Press ESC to close

Petani Tembakau Mengamuk Pada Kondisi yang Diciptakan Negara

Musim panen biasanya dihadapi oleh para petani tembakau dengan sukacita. Hasil jerih payah perjuangan mereka menanam tembakau kemudian akan terbayar dengan terbelinya hasil panen mereka. Namun tahun ini, perjuangan mereka sepanjang musim tanam benar-benar berbanding terbalik dengan tahun-tahun yang lalu.

Beberapa waktu terakhir, tersiar kabar para petani membakar daun tembakau hasil panen mereka. Daun-daun tembakau yang masih ada di tanaman dicabut sebelum waktunya panen, sementara daun-daun yang telah dirajang dan dijemur disiram bensin lalu dibakar. Petani betul-betul melampiaskan amarahnya dengan amukan pada negara.

Semua ini terjadi lantaran belum dibukanya beberapa gudang pembelian tembakau oleh pabrikan. Tak hanya itu, pembelian yang dilakukan oleh tengkulak atau pedagang tembakau pun harganya jauh dari kata balik modal buat petani. Harga tembakau daun bawah saat ini hanya dihargai Rp 10 ribu/KG oleh para tengkulak.

Wajar jika kemudian petani marah dam mengamuk. Ini adalah harga yang derajatnya jauh di bawah harga produksi. Kalau dijual petani pun petani hanya akan mendapatkan rugi. Padahal sebagian uang untuk biaya produksi yang mereka pakai didapat dari meminjam di bank. Wajar jika kemudian mereka mengamuk.

Baca Juga:  Menggugat Kenaikan PPN Rokok, Menggugat Rezim Pajak

Bagi para petani, ketimbang menjual dengan harga murah dan tidak bisa menutup utang, sekalian saja kita bakar biar negara ini melihat kondisi yang mereka ciptakan. Ya, amukan petani ini adalah hasil dari kondisi yang diciptakan negara melalui kebijakannya. Walau ya memang ditambah keadaan pandemi, tapi perkara kebijakan lah yang sedari awal membuat kondisi seperti ini terjadi.

Jika tahun lalu pemerintah melalui Kementerian Keuangan tidak menaikkan tarif cukai setinggi 23% rata-rata, tentu hal seperti sekarang tidak bakal terjadi. Kalau kondisinya hanya dipengaruhi pandemi, tentu pabrikan masih kuat-kuat saja menyerap tembakau petani. Namun, karena cukai naik tinggi, produksi rokok turun drastis, tentu saja pabrikan ikut mengurangi pembelian tembakau dari para petani.

Sebenarnya saat ini pabrikan seperti Djarum dan Gudang Garam telah membuka gudang untuk pembelian. Namun, tentu yang pembelian diprioritaskan pada petani yang bermitra dengan mereka. Karena pabrikan seperti Djarum perlu memastikan kontrol kualitas dari tembakau yang dibeli, dan petani mitra mereka memang dipantau sejak masa tanam untuk mendapatkan kualitas yang baik.

Meski begitu, pabrikan sekelas Djarum dan Gudang Garam tetap menyerap hasil panen tembakau di angkat tonase yang besar. Namun tetap saja, pabrikan kecil yang jumlahnya banyak tentu telah mengurangi serapannya terhadap panen. Malah yang besar juga ada, misalnya seperti Bentoel yang tidak mengambil tembakau di Pamekasan.

Baca Juga:  Tarif Cukai Rokok 2022: IHT Jadi Sapi Perah

Seandainya dulu negara tidak menaikkan tarif cukai setinggi itu, mungkin pembelian panen tembakau tetap berjalan seperti biasa walau kondisi pandemi. Beratnya beban pabrikan kali ini tentu dobel, harus mengakali pandemi dan menghadapi harga cukai yang tinggi lengkap bersama implikasinya.

Dulu sih kami sudah mengingatkan agar jangan menaikkan tarif cukai setinggi, negara saja yang bandel. Sekarang. giliran negara diamuk sama petani. Itu kalau petani sudah ngamuk, puluhan ribu orang siap bergerak ke Istana negara. Bodo amat protokol kesehatan deh, perkara makan keluarga lebih penting dari itu.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara