Kami kira ada dua hal yang menjadi masalah dasar dari berkembangnya wacana soal diskon rokok belakangan ini. Pertama, tentu saja, adalah pabrikan yang menjual rokok di bawah harga batas maksimal diskon. Kemudian yang kedua, adalah cara berpikir kalau diskon rokok merugikan negara. Dua hal yang kemudian membawa perkara baru dengan menyeret Komisi Pemberantasan korupsi ke dalamnya.
Dalam aturan, diskon rokok adalah hal yang sah saja dilakukan. Berdasar Peraturan Dirjen Bea Cukai No 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau, konsumen diperbolehkan mendapatkan diskon hingga 15% edari harga jual eceran. Artinya, secara regulasi, diskon rokok itu sah saja dilakukan.
Sayangnya, pembahasan soal ini kemudian bertolak ke arah yang liar dan naif. Apalagi wacana yang berkembang kemudian menyatakan kalau diskon rokok merugikan negara. Entah cara berpikir macam apa yang menghasilkan pemahaman seperti ini.
Sekadar mengingatkan, berapa pun diskon yang diberikan kepada konsumen, pendapatan utama negara dari rokok tidak pernah berkurang. Tolong catat ini, berapa pun harga rokok di jual pada konsumen, pungutan cukai, pajak rokok, serta PPN tetap mengikuti harga jual eceran yang tertera pada pita cukai. Jadi ya tidak ada pengaruhnya sama sekali perkara diskon pada pendapatan negara.
Jika kemudian anggapan diskon rokok merugikan negara karena Pajak Penghasilan Badan, harusnya yang pertama kali merugi tentu pabrikan. Karena pendapatan pabrikan berkurang barulah kemudian PPh Badan ikut berkurang. Namun, kenapa hanya negara yang dianggap merugi?
Asal tahu saja, diskon itu diberikan agar produk tetap bisa diserap pasar. Mengingat kenaikan tarif cukai yang gila tahun ini ditambah kondisi pandemi yang menciptakan krisis, wajar saja kemudian jika ada diskon harga rokok. Kalau tidak begitu, nantinya produk jadi tidak terserap dan pendapatan negara akan berkurang bukan hanya dari PPh badan, tapi juga dari pungutan cukai serta PPN.
Sekadar mengingatkan, industri rokok adalah salah satu sektor yang masih memberikan pemasukan besar pada negara lewat cukai di masa pandemi ini. Jika kemudian opsi diskon agar produk terserap harus dihilangkan, maka jangan kaget jika negara makin merugi karena pendapatannya cukainya berkurang.
Kebodohan yang terus diwacanakan oleh kelompok antirokok ini justru bertentangan dengan semangat menghidupkan kembali perekonomian seperti keinginan Presiden Joko Widodo. Karena, tanpa stimulus, ekonomi tidak akan tumbuh kembali. Dan isu yang diembuskan soal diskon ini, justru kontraproduktif dengan semangat tersebut.
Karena itu, tidak ada urusannya jika kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi harus terlibat dalam perkara sepele seperti ini. Kalau memang ingin ditegakkan, tinggal Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, atau Kementerian Perdagangan memanggil pabrikan untuk menegur atau memberi sanksi atas diskon banderol di bawah aturan. Kalau sudah begitu ya selesai perkara.
Ketimbang mengurus hal macam begini, lebih baik KPK fokus saja pada pemberantasan korupsi yang terjadi di negara ini. Kalau pun tidak mau mengurusi pemberantasan korupsi, ya lebih baik fokus urus etik pimpinannya yang berkehidupan mewah itu. Nggak usah lah urus perkara diluar sektor KPK.
Kalau pun KPK jadi terlibat dalam wacana dan persoalan ini, siapa yang mau jadi tersangka atas kerugian negara itu? Masa ya pedagang asongan atau pemilik warung di pengkolan sebelah. Kan nggak mungkin juga.
Paling, saya hanya bisa membayangkan pegiat-pegiat antirokok yang justru menggunakan rompi oranye KPK karena tuduhan merugikan negara. Lucu juga kalau mereka kemudian justru menjadi pesakitan karena wacana bodoh yang mereka embuskan sendiri. Gara-gara cara berpikir yang ngaco, eh malah dituruh merugikan negara. Menarik juga sih kalau kejadian.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023