Press ESC to close

Mengakali Rokok Penyair

Suasana kafe kelas menengah. Chairil sesekali mencuri pandang ke arah Ida. Pianis Mochtar Embut memainkan karyanya yang terinspirasi dari kisah percintaan Kamajaya dan Kamaratih, terdengar syahdu dan menyirap. Termasuk perhatian penyair kerempeng yang malam itu sedang tidak mengidap Senja di Pelabuhan Kecil, sonder Sri Jati sonder sebungkus rokok di saku. Matanya kemudian tertuju penuh pada sang komposer dan pianonya.

Abu rokok di mulutnya terjuntai, persis seperti fotonya yang populer bertebaran di jagat Google. Dengan tatapan serius Chairil menyimak lagu demi lagu yang diperdengarkan secara instrumental; Anak Perahu, Tiada Bulan di Wajah Rawan, Kasih dan Pelukis meluncur manis dan memukau.

Hanya saja pas lagu Mars Pemilu dimainkan, Chairil agak terusik, bersecepat angkat pantat dari kursi seperti hendak menginterupsi. Tetapi kedahuluan dikejutkan tepukan tangan Rendra pada pundaknya. Rokoknya yang tinggal tiga kali isapan terjatuh. Chairil batal melariskan interupsi.

“Kenapa, Ril, mau protes lagu Pemilu itu?”

“Ah, Willy, sok tahu betul kau.”

Rendra tersenyum kecil, seraya mengajaknya duduk sediakala. Lalu mengeluarkan kretek filter dari saku kemeja denimnya. Tanpa basa-basi Chairil segera mencabut sebatang dari sarangnya. Segera kretek filter itu jadi berasap. Romantisme piano berhenti. Suasana kongkow kembali ke percakapan masing-masing. Semacam nasib yang diisyaratkan dalam puisi ‘Pemberian Tahu’. Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing.

“Biar saja lagu itu dimainkannya, toh tak berarti apa-apa di kehidupan kita sekarang.”

Baca Juga:  Liburan Ala Klopp

“Bukan apa-apa. Itu lagu produk  Orba.”

“Iya karena dibuat pada era Suharto, coba di Era Sukarno.”

“Ah, sudahlah, Wil. Tadi itu aku mau rikues.”

Rikues apa? Rikues lagu Kasih Ibu?”

“Bukan. Aku mau rikues puisiku untuk diiringi piano.”

“Haha…Seorang Chairil kepincut musikalisasi puisi.” Suara Rendra mengundang telinga lain terusik.

“Hush. Aku bukan mau gaya-gayaan seperti newbie merayakan puisi.”

“Lantas apa?”

“Kau lihat perempuan yang memainkan rokok di jemari lentiknya itu?” Sambil menunjuk dengan alis dan sungutnya, Chairil membenamkan rokok di asbak. Pelan Rendra menoleh ke arah yang ditunjuk Chairil.

 

“Heh, siapa dia, Ril ?”

“Ida. Perempuan cerdas yang kuabadikan pada puisi.”

“Owh, kamu mau pamer baca puisi buat Ida dengan iringan piano.” Rendra mangut-mangut.

Rendra membakar rokok pertama yang dihisapnya bersama Chairil. Penyair kerempeng yang pernah terjungkal ditumbuk Paus Sastra HB Jassin itu menyusul membakar pula rokok. Chairil mulai memainkan isyarat kepada Rendra. Sebab belum juga ada gelagat Rendra memesan kopi atau minuman lain yang menyempurnakan tarikan rokok.

“Kadang aku miris melihat nasib pelayan manis itu, Wil.”

“Miris kenapa?”

“Perempuan semanis dia, upahnya itu jauh di bawah harga pentas drama kau. Dan lagi…”

“Sudah sudah, aku mengerti arah bicaramu, Penyair.”

Chairil nyengir kuda. Rendra memanggil pelayan dengan ramah. Seraya memesan dua gelas kopi. Chairil semringah. Kepulan asap rokoknya diolok angin dari luar jendela. Pohon cempaka di seberang jendela bergoyang mencipta tariannya sendiri. Kurang dari 10 menit dua gelas kopi tiba di meja. Rendra melayangkan senyum flamboyannya kepada pelayan yang pula bersikap santun.

Baca Juga:  Gerbong Kereta Khusus Merokok adalah Hak

“Perempuan itu, Wil, dari cara memainkan rokoknya bisa diterka kecerdasannya.”

“Wah ini, ini justru kamu yang sok tahu.” Balas Rendra.

“Amati Ida, cermati gesturnya saat rokok tidak sedang dihisapnya. Anggun bukan?”

“Mmh, nekat betul kamu mengobral tafsir.” Sanggah Rendra tenang.

“Bandingkan dengan gaya merokok perempuan yang satu meja dengannya.”

“Aku tambah curiga padamu, Ril.”

“Simpan dulu kecurigaanmu.”

Chairil beranjak dari kursinya. Meraih rokok di meja sambil menenteng kopi ngeloyor ke arah meja perempuan yang sejak tadi digunjingkan. Rendra tak mau ambil peduli dengan tingkah penyair itu. Namun Ia belum juga ngeh kalau rokok miliknya dibawa Chairil. Setelah Chairil sukses menderaikan tawa Ida dan temannya. Rendra baru ngeh setelah sesaat kecarian. Di kepala Ia mulai menyusun siasat agar rokoknya dapat kembali dari tangan Chairil, tanpa harus ada yang dipermalukan. Sebab kali itu Rendra sendiri sedang cekak. *Bersambung.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta