Terorisme, apapun bentuknya, adalah hal yang harus kita lawan. Hal-hal mengenai kekerasan, dan lain-lain, adalah masa lalu. Bangsa ini telah berada pada masa dimana (harusnya) setiap orang bergandeng tangan menjalani hidup yang saling menghargai.
Menolak stigma buruk, diskriminasi, dan dogma kebencian pada satu kelompok, ataupun suatu hal, adalah hal utama yang kami kerjakan. Meski pada konteks yang paling utama, kami menentang segala bentuk diskriminasi pada perokok, tapi di luar itu, tentu saja kami menolak segala dogma yang membuat masyarakat saling membenci satu sama lain.
Karena itu, 3 serangan bom bunuh diri di Surabaya dan 1 di Sidoarjo kemarin adalah preseden nyata, bahwa dogma kekerasan masih menguasai sebagian dari saudara kita. Bahwa keyakinan mereka akan, superioritas agama, telah membuat hal-hal buruk bagi bangsa ini terjadi. Tentu saja, tidak ada hal yang lebih buruk ketika melihat nyawa-nyawa tak berdosa terenggut karena kebencian terhadap orang yang berbeda agama.
Sebagai bagian dari kelompok yang didiskriminasi, perokok (harusnya) amat memahami bagaimana kebencian terhadap satu kelompok telah begitu mengakar di kelompok masyarakat yang lain. Walau memang, tidak bisa dibandingkan secara apel ke apel, tapi tetap saja, diskriminasi adalah diskriminasi.
Lalu, yang lebih menyebalkan dari peristiwa kemarin, tatkala terjadi peristiwa berdarah tersebut, ada banyak pihak yang justru dengan santainya membuat teori-teori soal konspirasi dan membuat framing tertentu tanpa mau berempati terhadap orang-orang yang dipaksa menjadi korban.
Mungkin ini adalah hal paling ekstrem yang bisa dilakukan oleh dogma. Jika kebencian dan diskriminasi menjadi sebuah hal yang dianggap biasa, tapi ketika kekerasan yang mengakibatkan korban jatuh barulah kita bersikap. Meski dengan cara yang masih biasa-biasa saja, seperti mengutuk atau mengharap aparat bekerja lebih baik. Walau sebenarnya, kita bisa berbuat lebih dengan melawan dogma sebelum hal ekstrem itu terjadi.
Dogma anti-antian terhadap apapun itu haruslah dilawan, dibasmi hingga ke akar-akarnya. Karena dogma anti-antian adalah sebuah hal yang akan selalu menganggap hal yang berbeda adalah sesuatu yang salah. Dan yang dianggap salah itu harus ‘dipaksa’ untuk menjadi seragam dengan mereka yang menganggap diri paling benar. Atau, jika hal itu tidak bisa dilakukan, maka kelompok yang berbeda (bisa jadi) harus dibasmi, dibinasakan.
Hal semacam ini pernah terjadi tatkala seorang walikota di Bogor sana mengucap kalimat tegas: “Saya ingin menyiksa para perokok” hanya karena ketidaksukaannya pada para perokok. Hanya karena, Ia tidak suka rokok, dan menganggap perokok adalah masyarakat yang menjalani hidupnya dengan cara yang tidak sesuai dengan konsep ideal di kepalanya.
Hal semacam tadi adalah varian sederhana dalam bentuk mengekspresikan kebencian. Suka ataupun tidak, kebencian yang lebih mengakar lagi dapat diekspresikan dengan cara yang makin ekstrem, seperti tragedi hari kemarin. Bayangkan, karena kebencian terhadap satu kelompok, ekspresi yang dimunculkan kemudian adalah sebuah bom bunuh diri. Betapa, ternyata kerja-kerja kebencian amatlah mengerikan.
Karenanya, jangan sampai jatuh lagi nyawa-nyawa tak berdosa akibat penyebaran kebencian melalui dogma yang sedikit-sedikit anti dan menolak kelompok yang berbeda. Sudah saatnya, toleransi dibangun dengan cara-cara yang paling sederhana. Semisal, menghargai pilihan orang untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang kita lakukan.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023