Press ESC to close

Bedah Buku Nicotine War di Unair Surabaya: Membentengi Kretek Dengan Nalar Budaya

Ketidakmandirian pada level pengetahuan telah membuat bangsa Indonesia sering tidak tepat menemukan solusi atas berbagai persoalan. Termasuk halnya dalam perkara kretek melalui pembacaan Nicotine War sebagai sebuah peta perang politik dagang. Masyarakat perokok serta kalangan luas lain, mestinya dapat menangkap siasat dagang yang bermain di balik isu kesehatan.

Masyarakat Indonesia telah lama diintervensi oleh kampanye kesehatan yang masif dan dipaksa mengamini hasil penelitian luar negeri secara mentah-mentah. Pada acara bedah buku Wanda Hamilton di Surabaya (Jumat,17/06) kali ini, kembali budayawan Irfan Afifi menegaskan kepada khalayak yang hadir pada acara tersebut, agar lebih peka akan keberpihakan terhadap kretek sebagai aset bangsa Indonesia.

Acara bedah buku yang digelar untuk keempat kalinya, setelah sebelumnya diawali di kota Jogjakarta, Semarang, Malang. Kegiatan bedah buku Nicotine War di Universitas Airlangga, yang diselenggarakan Komunitas Kretek bersama Forum Silaturahmi Mahasiswa Daerah, membawa penalaran khalayak untuk memaknai fakta-fakta yang diungkap Wanda Hamilton melalui bukunya.

Dari konteks kebudayaan, Irfan Afifi menegaskan pula, bahwa “kita harus menjaga nalar kebudayaan, sebab itulah yang membuat kita masih bekerja membentengi rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia”. Perlu diketahui lanjut, bahwa produk kretek telah memiliki sejarah budaya yang panjang. Berbilang abad telah mampu hadir mengangkat sektor ekonomi masyarakat, dan terbukti tangguh secara industri dalam menghadapi badai krisis yang menerpa Indonesia.

Selain Irfan Afifi, pada kesempatan tersebut turut diisi pula oleh Suko Widodo, seorang dosen Komunikasi Politik Airlangga. Suko membeberkan data, “akibat kenaikan tarif cukai pada kurun waktu tahun 2015 -2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47 persen.  Akibat penurunan produksi rokok, serapan tembakau petani menjadi terpengaruh.” Papar Suko.

Baca Juga:  Kemarau Panjang, Petani Cengkeh Berharap Perhatian Pemerintah

Sebagaimana kita ketahui, berbagai kampanye kesehatan yang dimainkan antirokok atas dalih pengendalian tembakau di Indonesia, membawa dampak yang luar biasa. Kewarasan masyarakat diobrak-abrik melalui isu kesehatan yang masif disuarakan untuk menekan konsumsi rokok. Sementara, dari sisi ekonomi, sektor kretek merupakan sektor padat karya yang berkontribusi besar bagi devisa negara.

“Sebelum melarang, sebaiknya para ahli kesehatan benar-benar melakukan penelitian mengenai manfaat tembakau, karena saya yakin semua yang ada di dunia ini bukan sesuatu yang sia-sia dan pasti memiliki manfaat positif. Kretek ini adalah harta karun yang nilainya besar dan harusnya bisa mengangkat perekonomian di negara ini.” Pungkas Suko Widodo pada kesempatan tersebut.

Iya, sebelum era NItisemito, secara ekonomi, politik maupun budaya, produk kearifan lokal bernama kretek telah memberi manfaat yang sangat berarti. Mengingat lagi komponen bahan baku pada kretek, semuanya tersedia di dalam negeri, termasuk pelaku usaha dan pasarnya. Ini membuktikan adanya sisi kedaulatan di masyarakat.

Sejurus ini, Abhisam Demosa kembali mengungkap, bahwa hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengontrolan tembakau.

Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO antitembakau.

Baca Juga:  7 Tempat Larangan Merokok yang Harus Kamu Patuhi

Dalam konteks perang nikotin ini, Abhisam menegaskan, bahwa isu antirokok telah berkembang di Indonesia, salah satu agenda besarnya adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang terus diperingati di Indonesia setiap tanggal 31 Mei.

“Segala kampanye antirokok di Indonesia hari ini adalah duplikasi strategi yang sudah dibongkar Wanda Hamilton dalam Nicotine War. Menaikkan cukai tinggi, membuat peraturan yang eksesif, dan sebagainya itu, tak lain adalah untuk mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri, agar leluasa memonopoli peredaran nikotin. Bayangkan, jika IHT ini tumbang, kedaulatan pun turut terancam,” terang Abhisam.

Kegiatan bedah buku yang berlangsung tak lebih dari dua jam itu, turut dimeriahkan pula dengan sesi hiburan Kretekustik oleh Define Music. Esensi hiburan ini sebangun dengan filosofi dari produk kretek sebagai peluruh kepenatan, perekat suasana yang menyenangkan. Bukan seperti yang kerap dikampanyekan antirokok, bahwa rokok biang kerok perkara kesehatan. Dari agenda bedah buku inilah, kita kembali menalar kretek sebagai upaya menjaga simbol jati diri bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *