Press ESC to close

Antirokok; Memberikan Solusi yang Tidak Solutif

Salah satu slogan terbaik yang pernah ada di Indonesia adalah milik Pegadaian; menyelesaikan masalah tanpa masalah. Sebuah slogan yang memberikan solusi bagi masyarakat Indonesia. Sementara, seakan mau menyamai, antirokok juga punya slogan yang mirip meski tidak sama, yakni; memberikan solusi yang tidak solutif.

Ya, sepanjang puluhan tahun mereka berperang melawan rokok serta tembakau, antirokok kerap kali memberikan solusi yang sama sekali tidak solutif. Apa pun bentuk perilaku mereka, hasilnya hanya memperkeruh, bukan menyelesaikan masalah. Mulai dari usulan kebijakan, hingga tanggapan terkait kebijakan yang ada.

Ada beberapa contoh nyata terakit hal ini yang terjadi belakangan. Salah satu yang paling nyata adalah usulan agar Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dibahas kembali dan direvisi. Mereka menilai aturan yang ada saat ini belum berjalan maksimal, karena itulah mereka mengusulkan agar direvisi. Sebuah solusi yang memang benar-benar tidak solutif.

Jika memang yang menjadi dalih revisi adalah aturan tidak berjalan maksimal, seharusnya yang didorong adalah penguatan upaya penegakan reguasi. Bukan malah melakukan revisi. Mengingat sekalipun aturan direvisi, jika penegakkannya tetap tak berjalan baik, regulasi tersebut tetap tidak akan berjalan maksimal. Artinya, sama saja bohong sekali pun aturan direvisi, hasilnya ya begitu saja.

Baca Juga:  Apa Sih Aktivitas dan Kerjaannya Komunitas Kretek?

Kemudian, jika melihat poin-poin yang didorong untuk direvisi, maka anda akan menemukan hal yang serupa. Seolah ingin memberi solusi, padahal hanya memperkeruh. Misalnya terkait target penurunan prevalensi perokok di bawah umur yang belum maksimal, mereka mendorong pelarangan iklan secara total. Padahal, hal tersebut sama sekali tidak berkaitan.

Sekalipun iklan dilarang, mereka yang ada di bawah umur akan tetap membeli rokok. Sepanjang penegakkan terhadap aturan pembelian belum dilakukan, iklan dilarang pun tidak akan mempengaruhi perilaku pembeli rokok di bawah umur. Artinya, hal ini justru kontraproduktif dengan tujuan semula, yakni menurunkan prevalensi.

Karena memang satu-satunya jalan untuk menurunkan prevalensi perokok di bawah umur adalah dengan penegakkan aturan pembelian. Mereka yang belum berusia 18 tahun dilarang membeli rokok. Cara melakukan seleksi itu bisa saja dengan menggunakan penanda identitas untuk membeli rokok.

Setelah itu, jika aturan sudah dijalankan, maka tinggal melakukan pengawasan yang ketat. Berikan sosialisasi pada para pedagang atau pemilik tokok/warung agar tidak menjual rokok pada mereka yang usianya belum 18 tahun. Jika ada yang melanggar, maka berikan teguran hingga sanksi administratif. Terapkan sebagaimana aturan berlaku, tanpa tebang pilih.

Baca Juga:  Melawan Logika Kanker Paru Pada Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia

Jika hal ini dilakukan, niscaya upaya menurunkan prevalensi perokok di bawah umur bisa berjalan. Karena akses mendapatkan rokok dari anak di bawah umur telah benar-benar dibatasi. Kalau sekadar melarang iklan tapi akses mendapat rokok tidak terkawal, ya mereka yang di bawah umur masih tetap bisa mendapatkan produk rokok dan mengonsumsinya.

Dua hal tadi agaknya sudah cukup untuk menunjukkan betapa tidak bergunanya keberadaan antirokok di Indonesia. Kalau sekadar untuk memahami perkara seperti ini saja tak mampu, bagaimana mereka bisa memberikan solusi terhadap kebijakan di Indonesia. Pantas saja, kita kerap menilai antirokok sebahai pemberi solusi yang sama sekali tidak solutif alias tidak berguna.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara