Press ESC to close

Teori Kesehatan tentang Rokok itu Lebay

Karena kesehatanlah suatu ketika Ibu akhirnya menegur saya dengan halus untuk berhenti merokok. Tapi saya tahu betul, ibu sebetulnya tidak benar-benar meminta saya untuk berhenti merokok. Ibu barangkali tahu, merokok bagi anak muda yang baru gede seperti saya menjadi aktivitas yang lazim. Padahal, saya tahu betapa rewelnya ia kepada bapak perihal rokok ini hingga akhirnya bapak kini benar-benar berhenti merokok.

Tapi dari sinilah, sebagai perokok aktif, belakangan saya punya kesimpulan serampangan; teori kesehatan dalam rokok itu adalah sesuatu yang lebay. Jika tidak, mana mungkin ibu bisa lebih keras ke bapak perihal tegurannya untuk berhenti merokok. Ibu barangkali memiliki alasan berbeda; bahwa kesehatan tidak lebih penting ketimbang perkara kebutuhan dapur dalam perkara rokok.

Orang-orang, khususnya para antirokok bisa dengan mudah bicara rokok telah menyebabkan sekian ribu orang mati karena rokok, atau puluhan orang mati setiap jamnya karena rokok. Tapi, telinga kita sepertinya lebih sering mendengar berita kematian karena kecelakaan ketimbang karena rokok. Lewat televisi rumah, kita lebih sering mendengar berita kematian karena keracunan makanan. Orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas yang konon jauh dari asap rokok malah lebih sering kita dengar berita penyakit kronisnya ketimbang masyarakat kelas bawah yang akrab dan dekat dengan asap rokok.

Sebagai orang pesantren, tentu saya juga akrab dengan kehidupan kyai-kyai pesantren. Kyai saya bahkan tetap aktif merokok di usianya yang sudah senja. Rokok, seperti halnya kitab, mungkin menjadi salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari dunia pesantren. Karena saking dekatnya, warga NU punya plesetan pada nama organisasinya sendiri, Nahdlatul Udud.

Baca Juga:  3 Kemampuan Dahsyat Dari Rokok

Oleh para antirokok, kita lebih banyak ditakuti tentang bahaya rokok. Tapi nyatanya, kita seperti lebih banyak mendengar manfaat rokok: bagi seniman, sastrawan, penulis, kyai, bahkan tukang bangunan.

Sayangnya, nonperokok kadang sering latah ikut-ikutan bicara tentang dampak dan bahaya rokok. Mereka memosisikan diri sebagai antirokok. Padahal antara keduanya jelas berbeda. Nonperokok, sebagai bukan perokok saya rasa memiliki alasan lebih bijak untuk tidak merokok ketimbang mereka yang lebih sibuk mengurusi dan mengomentari para perokok. Sebab, urusan antara perokok dan nonperokok itu hanya urusan ruang berbagi. Tidak lebih dari itu.

Jika karena alasan perhatian, saya rasa para antirokok harus juga mengampanyekan bahaya junk food, bahaya asap kendaraaan, atau mudahnya akses masyarakat untuk membeli kendaraan yang telah menjerat masyarakat dalam pusaran hutang yang tak berkesudahan. Atau bisa dengan mengampanyekan masyarakat untuk getol berolahraga. Itu tak kalah pentingnya agar masyarakat bisa lebih sehat, kuat, kaya, dan pintar.

Perkara kesehatan dalam rokok memang memancing perdebatan. Tapi, ada baiknya perokok juga tahu faktor lain penyebab sakit, misalnya dari kurangnya berolahraga atau pola hidup yang tak seimbang. Karena pada dasarnya, perkara kesehatan bagi manusia adalah soal bagaimana menjalankan hidup yang seimbang.

Manusia tertua di dunia saat ini, Mbah Gotho (146), nyatanya masih aktif merokok. Bahkan di usia yang kelewat senja itu, Mbah Gotho tak mengidap penyakit macam kanker, jantungan, stroke dan semacamnya. Keluhannya hanya tak jauh-jauh soal urusan sakit pinggang, meriang, atau masuk angin yang cukup hanya dengan dikerok. Menurut pengakuan salah satu cucunya, Suryanto, Mbah Gotho punya kebiasaan seperti orang-orang dulu pada umumnya. Ia tak bisa tinggal diam di rumah. Mbah Gotho biasa mencangkul, mencari rumput, dan lebih penting, selalu bangun pagi. Ia tak menggunakan alas kaki setiap melakukan aktivitasnya.

Baca Juga:  Yang Perlu Diperhatikan Pemerintah Sebelum Menaikkan Tarif Cukai Rokok

Di kampung, tak jauh dari rumah saya, ada pula orang tua dengan kebiasaan yang tak jauh berbeda dengan Mbah Gotho: mencangkul dan rajin pergi ke sawah saban pagi. Para tetangga memanggilnya Pak Ending. Sewaktu SMP, saya biasa melihat Pak Ending lewat depan rumah setiap pagi, persis saat keluarga kami sedang sarapan, pukul setengah tujuh pagi. Menurut cerita beberapa tetangga, Pak Ending konon akan sakit jika tak menjalankan rutinitasnya itu, sakit-sakit badan atau meriang. Dan, ia masih merokok.

Bagaimana logika menerima semua itu? Silakan dipikir. Etapi, antirokok kan emang ngak mau tahu ya?

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut