Press ESC to close

Menjadi Perokok Etis dengan Tidak Menjadi Curanrek

Tak selamanya barang berharga adalah yang barang yang mahal

Mulanya saya sampai tak habis pikir, mengapa beberapa kawan sampai uring-uringan hanya karena kehilangan buku. Harga buku tak semahal harga laptop misalnya, atau hanphone, pikir saya. Tapi anehnya, beberapa di antara kawan saya kini memilih untuk tidak meminjamkan bukunya dengan alasan apapun. Belakangan saya tahu, mengapa di antara mereka mengambil keputusan itu.

Untuk buku, saya sekarang mulai bisa menerima mengapa beberapa teman memilih untuk tak meminjamkannya. Jika ada yang seperti itu, saya hanya buang nafas. Saya hargai keputusannya. Barangkali sudah banyak bukunya yang kini entah di mana, dan tak tahu rimbanya. Beberapa di antaranya mungkin adalah buku-buku yang menurutnya bagus yang sudah tidak diterbitkan lagi, hingga kemungkinan untuk memilikinya lagi adalah kesia-siaan.

Padahal sebetulnya, orang-orang Indonesia ini diisi oleh orang-orang yang kelewat baik. Kecuali untuk korek api, kehilangan laptop atau hanphone pun, kadang dirasa berat karena isi atau datanya. “Aduh, foto-foto aku sama dia,” atau, “Aduh, padahal itu video udah aku koleksi dari tiga tahun yang lalu.” Bayangkan, bukan barangnya, tapi datanya. Meski, saya juga hampir tidak percaya sekalipun semua data-data itu sudah disimpan misalnya, ia akan benar-benar bisa legowo menerima kehilangan.

Curanrek adalah kepanjangan dari pencurian korek. Ini sudah jadi tradisi yang semua perokok barangkali akrab dengan kriminalitas yang kerap terjadi di kalangan perokok ini. Motif curanrek bisa bermacam-macam. Boleh jadi mereka yang mengambil karena memang ada kesempatan karena si pemilik lupa, atau karena disengaja, seperti pura-pura meminjam, sampai si pemilik lupa. Harganya memang tak seberapa, tapi kehilangan korek itu rasanya beda-beda tipis dengan kehilangan pacar karena digebet orang, katanya.

Baca Juga:  Sudahkah Kretek Mendapat Tempat Prestisius?

Korek api  barangkali hanya benda dengan harga Rp3000 sampai paling mahal Rp7000. Tapi mengapa beberapa orang sampai mendiamkannya di kantong jika sedang kumpul atau nongkrong-nongkrong, dan memilih orang lain atau teman yang mengeluarkannya lebih dulu. Kalau pun memang mentok tidak ada, paling banter ia mengeluarkan, tapi lekas memasukkannya kembali setelah dipakai.

“Asu … mana korek gua. Baru beli, kok ya, hilang lagi,” umpatan-umpatan model begitu barangkali mafhum kita dengar, khususnya di kalangan mahasiswa, untuk urusan kehilangan korek. Tak mahal memang, nilainya bahkan bisa sebanding jika kita membeli rokok sebungkus lalu kita bawa ke tongkrongan. Tapi kenapa, kehilangan korek rasanya bisa buat ‘sesak nafas’ ketimbang kehilangan rokok sebungkus yang boleh jadi itu dibakar berramai-ramai hampir setiap hari.

Karena urusan korek itu pula, seseorang bahkan kadang menjadi orang yang paling pelit, meski dikenal baik hati untuk urusan yang lain. Sebagian yang lain memilih untuk bilang tidak ada, meski di tas atau di kantongnya ia menyimpan lebih dari satu korek hasil curian. Tapi pahamilah, untuk urusan ini, kadang kebaikan seseorang tidak bisa diukur atau dinilai.

Baca Juga:  Tarif Listrik Naik, YLKI Enggak Berkutik

Lalu, kenapa sebenarnya sebagian orang menjadi pelit untuk urusan korek ini?

Semasa di pesantren, kehilangan-kehilangan benda sederhana itu sudah jadi tradisi. Kami biasa menyebutnya ghasab. Barang-barang yang sering hilang itu biasanya seperti sendal jepit, sepatu, peci, alat-alat mandi, seragam sekolah, bahkan sampai celana dalam. Karena sering sekali terjadi, beberapa kawan melakukan berbagai cara untuk menghindari hal itu, seperti membuat tempat rahasia di kamar, atau selalu tak lupa mengunci kamar. Meski begitu, kadang masih saja kehilangan. Sungguh menyebalkan. Memang sederhana, tapi rasanya memang menyebalkan jika sedang dibutuhkan.

Kadang, sesuatu yang berharga memang tak dilihat dari nilai atau harganya. Ia boleh jadi sesuatu yang dilihat sederhana, namun sangat berarti bagi si pemilik, seperti misalnya gelang yang sempat dikasih mantan, atau ikat rambut bagi yang berambut gondrong. Bisa juga celana dalam, bagi yang malas cuci baju, misalnya. Begitu pula dengan rokok, tanpa korek api, ia hanya benda yang tak bisa dijadikan dan memberi apa-apa.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut