cantik pula. Bermain warna, bentuk. Perabot makan yang indah. Lalu aku membayangkan bagaimana orang-orang barat menyiapkan gala dinner dengan makanan dan minuman yang tak hanya nikmat tapi anggun serta megah semua tampilannya. Bukan hanya makanan dan peralatan makan, namun orang yang datang harus berlaku tak kalah anggun dan elegan. Seperti bapak bilang, makan bagi mereka adalah cara meningkatkan peradaban pula. Aspek etika dan estetika serta teknologi diramu dalam satu kebiasaan rutin dan sederhana. Makan.

Baca Juga:  Pamor Zippo dan Tuntutan di Medan Perang

Sama-sama makan daging tentu berbeda kesan antara disajikan di piring dengan pisau garpu, dipotong-potong kecil dimakan dengan sumpit, dengan potongan daging yang dimakan begitu saja dengan tangan. Ini kesan estetika. Tapi makan dengan anggun dan indah tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan peralatan makan yang efektif, di sinilah teknologi membuat peralatan makan yang sesuai dengan kebutuhan diperlukan. Bagaimana dengan rokok?

“Merokok juga kebiasaan,” jelas bapak. Menurutnya, dari pengalamannya merokok puluhan tahun, bertemu serta mengamati banyak perokok, bapak menemukan fakta banyak ragam cara orang merokok. Ada yang merokok tak berhenti-henti. Tangannya selalu mengapit rokok. Merokok di manapun, kapanpun dan bagaimanapun. Mau di bis yang penuh sesak dan panas atau di gunung sendirian. Sedang makan maupun kerja. Tapi ada juga orang yang merokok hanya saat-saat tertentu saja. Ada orang yang setelah makan wajib merokok ada juga yang tidak.

Bahkan bapak sampai mengamati ada yang kalau merokok bekas bibirnya basah ada yang tidak. Ada yang kalau buang puntung sembarangan ada yang tidak. Ada yang rokoknya ganti-ganti ada yang loyal pada satu merek. Ada yang pakai korek api pematik ada juga korek api batangan. Ada yang selalu bawa korek, ada yang sering pinjam. Ada yang suka rokok filter, tanpa filter, bahkan ada yang lebih senang meracik sendiri. Tembakau, cengkeh kadang ditambah sedikit kemenyan agar lebih wangi. Dibungkus kertas atau kulit jagung rokok seperti ini umum disebut klobot.

Semua yang bapak ceritakan jelas terbayang kira-kira seperti apa. Tapi aku belum menemukan korelasi yang jelas dari gambaran orang-orang tadi dengan karakter mereka. Apalagi menyangkut kesetiaan, tanggung jawab dan lain-lain. Apalagi romantisme, yang terbayang justru laki-laki lesu duduk di pinggir tempat tidur meratapi diri karena impotensi. Atau bapak-bapak kurus yang batuk-batuk karena sakit paru-paru. Pokoknya tidak ada gambaran positif laki-laki perokok.

“Soal rokok dan karakter orang, saya tidak tahu. Tapi yang pasti saya tahu, rokok mengganggu kesehatan,” tegasku. “Jelas-jelas ditulis dibungkusnya. Rokok menyebabkan kanker, impotensi, keguguran.” Bapak mengamatiku sambil menghisap dalam-dalam rokok yang beberapa kali dia jentikkan di asbak kecil yang terletak di atas meja kayu kecil yang memisahkan kami. “Rokok begitu berbahaya, kamu tahu dari mana?” tanya bapak dengan nada protes. “Dari bungkus rokok ini? Dari poster-poster yang ditempel di rumah sakit? Atau kamu sudah membuktikan sendiri?”

Bapak punya argumennya sendiri. Seperti dirinya, kakek dulu juga perokok. Meninggal saat usianya 85 tahun karena sakit lever. Dan bapak sendiri saat kami diskusi sore itu usianya 60 tahun, dan relatif sehat. Bapak punya bukti medis kalau jantung dan tekanan darahnya tidak pernah ada masalah. Juga kondisi organ dalamnya. Bapak terbilang rajin cek kesehatan. Termasuk mengecek perkembangan kanker yang pernah menyerang matanya.

Kanker menyerang mata bapak saat usianya 50 tahun. Ketika itu kami sekeluarga masih tinggal di Jakarta. Penyakit menyeramkan ini sontak membuat keluarga kami panik. Rokok. Itu yang langsung terlintas sebagai penyebab semua ini. Dokter berpendapat sama. Tidak ada cara lain, bapak harus berhenti merokok. Tapi ternyata itu bukan perkara mudah. Sambil menjalani pengobatan kemoterapi dan lain-lain, bapak tetap merokok. Bapak percaya, bukan rokok masalahnya, tapi stres dan polusi.

Setahun kemudian bapak memutuskan pindah ke Yogjakarta. Kembali ke kampung halaman. Kami tinggal di desa sambil membuka usaha ternak ayam. Bapak benar saja bapak menjadi jauh lebih sehat dan segar setelah pindah ke Yogja. Lebih dari itu, aku sendiri merasakan suasana kekeluargaan kami juga lebih menyenangkan. Berbincang di sore hari dengan bapak seperti saat itu, hampir tidak pernah kami lakukan saat tinggal di Jakarta. Kemacetan dan kesibukan bapak membuat kami jarang bisa menikmati waktu bersama.

Orang-orang menjadi sakit karena terserabut dari kodrat kemanusiaannya. Itu premis yang diyakini bapakku. Itu juga yang katanya menjadi alasan pindah ke Yogja. Bagi bapak, vonis kanker menjadi peringatan keras pola hidup yang selama ini dijalani. Kehidupan kota besar yang jauh dari manusiawi. Istilah bapak, di Jakarta orang bisa menjadi uwong (orang sukses secara materi), tapi di Yogjakarta orang bisa merasakan menjadi manungso (manusia dengan sisi kemanusiaannya).

Soal ini aku sependapat dengan bapak, karena terbukti meskipun angka pendapatan perkapita Yogjakarta termasuk yang terendah di republik ini, tapi angka harapan hidupnya justru yang paling tinggi. Intinya bukan soal Yogjanya, dimanapun asal manusia sejahtera lahir batin besar kemungkinan panjang umur. “Kalau begitu kanker bukan karena rokok ya Pak ?” Aku mulai sependapat dengan bapak. “Sama sekali bukan,” tegasnya. “Bapak kenal rokok sudah puluhan tahun. Jauh sebelum bapak mengenal ibumu. Tidak mungkin bapak terkecoh.” Kami tertawa bersama. Bapak seperti puas karena aku mulai memahami jalan pikirannya.

Baca Juga:  Rokok Forte, Produk Djarum yang Mencoba Peruntungan di Pasar Rokok Putih

“Lalu apa hubungannya rokok dengan pasangan hidup?” tanyaku tegas. Terus terang aku sangat ingin tahu jawabannya. Soal sependapat atau tidak itu urusan nanti. “Menurut bapak, rokok itu seperti pasangan hidup. Ada keindahan, kenikmatan tapi juga ada pengorbanan dan pembelajaran hidup. Dari cara mereka merokok, sedikit banyak menunjukkan cara hidup mereka.”

Panjang lebar bapak menjelaskan. Tapi kurang lebih begini. Pria yang bisa mengelola hubungan dengan rokok secara baik, secara umum bisa menjadi cermin bahwa dia akan bisa mengelola hubungan dengan pasangan sama baiknya. Laki-laki yang merokok dengan memperdulikan lingkungan sekitarnya. Meminta ijin pada orang sekitarnya, besar kemungkinan tipe laki-laki yang memperdulikan pasangan. Lebih mudah mewujudkan suasana rumah tangga yang demokratis jika menikah dengan pria tipe seperti ini. Cukup masuk akal menurutku. Kalau untuk urusan rokok saja dia sudah egois, bukan tidak mungkin urusan-urusan yang lain juga begitu.

Pria yang sering berganti-ganti jenis rokok, kurang lebih akan bersikap begitu pada pasangan. Tidak setia. Dan lelaki yang sering tidak menghabiskan batang rokoknya, umumnya punya karakter yang moody. Percaya atau tidak, terserah.

Tanda yang lain, pria yang memakai korek pematik konon lebih memiliki kemampuan perencanaan yang baik dibanding pria perokok yang memakai korek api kayu batangan. Teori ini sekarang agak sulit diterapkan, karena hampir semua orang kini memakai korek gas. Korek batangan kayu sudah jarang ditemukan. Padahal dulu korek jenis ini paling popular. Korek pematik sebelum memakai gas seperti sekarang, terbilang merepotkan.

Dulu semua pematik harus memakai baterai. Selain harus dijaga jangan sampai kena udara lembab, karena nyala korek bisa mlempem. Sumbu dan roda pematik juga harus rajin dibersihkan. Jadi memang besar kemungkinan pria yang mau berepot-repot seperti ini punya stamina tinggi soal ketelatenan dalam membuat persiapan. Termasuk mempersiapkan masa depan keluarga. Lagi-lagi, sayang ini sudah sulit diterapkan. Tapi yang perlu dipertimbangkan lagi jika calon pasangan kita perokok yang suka lupa membawa korek ini menjadi indikasi dia suka mengabaikan kepentingan pasangan.

Pilihan antara rokok berfilter dan tidak juga bisa menjadi tanda tipe-tipe pria. Pria yang memilih rokok berfilter umumnya lebih menyukai hal-hal yang bernuansa modern. Pria yang menyukai rokok tanpa filter biasanya lebih suka pada hal-hal yang klasik dan natural. Aku ingat-ingat, jarang sekali aku melihat orang merokok tanpa filter di diskotik. Sama langkanya dengan perokok dengan filter di acara pagelaran wayang kulit. Tidak semua perokok tanpa filter adalah orang tua. Bahkan di kalangan anak muda mulai tren merokok hasil racikan sendiri. Kebiasaan yang dulu lazim dilakukan saat belum ada industri rokok. Pria-pria seperti ini pasti orang yang sangat memperhatikan detil. Sabar dan sangat menikmati proses. Prinsip lebih cepat lebih baik, tidak berlaku untuk mereka. Berlahan tapi indah dan penuh kenikmatan.

Konon lagi, menurut bapak, laki-laki yang selalu menaruh rokok meja saat bersama orang-orang lain, menjadi tanda pribadi yang terbuka dan berjiwa sosial tinggi. Pria yang lebih senang menaruh rokok di kantor atau tas, mereka umumnya orang-orang yang menjunjung tinggi privasi. Tapi bukan berarti mereka pelit, kecuali mereka memang tidak mau berbagi dengan orang lain. Ini hanya dari segi pilihan tempat menyimpan.

“Laki-laki yang merokok dengan anggun, tertata. Tidak sembarangan. Kurang lebih akan seperti itu juga memperlakukan pasangan seksualnya.” Aku simpulkan itu berarti cara merokok pria berbanding lurus dengan cara mereka memperlakukan perempuan sebagai sebagai mitra seks. Sejak itu aku jadi rajin mengamati pria-pria merokok. Dan ternyata beberapa pria memang merokok dengan sangat mempesona. Merokok anggun di tempat yang nyaman, dengan cara yang rapi, perlahan namun terlihat sangat menikmati. Batapa bahagianya sang rokok diperlakukan secara terhormat.

Makin hari aku semakin suka mencari tahu tentang misteri-misteri di balik kebiasaan merokok para pria. Info terbaru aku dapat dari seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang aku wawancara di sebuah lokalisasi di Jakarta. Dari pengalamannya, pria yang merokok membuat basah batang rokok, cenderung memiliki gaya seks yang liar. Benar tidaknya, tentu harus dibuktikan. Setidaknya mengamati cara pria merokok bisa jadi salah satu kiat menghindari salah pilih pasangan.

*Tulisan karya Atika ini diambil dari buku Perempuan Bicara Kretek

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara