Tuduhan rokok memiskinkan masyarakat adalah lagu lama kaset kusut. Menuduh rokok sebagai biang keladi, padahal hanya mencari kambing hitam atas kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya. Atau menggunakan logika: ingat, apapun yang terjadi penyebabnya adalah rokok.
Di masa krisis seperti ini, meningkatnya jumlah orang miskin adalah hal yang wajar. Jangankan kelas menengah yang jatuh, banyak juga orang kaya yang mendadak stres karena krisis ini. Semua terjadi karena perekonomian anjlok sementara kondisi pandemi membuat rakyat cemas.
Perlu diingat, hingga bulan Juni 2020, sudah ada lebih dari 3 juta orang yang kena PHK karena krisis ini. Itu belum dihitung pekerja informal yang kehilangan ladang penghidupan, pekerja yang dirumahkan, serta mereka yang kena pemotongan gaji. Jadi, jika kemudian harus ada pihak yang dituduh menjadi penyebab, sudah pasti telunjuk akan mengarah pada negara.
Sialnya, kegilaan membuat ada saja pihak-pihak yang menunjuk rokok sebagai penyebab kemiskinan rakyat. Katanya, rakyat miskin karena membeli rokok, karena mengonsumsi rokok. Padahal, kalau memang rakyat ada pekerjaan dan punya penghasilan, tidak mungkin membeli rokok membuat anda menjadi miskin.
Di kondisi seperti ini, rokok menjadi satu-satunya penghiburan yang bisa didapatkan masyarakat. Apa pun kelas sosial mereka, mau miskin atau kaya, kalau memang merokok ya itulah penghiburan menyenangkan untuk rakyat. Mau beli rokok mahal atau murah, mau yang sudah bungkusan atau linting sendiri, asal bisa sebats sih sudah cukup untuk perokok.
Begini, jika orang miskin kemudian merokok, jangan bayangkan mereka membeli rokok dengan harga Rp 30 ribu per bungkus. Tidak begitu juga saudara-saudara. Mereka pasti membeli rokok di golongan 3 yang harganya paling Rp 10 ribu per bungkus atau bahkan yang Rp 7 ribu per bungkus. Mentok-mentok, mereka bisa tingwe kok.
Inilah faktor yang tidak diperhatikan orang yang menuduh rokok memiskinkan masyarakat. Dikata semua orang rokoknya sebungkus kena harga Rp 30 ribu. Padahal ya sudah amat banyak orang beralih ke tingwe yang jelas lebih ekonomis bagi konsumen.
Sekadar informasi, membeli tembakau iris untuk tingwe paling seharga Rp 20 ribu untuk ukuran 50 gram. Sekali beli, itu bisa dikonsumsi untuk minimal satu minggu bahkan bisa dua minggu. Jika mengacu pada perilaku konsumsi balatingwe, paling mereka hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 100 ribu untuk sebats. Angka yang bahkan lebih murah daripada paket internet di zaman sekarang.
Jadi, tak bisa kita menyamaratakan pengeluaran masyarakat tanpa melihat konteks dan kelas sosialnya. Tidak mungkin seseorang mengeluarkan uang Rp 300 ribu untuk sekali makan jika Ia miskin. Pun pada konteks rokok, tidak mungkin mereka membeli LA Lights kalau memang tidak mampu membelinya.
Kalau pun memang rokok memiskinkan masyarakat, maka negara menjadi salah satu faktor pemiskinannya. Karena, dari semua uang yang kita keluarkan untuk rokok, sekitar 70% adalah jatah untuk negara. Jadi, pada akhirnya kita sampai di satu kesimpulan, yang memiskinkan masyarakat itu negara bukan rokok.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023