Press ESC to close

Menjaga Kelangsungan Tanah dan Dapur Diluar Musim Tembakau

Selain mengandalkan tembakau sebagai sumber pendapatan utama, para petani juga menanam berbagai jenis sayuran lain di ladangnya. Untuk mengurusi tembakau biasanya petani membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bisa enam sampai tujuh bulan yang dibutuhkan untuk siap dijual ke gudang. Jenis sayur lain dan kacang-kacangan biasanya ditanam jelang musim tembakau itu berakhir.

Selama rentang mengurusi tembakau, petani menyiasati kebutuhan pangan sehari-hari dari tanaman yang ditanam di lahan yang sama. Masa tanamnya kerap menyesuaikan siklus musim, umumnya mengacu pada kalender pertanian yang berlaku pada masyarakat tani di Jawa. Pembagian waktu bercocok tanam itu dikenal dengan Pranoto Mongso.

Di Desa Tlilir, Temanggung, yang rata-rata masyarakatnya bergantung hidup dari perladangan di lereng Sumbing, lazim pula memanfaatkan tanaman sela menjadi makanan olahan untuk dikonsumsi sendiri. Salah satunya kacang merah, yang diolah menjadi sop senerek. Selain pula kacang hitam yang biasa disebut gude, leuncang, juga labu.

Golongan kacang-kacangan yang ditanam secara perdu tidaklah tumbuh terlalu tinggi. Saya mendapati labu sayur yang tumbuh merambat di pinggir kebun, sementara di pinggir tegalan ada juga cabai yang pada masa pasca panen kali itu terlihat siap dipetik. Bicara soal tanaman lain yang ditanam petani Tlilir tak sebatas dari jenis sayuran. Ada juga pohon cengkeh dan kopi, jumlahnya tak terbilang banyak.

Sudah bisa dipastikan jenis komoditas lain di luar tembakau juga memberi nilai guna bagi petani. Selain pula bermanfaat bagi kelangsungan tanah. Baik itu untuk kebutuhan hara tanah maupun keterserapan air ketika musim hujan tiba.

Sekali waktu ketika berkesempatan ngobrol di dapur Sugito, petani tembakau asal Tlilir yang rumahnya menjadi pondokan kami selama di desa itu. Saya menanyakan langsung perihal tanaman lain yang ditanam di ladang tembakau kepada istrinya, yang kala itu tengah menyiapkan lauk untuk disajikan di meja keluarga.

“Bu, kacang-kacangan semacam itu memang sengaja ditanam ya?”

Baca Juga:  70 Tahun Mbah Man Bersama Rokok dan Kopi

“Yaiya, buat dikonsumsi sendiri kalau di sini.”

“Apa tidak menggangu pertumbuhan tembakau?”

“Iya nggak lah, jagung juga kami tanam, itu kan ada masa tanamnya. Panennya juga cepat,” tandas Ibu Sugito, seraya memindai sayur gude untuk segera disajikan.

Sayur gude yang berkuah hitam itu adalah masakan yang diolah secara sederhana. Memiliki kandungan protein yang cukup dibutuhkan tubuh. Jenis masakan lainnya yang berbahan dasar kacang, yakni sop senerek (kacang merah). Sop ini juga tergolong menu favorit. Namun di Temanggung sendiri kerap menjadi lauk yang lazim dikonsumsi.

Yang pasti, sop berbahan kacang-kacangan yang umumnya dilengkapi pula dengan daging, merupakan lauk sayur yang lazim dikonsumsi. Terutama bagi masyarakat petani yang mengandalkan tanaman yang tumbuh dari ladangnya sendiri.

Gude merupakan perdu dengan tinggi bisa mencapai 3 meter. Tumbuhan ini juga merupakan kacang tahunan dengan umur yang tidak terlalu panjang, hanya 1-5 tahun. Berbeda dengan perdu yang menghasilkan kacang senerek, Ia tidak tumbuh tidak terlalu tinggi. Kedua tanaman ini relatif tahan panas dan kering, sehingga cocok sebagai tanaman penghijauan di kawasan kering seperti lereng Sumbing.

Jauh sebelum muncul tren masyarakat kota mengonsumsi sayur mayur organik, masyarakat tani telah melakukan hal itu sebagai suati hal yang lazim. Bukan sesuatu yang mesti dilebaykan di ruang bualan seakan itu memberi kebanggaan, bahwa hal itu membuktikan kesadaran mereka akan kesehatan. Meski mengonsumsi junk food pun tak pernah absen dari keseharian.

Saya rasa di kehidupan petani lain yang serba sederhana pun demikian. Tak butuh itu sebagai penguat citra yang dibuat-buat. Sayur-mayur yang mereka dapat dari lahan sendiri—berkat perhatian yang tekun dan alamiah—itulah faktor yang membuat tubuh petani lebih sehat dan kuat, berbeda dengan tubuh orang kota, yang makanannya rentan terkontaminasi efek mata rantai dagang.

Menyoal tanaman yang organik, mereka biasanya memakai pupuk kandang yang digunakan untuk menyuburkan lahan tembakau. Setelah musim tembakau selesai, sisa hara dari pupuk  kemudian digunakan untuk tanaman lain.

Baca Juga:  Review Rokok Dunhill Hitam; Kok Begini?

Jadi tak perlu heran, meski tanah perladangan di lereng Gunung Sumbing lebih berpasir dan berbatu dibanding tanah di lereng Sindoro, kacang-kacangan maupun tanaman sayur lainnya di sini cukup memberi nilai lebih, baik secara ekonomi juga untuk melengkapi kebutuhan pangan sehari-hari.

Betapa pun ada pihak yang melihat komoditas lain dinilai cocok untuk menggantikan tembakau, misalnya sayur-sayuran berupa brokoli ataupun kentang, juga pohon kopi. Namun bagi umumnya masyarakat petani tembakau di desa ini, komoditas itu belum dapat menandingi pendapatan yang dihasilkan dari tembakau.

Di lereng Sumbing dengan tanahnya yang kering, komoditas yang paling cocok ditanam di musim kemarau hanyalah tembakau. Sulit untuk menumbuhkan tanaman lain kala itu di sana. Karenanya, meski digadang-gadang sebagai penyebab erosi oleh kelompok antitembakau, komoditas ini tetaplah menjadi andalan di sana.

Berkat ketekunan para petani yang melanjutkan kearifan (budaya bertani) leluhurnya, tak pernah mereka mengabaikan potensi itu. Sugito dan petani lainnya turut pula menjaga kelangsungan tanah. Baik itu dengan menanam pohon kopi, cengkeh, juga beberapa tanaman pendukung lainnya.

Jadi, jauh sebelum bahaya erosi itu digaungkan, para petani tembakau sudah lebih dulu mengutamakan perhatiannya terhadap tanah. Makanya, tak sedikit tanaman pendukung kebutuhan tanah tetap dilestarikan. Bahkan untuk mengantisipasi tergerusnya (erosi) tanah, mereka membuat sabuk gunung di lereng tempat mereka bercocok tanam. Itulah salah satu kejeniusan petani dalam mempertahankan dan merawat kelangsungan lahan penghidupannya.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah