Press ESC to close

Menghakimi Para Perokok

Salah satu kebiasaan yang mudah dirasakan dari masyarakat kita adalah kegemaran mereka membicarakan keburukan orang lain. Atau jangan keburukan deh, ada orang belum menikah saja melulu ditanyakan dan dijadikan bahan obrolan. Memangnya mereka yang membahas hal-hal semacam tadi mau membiayai pernikahan kita?

Ya, omongan tetangga adalah momok menakutkan yang harus dihadapi banyak orang di Indonesia. Kebiasaan seperti ini biasanya timbul dari kegemaran mereka mempersepsikan suatu hal dalam sudut pandang mereka sendiri. Sebuah kebiasaan memberi penilaian pada orang lain, dan kerap disertai dengan penghakiman pada batasan tertentu.

Hal seperti ini juga kerap dirasakan oleh para perokok. Mereka kerap distigmakan negatif oleh masyarakat, berdasar persepsi akan perokok yang biasaya diterima mereka dari kampanye-kampanye menjelekkan rokok dan perokok. Dan dengan mudahnya, penghakiman pada aktivitas merokok dilakukan hanya dengan dasaran kampanye yang kadang juga berisikan kebohongan.

Misalkan pada kasus filter rokok yang katanya dibuat dari darah babi. Secara tegas Majelis Ulama Indonesia telah membantah isu tersebut. Menurut pemilik stempel halal ini, filter rokok yang beredar di Indonesia sama sekali tidak mengandung darah babi. Jadi, isu tersebut memanglah sebuah kebohongan yang sengaja dikampanyekan oleh suatu kaum.

Baca Juga:  Dukung RUU Pertembakauan, Tolak FCTC

Sialnya, karena terdengar oleh masyarakat yang malas melakukan verifikasi pada suatu isu, kebohongan itu kemudian dipercaya dengan teguh. Setelah itu, kebohongan yang diyakini itu ditimpakan pada para perokok. Hei perokok, kalian mengonsumsi barang haram, kami suci dan kalian penuh dosa. Ya begitulah kira-kira penghakiman yang diberikan.

Selain itu, ada juga pandangan terkait kebiasaan merokok. Okelah, dulu-dulu masyarakat kita memang belum dibiasakan dengan nilai etik modern. Pun dengan merokok. Merokok ya merokok, tidak ada bahasan tentang batasan ruang dimana orang boleh merokok atau tidak boleh merokok.

Namun kini, para perokok juga sudah mulai dibiasakan dengan batasan ruang itu. Kalau mau merokok ya di tempat yang kiranya benar. Tidak lagi orang sembarangan merokok di kereta api atau di gedung-gedung perkantoran. Kalaupun masih ada, jumlahnya sudah jadi jauh lebih sedikit ketimbang kenyataan di masa lalu.

Sialnya, begitu ada orang yang merokok di tempat umum, mereka selalu dianggap merokok di sembarang tempat. Padahal ya, secara regulasi, tempat kerja dan tempat umum lainnya menyediakan ruang merokok. Artinya ya, bisa saja mereka merokok di tempat umum juga tempat kerja. Tidak bisa serta merta orang merokok selalu dianggap salah.

Baca Juga:  Simplifikasi Cukai Harus Berorientasi Pada Kepentingan Rakyat

Kalaupun mau dibuat suatu permasalahan, pastinya semua yang terjadi itu karena ketiadaan ruang merokok. Seseorang dihakimi karena dianggap merokok sembarangan karena biasanya ruang merokok tidak tersedia. Lah kalau sudah begini, bagaimana seseorang mau tidak dianggap merokok sembarangan. Tempat untuk tidak merokok sembarangannya saja tidak tersedia.

Hal-hal semacam inilah kenyataan yang masih harus dihadapi para perokok. Stigma negatif dan kebiasaan menghakimi orang lain tanpa mau mempertimbangkan dasar dan konteks yang terjadi. Hanya karena kebiasaan membenci dan menghakimi, mereka tak mau peduli soal hak orang lain. Yang penting hak saya dipenuhi, dan kalian penuh dosa.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara