Press ESC to close

Pergi Haji Membawa Kretek adalah Sebagian dari Iman

Boleh jadi hanya jemaah haji asal Indonesia yang punya keunikan dalam hal membawa perbekalan ke tanah suci. Mulai dari membawa perlengkapan memasak juga beras dan ‘jimat’. Termasuk pula rokok, yang umumnya adalah kretek. Namun rokok yang dibawa jumlahnya sangat dibatasi oleh otoritas.

Tidak sedikit jemaah haji yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini  menjadikan rokok sebagai bagian dari sarana rekreatif cum alat diplomasi di tanah suci. Seperti kita ketahui, menunaikan ibadah haji adalah panggilan bagi umat islam yang memiliki kemampuan. Tidak hanya mampu secara finansial, namun pula mampu secara fisik.

Fisik mereka yang rata-rata sudah bukan muda lagi ini terbilang adalah orang-orang teruji. Terutama jemaah haji yang masih mengonsumsi rokok. Yang dicap oleh rezim kesehatan sebagai golongan pesakitan, bahwa kesehatan dan stamina perokok itu sangat rentan. Namun semua itu tak melulu terbukti. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya. Justru ini membuktikan kecintaan manusia Indonesia terhadap produk budaya bangsanya.

Manusia Indonesia yang dulu pernah disebut dalam ciri keenam oleh Mochtar Lubis, sebagai manusia yang tidak hemat dan boros. Terbantahkan lewat fenomena perbekalan jemaah haji semacam ini. Tilik saja, barang perbekalannya yang seperti mahasiswa pecinta alam itu jelas mengisyaratkan, betapa segala kemungkinan disiasati dengan persiapan yang matang.

Coba pikir, ketimbang jajan makanan Indonesia yang serba mahal di tanah Arab. Iya kalau pas ada. Lebih baik memasak sendiri. Belum lagi gambaran lain yang pernah terjadi, terkait tertundanya jatah makan yang disediakan. Dan tentu itu membuat trauma tersendiri. Bahkan kabarnya para jemaah haji kita ini hanya berhak dapat jatah makan siang dan makan malam saja dari panitia di sana. Sementara sarapan adalah pondasi. Sesuatu yang tak kalah penting, terlebih ini di perantauan.

Mengingat pula rokok khas Indonesia yang susah didapat di negara orang. Yang harga per bungkus bukan main mahalnya. Untuk rokok non kretek saja harganya sekira 13 riyal atau jika dirupiahkan bisa lebih dari Rp45.000. Apalagi rokok kretek. Yaiyalah, bahan bakunya istimewa. Mengandung rempah-rempah yang oleh bangsa lain dipandang sebagai komoditas mewah. Biar hemat, iya bawa stok kretek dari negeri sendiri.

Baca Juga:  Kiat Mengurangi Risiko Penyakit Jantung

Seorang teman yang beberapa waktu lalu berplesir di Vietnam bercerita tentang pengalamannya sewaktu ingin menghisap kretek kegemarannya saja Ia merasa seperti orang yang sedang mencari barang terlarang. Sekalinya dapat yang tulen, harganya bukan main mahal kalau dirupiahkan. Itu di Vietnam, tentu lain lagi di Makkah. Jadi tak perlu heran kenapa lebih baik bawa stok rokok dari Indonesia.

Menurut Farmadi Hasyim, Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah (Kasi PHU), dia bisa memahami psikologis para Calon Jemaah Haji (CJH) yang ditanganinya pada embarkasi Surabaya. Maklum, rokok bagi CJH Embarkasi Surabaya seperti makanan pokok. “Sesuai ketentuan, rokok yang boleh dibawa sebanyak 200 batang. Atau maksimal hanya boleh membawa dua slop rokok,” paparnya.

Dalam babak sejarah haji Indonesia yang terdapat dalam buku Historiografi Haji Indonesia, M. Shaleh Putuhena menuturkan, bahwa sejarah perkembangan jemaah haji asal Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkenalan Islam dengan penduduk di Indonesia. Pada abad VII, Samudera Hindia merupakan jalur sutra yang sangat ramai untuk rute Arab.

Pada saat Indonesia dijajah, tokoh-tokoh di Indonesia menjadikan haji sebagi momentum untuk mempersatukan masyarakat muslim melawan penjajahan. Menurut catatan Louis Barthema, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati juga pergi ke Makkah setelah kota kelahirannya, Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1521. Beliau melakukan diplomasi politik melobi Dinasti Ottoman di Turki untuk mengusir Portugis yang merebut Pasai.

Bukan tidak mungkin, pada masa itu beliau pun sekurangnya membawa alat diplomasi lain, seperti yang pernah dilakukan Haji Agus Salim di Istana Buckingham pada tahun 1953. Yang menjadikan asap  kreteknya untuk mengingatkan Pangeran Philip akan kemasyhuran Indonesia yang membuat bangsa Eropa menjajah Nusantara.

Baca Juga:  Karena Kretek Adalah Indonesia

Dan pada masa sekarang jika kita menilik keberadaan kretek yang tengah menghadapi suatu pola penjajahan gaya baru. Melalui kepentingan politik dagang industri farmasi yang memainkan jurus pengendalian produk olahan tembakau. Maka rokok yang menjadi bekal para jemaah haji tidak sepantasnya terlalu dipolitisasi. Misalnya dengan menuduh mereka berniat sekalian dagang rokok di sana.

Peran para jemaah haji asal Indonesia yang membawa stok rokok ini, tak dipungkiri telah turut andil pula dalam menyatakan identitas dan sikap politiknya. Dengan menghisap kretek di tanah suci adalah antitesa atas cap haram yang dibunyikan sebagian kalangan.

Tentu kita tak lupa bahwa tokoh seperti Haji Djamhari sebagai pencetus lahirnya rokok campuran cengkeh, yang kemudian dikenal dengan kretek. Ia tentu tidak punya niatan untuk berdagang rokok setelah diketahui rokok temuannjya ampuh dapat meluruhkan sesak dada.

Jika pun ada jemaah haji kita yang membawa rokok lebih dari dua slop ke tanah suci, bagi saya itu merupakan satu bentuk otokritik terhadap pemerintah di tengah maraknya produk impor yang membanjiri pasar Indonesia. Apa lacur, jika produk budaya kita sukses menginvasi ruang temu budaya di sana. Sementara produk asing di negeri ini saja bisa berlaku demikian. Bahkan lebih.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah