Press ESC to close

Selalu Ada Waktu untuk (sebatang) Rokok

Perokok selalu punya cara sederhana untuk selalu bahagia

Sejak Ramadhan, saya dan beberapa teman sesama perokok di kosan punya kebiasaan baru: berbuka dan menutup sahur dengan sebatang rokok. Itu semacam jadi ritual tambahan selain menjalani puasa (emang puasa?) dan salat tarawih (kalau lagi acara buka bersama aja siih). Tapi jangan salah, itu ritual tambahan yang kekhidmatannnya tak akan kalah ketimbang puasa dan tarawih yang diwajibkan. Meski agaknya, bagi kami, merokok di dua waktu itu telah menjadi kewajiban baru di bulan puasa kali ini.

Usai sedikit makan atau minum yang manis-manis di waktu berbuka, kami langsung pindah ke teras kosan, dan langsung membakar rokok. Makan berat belakangan. Tapi itu berkebalikan di waktu sahur. Rokok baru kami bakar di menit-menit akhir waktu menjelang azan subuh, juga di teras kosan. Entahlah, ada sensasi tersendiri memilih waktu membakar rokok di dua waktu itu. Dan hanya perokok yang tahu.

Di dua waktu itu, kami sesama perokok akan saling berbagi cerita mengenai apapun, yang paling tidak, bisa sedikit meregangkan urat-urat saraf karena kesibukan sehari-hari.

Di satu kesempatan, salah seorang kawan usai berbuka bercerita tentang tradisi merokok di keluarganya. Sekadar informasi, saya baru menyadari, obrolan tentang tradisi merokok di keluarga ini menjadi salah satu obrolan yang paling sering di antara sesama perokok. Beberapa tempat nongkrong saya sering bercerita soal ini.

Ia, orang yang usianya jauh di atas saya, bercerita tentang pantangannya dalam merokok. Biar gampang, anggap saja ia senior. Saya biasa memanggilnya Kang Dadel. Belum lama anak pertamanya lahir. Tentu saja merokok bukan kebiasaan baru baginya, apalagi kini ia telah menjadi seorang bapak. Tapi baginya, ia pantang untuk merokok di depan ayahnya. “Enggak tahu, segan aja si,” katanya. Tentu saja ayahnya tahu ia adalah perokok. Dan ada tiga kakak laki-lakinya yang lain, yang juga merokok. Tapi hanya di depan ayahnya ia tak berani menyalakan rokok.

Baca Juga:  Benarkah Industri Kretek Telah Berpihak Pada Buruh?

Di sela-sela obrolan adik laki-lakinya datang. Saya basa-basi menawarinya rokok. Sambil senyum-senyum masam, ia menolak tawaran saya. Saya tahu, si adik adalah perokok. Dan tentu saja Kang Dadel sebagai kaka, juga tahu adiknya juga merokok. Tapi itulah tradisi yang lahir sesama perokok di keluarga. Anda barangkali juga merasakannya.

Kawan seumuran saya yang lain jauh berkebalikan dengan cerita di atas. Di momen wisudanya beberapa waktu lalu, ia malah tanpa beban merokok di depan kedua orang tuanya. Namanya Agung. Kami berteman sudah sejak delapan tahun yang lalu, semasa di aliyah dan pesantren. Sejak saya mengenalnya, ia memang sudah merokok. Dan orang tuanya tak mempermasalahkan soal pilihannya untuk menjadi merokok. Karena Agung itulah, Kang Dadel kemudian keheranan.

Oji, kawan saya yang lain punya cerita lain lagi. Meski orang tuanya sudah membolehkannnya merokok, tapi orang tua Oji melarang anak-anaknya merokok di depan adik-adiknya, apalagi yang masih kecil.

Untuk saya, saya yang termasuk sama dengan Oji dan Kang Dadel. Kedua orang tua saya memang tak melarang, ini hanya prinsip pribadi: tak merokok depan adik, apalagi di dekatnya. Sejak dibolehkan merokok lima tahun lalu, usai keluar pesantren dan lulus Aliyah, Ibu mulai membolehkan saya merokok. Ibu karena itu, sering memberi uang jajan karena alasan rokok. “Ini buat beli rokok,” katanya. Atau jika sedang menemani Ibu ke pasar saya ditawarinya untuk beli rokok. Sementara dengan bapak, saya sering berbagi rokok. Jika saya sedang tak ada, saya bisa memintanya ke belio, begitu pun sebaliknya. Tapi itu lama sebelum bapak berhenti merokok. Lantaran itu, kini saya sering kelimpungan jika stok rokok habis jika saya sedang di rumah. Iya, harus meminta ke siapa. Tapi meski dibolehkan, saya masih segan saja membakar rokok depan mereka. Jika sedang di rumah, saya hanya akan merokok di luar rumah, atau jika mereka sudah terlelap tidur. Tapi ibu atau bapak memang tahu betul kebiasaan saya itu. Karena seusai bangun, biasanya saya sering kehilangan bungkus sisa rokok semalam. Ternyata sudah disimpan di lemari.

Baca Juga:  Arus Balik, Jangan Merokok Saat Berkendara

Kami sesama perokok akan bercerita apa saja jika sedang berkumpul: usai bermain futsal, sehabis berbuka, sebelum imsak, di waktu diskusi, hingga di sela-sela buang air besar, kapan pun itu. Asal tidak mengganggu kenyamanan kawan-kawan kami yang tidak merokok. Tapi dasar memang perokok orangnya asik-asik dan enggak kaku, mereka yang tidak merokok, bisa ikut nongkrong dan ngumpul. Bukan, mereka bukan para antirokok. Mereka adalah orang yang menghargai kami yang merokok. Dan kami juga menghargai mereka yang tidak merokok. Kami saling menghargai.

 

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut