Perbincangan soal tembakau selalu memunculkan berbagai perdebatan yang terkait dengan munculnya kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang saling bertentangan. Kepentingan pertama melihat dari aspek kesehatan, sedangkan kepentingan yang lain melihat dari aspek ekonomi, tenaga kerja, sosial dan politik, serta secara khusus kepentingan petani.
Oleh karena itu, kajian tentang pertembakauan ini tidak secara spesifik membahas hasil tembakau, namun memberikan ulasan mengenai aspek hulu sampai hilir secara luas agar tidak dililihat secara parsial. Pengaturan ini harus mempertimbangkan mengenai aspek pertanian, aspek ekonomi, aspek politik, dan aspek sosial budaya.
Secara turun-temurun, hasil olahan tembakau di Indonesia didominasi oleh kretek, yang ditemukan oleh bangsa Indonesia pada akhir abad ke-19. Kretek merupakan campuran antara tembakau dan cengkeh, dengan jenis tembakau khusus yang indigenous. Indonesia merupakan negara penghasil cengkeh tertinggi didunia, dan pemanfaatan cengkeh terutama digunakan untuk industri kretek.
Pada perkembangan situasinya, dan dengan segala aspek yang dimiliki, Indonesia dihadapkan pada tekanan sebagian kalangan untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dalam FCTC terdapat dua agenda besar, yaitu memuat upaya mengurangi kebutuhan akan tembakau, dan mengurangi ketersediaan tembakau.
Memuat upaya mengurangi kebutuhan akan tembakau dilakukan melalui: proteksi terhadap asap tembakau; regulasi terhadap isi produk tembakau; regulasi tentang kandungan produk tembakau; pengemasan dan pelabelan produk tembakau; edukasi, komunikasi, pelatihan dan kesadaran masyarakat; serta iklan, promosi dan sponsor tembakau.
Sedangkan upaya mengurangi ketersediaan tembakau dilakukan melalui: pengaturan atas perdagangan gelap produk tembakau; penjualan untuk dan oleh anak dibawah umur; dan penyediaan bantuan bagi kegiatan ekonomi alternatif.
Beberapa kegiatan yang diinginkan dalam konvensi ini adalah: menetapkan langkah-langkah untuk membatasi interaksi dengan industri tembakau, menolak kemitraan dengan industri tembakau, tidak memberikan perlakuan khusus untuk industri tembakau, dan industri tembakau milik negara diperlakukan sama dengan industri tembakau lainnya.
Hal ini tentu tidak adil mengingat industri hasil olahan tembakau di Indonesia, khususnya kretek, didominasi oleh kretek tangan. Sangat mungkin diduga bahwa konvensi ini hendak membuat industri kretek nasional hanya didominasi oleh perusahaan multinasional. Perlakuan yang sama antar industri hasil olahan tembakau akan membuat industri nasional menjadi tidak berkembang.
Pengaturan mengenai pertembakauan di Indonesia semestinya tidak disamakan di negara lain. Indonesia adalah negara dengan karakteristik pertanian yang berbeda dan memiliki produk tembakau yang unik. Karakteristik pertanian yang dimiliki Indonesia adalah tanah yang subur, potensi sumber daya manusia yang besar, dan sumber daya hayati yang tinggi. Sumber daya manusia pertanian, terdiri dari petani dan buruh tani.
Di Indonesia, petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap sangat besar. Namun, dengan minimnya dukungan kebijakan yang diberikan pemerintah, petani penggarap tetap mampu bertahan hidup. Beberapa daerah di Indonesia, yang sudah mapan dengan tanaman tembakau dan cengkeh sebagai bahan baku utama kretek sangat minim dukungan.
Sangat dapat dirasakan bahwa perusahaan multinasional dan swasta asing mulai berupaya untuk menguasai pasar nasional. Upaya untuk menguasai pasar nasional ini dilakukan melalui pengaturan kebijakan yang seolah-olah mengatasnamakan kesehatan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Rancangan Undang-Undang mengenai pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan, Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai pengendalian rokok sebagai zat adiktif, dan upaya untuk meratifikasi atau mengaksesi FCTC.
Dari studi yang sudah banyak dipublikasikan dalam buku Ekonomi Tembakau di Indonesia dan Naskah Akademis RUU tentang Pengendalian Dampak Tembakau Terhadap Kesehatan yang disusun oleh Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan disebutkan mengenai dampak negatif akibat merokok dan terkena paparan asap rokok. Namun, menurut Pusat Studi Nano Biologi, Universitas Brawijaya belum ada penelitian tentang dampak merokok dengan menggunakan sampel perokok (yang difokuskan pada responden kretek), dan bukannya sampel dari orang sakit yang datang di rumah sakit (hospital base sampling method).
Hasil yang diharapkan dari RUU Pertembakauan ini adalah pengaturan yang berimbang mengenai pertembakauan di Indonesia, dari hulu sampai hilir. Pengaturan dari hulu, mulai dari petani pemilik dan petani penggarap, sarana dan prasarana utama, sampai informasi mengenai harga dan iklim, serta pemasaran. Pengaturan di hilir, terkait dengan keberadaan industri hasil tembakau, termasuk didalamnya industri kretek dan industri rokok putih, terutama keberpihakan negara terhadap industri hasil tembakau nasional.
Oleh karena itu, pengaturan mengenai pertembakauan di Indonesia semestinya meletakkan posisi negara pada marwah sesungguhnya. Peran DPR sebagai representasi dari perwakilan rakyat, dan pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur mengenai tata berusaha petani tembakau dan cengkeh, industri hasil tembakau, industri penunjang, dan perlindungan kesehatan. Jangan sampai permasalahan sepenting ini regulasinya malah mengikuti kemauan asing.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023