Press ESC to close

Pameran Juragan Style: Membaca Arsitektur Jengki Milik Juragan Tembakau Madura

Dalam naskah kuno Kawruh Griya, yang menyajikan berbagai pengetahuan dan falsafah bangunan bagi masyarakat Jawa, rumah sering kali diandaikan sebagai sebuah pohon. Manusia berteduh dan bernaung di bawahnya. Sehingga aktivitas membangun rumah, dianggap sama seperti menanam pohon. Arsitektur, dalam beberapa sudut, memang memiliki sifat yang hampir mirip dengan tanaman. Keduanya membutuhkan tanah untuk berdiri. Selain itu, berbagai faktor geografis mempengaruhi pertumbuhan karakter keduanya. Sebagi contoh, citarasa setiap jenis pohon tembakau menjadi khas bergantung pada silangan variabel yang rumit; mulai dari jenis tanah, kondisi iklim, hingga komposisi ekologis lain di sekelilingnya.

Beberapa jenis pohon tembakau bahkan tumbuh sangat spesifik dan tidak mungkin tumbuh di tempat lain, sehingga kemudian dihargai sangat mahal. Ada tembakau Srinthil (Temanggung), tembakau Senang (Lombok), Mole (Garut), Eco (Sulawesi), Tambolaka, tembakau Campalok (Sumenep).

Sama seperti tanaman, perkembangan sebuah gaya dalam arsitektur sebetulnya juga tidak mungkin dilepaskan dari akar kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Dalam risalahnya, Karl Scheffler menyebut bahwa arsitektur adalah “seni sosial”, yaitu sebuah subyek yang sangat tergantung pada dinamika struktur sosial, sehingga desakan ekonomi dan sosial menjadi dua kekuatan yang mempengaruhi arah gerak arsitektur di masyarakat.

Kiranya tidaklah berlebihan terminologi yang dikemukakan di atas, yang termuat pada katalog pameran bertajuk “Jengki Architecture Week Exhibition 2016” (09-12 November) lalu. Dimana arsitektur bangunan jengki dibaca sebagai jejak “perlawanan” masyarakat pasca kolonial, serta citra status sosial di masyarakat.

Seturut itu, derap budaya urban kini terbilang sukses mengubah cara pandang masyarakat dalam memaknai rumah, bahkan lebih dekat lagi mengubah nilai-nilai kewargaan (relasi sosial). Keberadaan permukiman berganti wujud, dan menjelma hunian-hunian baru, disenjangkan segala hal yang artifisial, terdampak kepentingan politik pembangunan.

Pameran bersifat work in progress yang dilakoni oleh Muhammad Darman dan Faiq Nur Fikri—peneliti sekaligus peserta residensi Jengki Madura—merupakan hasil kerja lapangan yang dilakukan pada dua desa; Kapedi dan Prenduan, Sumenep Madura. Mereka menyoroti sekaligus mengarsipkannya ke dalam karya visual, dimana arsitektur dan bangunan yang pada masanya dipandang membawa spirit di luar kelaziman.

Baca Juga:  Sejarah Rokok Sukun, dari Klobot Hingga Terkenal

Pada dua desa itu terdapat beberapa rumah dan bangunan milik para juragan tembakau yang pernah berjaya pada kurun 1960-1980an dan disebut bergaya jengki. Pembacaan tersebut berdasar argumen Josef Prijotomo—beliaulah yang menggulirkan wacana arsitektur jengki—bahwa gaya jengki muncul sebagai akibat dari hengkangnya arsitek-arsitek Belanda pasca kemerdekaan, lalu kemudian para aanemer atau lulusan STM mengambil-alih posisi sebagai perancang. Dengan keterbatasan pengetahuan tentang arsitektur dan didorong oleh semangat anti kolonial, muncullah bentuk-bentuk “perlawanan” yang ganjil namun memikat; kolom penyangga yang miring, dinding luar bergambar, jendela berbingkai miring keluar, kanopi teras plat beton bergelombang, hingga pucuk atap yang tidak simetris.

Lain itu, jengki sendiri merupakan istilah atau sebutan yang biasanya dihubungkan dengan kata Yankee, sebuah sebutan bagi orang-orang New England yang tinggal atau lahir di Amerika Utara. Khususnya tentara yang berperang untuk penyatuan dalam perang sipil di Amerika. Namun di Jepang pada akhir  1970-an istilah Yangkee dipakai untuk menyebut remaja berandal. Seiring perkembangannya, istilah itu merujuk pula pada gaya busana tempo dulu, meubel, sepeda, juga arsitekur rumah. Yang oleh Mas Ayos Purwoaji (kurator) dikukuhkan dengan istilah Juragan Style.

Tidak dapat dimungkiri bahwa sebuah ekspresi arsitektur erat terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, teknologi, nilai bahkan ideologi pada sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Rumah serta bangunan yang menjadi sumber penelitian itu tercatat pada masanya adalah milik para usahawan lokal yang memproduksi beberapa merek rokok kretek. Pada sekitar tahun 1977 tercatat setidaknya 60 juragan yang tersebar di seluruh Madura. Dan 15 di antaranya para juragan yang tinggal di dua desa tersebut, setengah diantaranya merupakan keturunan tionghoa dan sisanya merupakan pribumi. Persaingan perdagangan yang tinggi dan sentimen anticina membuat para pedagang keturunan tidak dapat melanjutkan bisnisnya di dua desa tersebut.

Baca Juga:  Menghitung Nilai Ekonomi Cengkeh Bagi Petani Bali

Ada beberapa hal menarik dalam sesi diskusi pada pameran Juragan Style, yang sekaligus memaparkan aspek fungsi (eksterior-interior), serta relasi antar ruang pada rumah jengki melalui film. Satu di antaranya yang terlontar dari peserta diskusi, terkait belum tampak sempurnanya hasil kerja lapangan itu, lantaran masih dipandang putus dari benang merah (visualisasi) kesejarahan yang mendorong terbentuknya gaya arsitektur jengki di Madura.

Yang kemudian dibenarkan oleh Mohammad Cahyo Novianto (Narsum dari Badan Pengkajian dan Litbang IAI), bahwa memang mestinya paling kurang satu bulan masa residensi yang dibutuhkan untuk mendapat hasil yang relatif lebih sempurna. Sementara praktek residensi ini dikerjakan hanya dalam waktu dua minggu. Maka tak ayal jika masih bersifat work in progress.

Jika selama ini arsitektur banyak diulas melalui pendekatan teknis dan estetis, pameran ini berusaha menariknya lebih jauh; “fenomena sosial macam apa yang memicu berkembangnya gaya arsitektur dalam sebuah masyarakat ?” Atau, “dapatkah kemunculan sebuah gaya menjelaskan dinamika sosial yang pernah berkembang di masyarakat ?” Dalam konteks yang lebih jauh, karya arsitektur memiliki kemungkinan untuk menjadi alat baca yang mampu menggambarkan psiko-sosial suatu komunitas.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah