Press ESC to close

Negara Munafik Sebut Rokok Hambat Kemajuan Budaya

Negara, melalui rezim dan aparatnya, memang selalu munafik dalam menanggapi banyak hal. Di konteks rokok, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy sebut rokok hambat kemajuan budaya Indonesia. Padahal di sisi lain, kementerian sebelah terus menggenjot pendapatan dari rokok.

Menko PMK yang juga mantan Menteri Pendidikan dan anggota Muhammadiyah ini menyebut perilaku adalah faktor defisit dari nilai-nilai budaya yang dimiliki Indonesia. Hal ini, menurutnya, menjadi perintang bagi Indonesia untuk memajukan budaya. Soal budaya yang apa entah saya tidak paham.

Rezim pemerintahan kali ini memang tergolong protektif terhadap budaya di Indonesia. Contohnya budaya korupsi, yang sebisa mungkin dibantu dengan upaya-upaya melemahkan KPK. Ketua KPK ya orang pilihan kesukaan, Undang-undangnya juga sudah diubah sebaik mungkin. Budaya korupsinya, tentu saja tumbuh subur di ladang sendiri.

Kembali ke konteks rokok, saya kira anggapan rokok hambat kemajuan budaya Indonesia hanya bisa diterima oleh orang-orang yang tidak paham kebudayaan. Bahkan kebudayaan Indonesia dan rokok (kretek) tergolong akrab. Lah coba lihat budayawan-budayawan terkenal di Indonesia, banyak juga kan yang merokok.

Emha Ainun Nadjib, budayawan sohor itu merokok. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan tersohor kita juga merokok. WS Rendra, penyair yang membuat nama Indonesia besar juga merokok. Lah kok bisa-bisanya budayawan merokok, tapi rokok dianggap menghambat kemajuan budaya?

Baca Juga:  Menggugat Kenaikan PPN Rokok, Menggugat Rezim Pajak

Suka tidak suka kebudayaan Indonesia justru erat dan akrab dengan rokok. Kultur menyediakan rokok di gelasan kala syukuran hingga hari ini masih berjalan. Mengabarkan undangan pernikahan lewat sebungkus rokok juga masih ada di sebagian daerah. Malah di daerah macam Temanggung atau Jember, kebudayaan setempat tidak bisa lepas dari yang namanya rokok dan tembakau.

Karena itu, anggapan rokok menghambat kemajuan budaya boleh dibilang sebagai sebuah omong kosong yang diucapkan oleh Menteri. Bagaimana pun, negara ini erat dengan keberadaan produk budaya itu. Toh kretek, juga diciptakan oleh orang Indonesia.

Lagipula, hingga hari ini rokok masih menjadi andalan bagi penghidupan negara dan masyarakat. Tanpa rokok kretek, Kudus tidak akan bisa sebesar sekarang. Pun dengan Kediri juga Temanggung atau Jember. Kota-kota yang menjadi sentra industri rokok serta tembakau itu hidup bersama produk budaya ini sejak ratusan tahun lamanya.

Dari rokok, terhidupi puluhan juta nyawa yang tidak bisa ditanggung kesejahteraannya oleh negara. Mereka berjuang menghidup keluarga dari bisnis ini. Ada yang menjadi petani, buruh, pedagang, serta bekerja di sektor yang berkaitan. Tanpa itu semua, apa kemudian negara bisa menghidupi mereka? Saya kira tidak.

Baca Juga:  Perokok Bangga Menyumbang Cukai Rp 145 Triliun Pada Negara

Terakhir, ini yang menjadi bukti munafiknya negara dalam perkara rokok, toh cukai rokok masih menjadi salah satu penerimaan terbesar yang diandalkan pemerintah. Belakangan ini malah sedang dikaji besaran kenaikan tarif cukai untuk tahun depan. Bahkan Menteri Perindustrian menyebut industri rokok tahan banting menghadapi krisis dan membantu perekonomian negara di kala krisis.

Kalau sudah begini, masihkah Muhadjir Effendy itu sesumbar perkara rokok hambat kemajuan budaya. Ya seandainya memang rokok menghambat kemajuan budaya, merusak kesehatan masyarakat, dan sama sekali sudah tidak penting untuk negara ini, ilegalkan saja pak sekalian. Larang peredarannya, produksinya, dan budidayanya. Toh kebudayaan lebih penting ketimbang kehidupan masyarakat.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara