Search
Pemerintah DKI Jakarta Jangan Latah Membuat Raperda KTR

Jakarta Bebas Rokok, Manuver Politik Anies?

Jakarta bebas rokok menjadi jargon yang akhir-akhir ini mencuat di berbagai pergunjingan. Jargon ini ditunjang melalui Seruan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan dalih pembinaan Kawasan Dilarang Merokok (KDM). Parahnya, isi seruan itu justru bertentangan dengan asas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan No 36/2009 Pasal 115 ayat 1.

Sebagaimana asasnya, kehadiran KTR merupakan upaya pemerintah untuk memberi rasa nyaman dan rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Sebagai perokok, saya sepakat diatur perihal mengkonsumsi barang legal yang memiliki faktor risiko ini, layaknya aturan yang berlaku bagi pengguna kendaraan.

Ditilik dari asas itulah, sejatinya aturan tentang KTR bukanlah bentuk diskriminasi terhadap perokok serta perdagangan rokok, sebab penyelenggaraan KTR itu harus disertai dengan ketersediaan ruang merokok. Ketentuan tentang ini jelas dijamin konstitusi.

Namun, pada praktiknya, sebagian besar Perda KTR, melenceng dari asas. Perda KTR justru hadir sebagai cara untuk menyingkirkan perokok dari ruang bersama, penerapannya tidak disertai kesiapan; eedukasi dan penyediaan ruang merokok. Para pelanggar KTR malah dikenai sanksi dan denda, ya jelas tidak efektif.

Pada akhirnya, aturan tentang KTR cenderung menjadi ajang pencitraan politik belaka, para kepala daerah terperangkap pada prestise lain yang menghamba pada agenda rezim pengendalian tembakau. Gampangnya, para kepala daerah ini seperti disandera oleh skema kepentingan itu. Baunya bau konspirasi dong nih? Persis.

Anies Baswedan sebagai kepala daerah dikenal berlatar akademisi pendidika, seiring perjalanan karirnya justru lebih banyak bermanuver dalam ruang kontestasi politik. Jargon Jakarta Bebas Rokok tampaknya juga bagian dari manuver politik Anies menuju kontestasi 2024.

Baca Juga:  Cukai SKT dan Rasa Syukur Petani Tembakau

Bukan lagi rahasia, bicara soal pembatasan rokok sarat dengan kepentingan politik dagang. Banyak lembaga riset di dalam negeri serta lembaga yang fokus pada advokasi konsumen, sebagian besar didanai pendonor asing untuk mendiskreditkan rokok serta perokok, konsumen rokok malah dimusuhi.

Sebagaimana kita ketahui, sudah sejak lama korporasi farmasi dan rokok asing mendanai agenda pengendalian tembakau di seluruh dunia. Melalui berbagai bentuk dan cara yang mengarah pada monopoli bisnis nikotin. Satu di antaranya melalui program Bloomberg Initiative.

Nah, di dalam Sergub DKI No 8/2021 ini, terdapat poin seruan untuk menutup etalase rokok dan reklame yang dicap provokatif mengarahkan orang untuk merokok. Poin yang bertentangan dengan hak ekonomi masyarakat ini dalihnya untuk menekan prevalensi perokok serta mencegah ketertarikan anak terhadap rokok. Lebay sih!

Kepala daerah berjuluk Anies bermulut manis ini memang dikenal gemar mengobral janji. Mulai dari janji program rumah DP 0%, yang sampai di tahun keempat kepemimpinannya tak jelas progresnya. Ia malah lebih sering membeli lahan, abai pada target janjinya. Tak ayal kemudian, dirinya tersangkut polemik pengadaan lahan di Munjul yang sarat nuansa korup.

Kalau mau diungkap lebih jauh, sebagaimana kabar yang mencuat soal temuan BPK terkait dana miliaran yang terbuang secara gelap dari tiga perusahaan BUMD, dana dari anggaran untuk merealisasikan Ibu Kota sebagai tuan rumah penyelenggaraan Formula E di tahun 2020. Sampai sekarang masih menjadi polemic.

Baca Juga:  Kebijakan Ekonomi Jokowi Untuk Menahan Gelombang PHK?

Manuver lainnya soal sistem smart e-budgeting untuk RAPBD 2021 yang kabarnya dapat digunakan mulai Februari 2020, sampai kini tak kunjung terwujud. Aneh kan? Kembali ke soal Seruan Gubernur DKI tentang rokok, jika memang makna ‘pembinaan’ KTR ataupula Kawasan Dilarang Merokok itu sesuai asas, tentu yang Anies serukan adalah soal pengadaan ruang merokok serta pengawasan berbasis edukasi yang konsisten.

Namun, di Jakarta, amanat konstitusi tentang penyediaan ruang merokok di tempat-tempat KTR, sama sekali tidak dijadikan prioritas. Beberapa pusat perbelanjaan bahkan melarang kafe dan rumah makan menyediakan akses pelanggannya untuk merokok. Selain ekspresi budaya, merokok adalah bagian dari hak konsumen, masyarakat berhak untuk mendapatkan sarana rekreatifnya, ini kok malah dipersulit.

Dari sini saja sudah jelas. Terendus aroma kepentingan lain dari Sergub yang memainkan politik bahasa ‘pembinaan’. Artinya, integritas Anies dalam mencipta rasa keadilan di masyarakat patut dipertanyakan. Untuk urusan sederhana soal rokok saja tidak taat asas, alias pengingkaran, terus yang begitu mau memikul amanat lebih tinggi melalui kontestasi Pilpres? Wah, bisa jadi nanti jargon yang diproduksi bukan lagi soal ‘bebas rokok’, bisa-bisa Indonesia Bebas (melakukan) Korupsi, hancur negara!

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)