Selama ini negara memang tidak pernah berpihak pada industri rokok. Begitu kiranya pandangan saya ketika melihat Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pada akhirnya industri rokok hanya menjadi sapi perah, diperas uangnya lewat simplifikasi cukai dan kenaikan tarif cukai.
Sebenarnya, sejak dulu memang negara benar-benar tidak berpihak. Satu-satunya ilusi keberpihakan hanyalah terjadi ketika pemilu 2019, saat negara tidak menaikkan tarif cukai. Awalnya orang-orang bersorak girang, padahal itu hanya strategi kampanye gaya baru yang diterapkan negara.
Ingat, lewat keputusan tidak menaikkan tarif cukai para pemangku kepentingan di bisnis ini hampir satu suara mendukung Jokowi jadi presiden lagi. Asosiasi petani bahkan menjamin kemenangan telak Jokowi di Jawa Tengah. Di daerah lain, kelompok stakeholder lain pun terlibat dalam pemenangan Jokowi.
Namun nasib memang berkata lain. Ketika menang, hampir seluruh kebijakan Jokowi ini berpotensi besar menghabisi industri, lengkap bersama orang-orang yang mencari hidup di dalamnya. Asosiasi petani mulai protes dan mengingatkan Jokowi, sementara pihak lain mungkin sudah memberikan mosi tidak percaya pada presiden.
Masuk pada perkara paling baru yang dihadirkan Jokowi lewat RPJMN 2020-2024, kengototan negara untuk mencari uang pada akhirnya dijalankan dengan mengorbankan industri rokok. Lewat dua kebijakan cukai, yakni kenaikan tarif dan simplifikasi cukai, negara mencari uang walau harus mematikan sebagian besar pabrik dan jutaan orang yang ada di bisnis ini.
Begini, simplifikasi cukai itu mematikan industri rokok karena pabrikan kecil dipaksa bersaing langsung dengan pabrikan besar. Selama ini ada sistem penggolongan tarif bagi pabrikan kecil dan besar. sehingga, tarif cukai yang dibayarkan oleh keduanya berbeda. Mengingat modal dan sumber daya yang dimiliki pabrikan kecil dan besar juga berbeda.
Ketika simplifikasi cukai dilakukan, maka ke depannya penggolongan cukai yang selama ini terjadi bakal dihilangkan atau setidaknya diminimalisir. Jika sebelumnya ada 7 golongan, kemudian dibuat menjadi 3 golongan saja. Semua dilakukan dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara walau harus mematikan penghidupan jutaan orang.
Sekadar informasi, salah satu golongan yang ingin disederhanakan adalah kelompok Sigaret Kretek Mesin dengan Sigaret Putih Mesin. Selama ini memang SPM diberikan tarif cukai yang lebih mahal, karena produk ini biasanya dibuat oleh perusahaan luar negeri. Atau, setidaknya, perusahaan luar negeri yang sudah mengakuisisi pabrikan lokal.
Nah, mengingat SKM ini kebanyakan dibuat perusahaan dalam negeri, tentu harus ada perlindungan terhadap mereka dengan penggolongan cukai ini. Biar bagaimana pun, negara harus lebih berpihak pada industri lokal ketimbang industri asing. Sialnya, hal semacam ini dinafikan dalam upaya simplifikasi.
Negara mewacanakan penggabungan golongan keduanya. Artinya, pabrikan seperti Sukun atau Nojorono harus bersaing langsung dengan brand besar Malboro milik Philipp Morris atau Dunhill milik British American Tobacco. Pertarungan ini ibarat bertarungnya Real Madrid melawan Persitara Jakarta Utara. Sangat tidak imbang dan mudah ketahuan siapa yang menang.
Jika kebijakan ini benar berjalan, dan perusahaan kecil benar-benar harus bersaing dengan perusahaan besar, sudah pasti yang menang dan untung adalah pabrikan besar. Dan dengan begini, sah rasanya jika menyebut negara memang tidak berpihak pada industri rokok. Kalau sudah begini, agaknya jika kita merokok tingwe atau rokok tanpa cukai bakal lebih baik untuk melawan negara.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023