Press ESC to close

Menyoal Dugaan Politisasi Kebijakan Cukai

Kebijakan cukai di Indonesia kerap kali menimbulkan protes di masyarakat. Baik dari stakeholder pertembakauan, bahkan pula dari antirokok yang menempatkan rokok sebagai global enemy. Protes kelompok dan sebagian tokoh ini lebih didasari pada kebencian terhadap rokok dan andilnya bagi ekonomi negara.

Simak saja yang dikatakan Faisal Basri pada beberapa waktu kemarin, dalam pernyataannya dia mengusulkan untuk kenaikan cukai dikerek sampai 50%. Usulan ini menjelaskan watak antirokok yang menginginkan keberadaan rokok dan perokok tersingkir dari daftar sebagai penyumbang devisa.

Sosok ekonom sekaligus politikus ini dikenal sebagai orang yang kerap mendorong kepentingan antitembakau. Sejak dulu, pada tahun lalu misalnya, desakan yang disuarakannya jelas bernuansakan kepentingan FCTC, dengan menyindir negaranya sendiri yang seharusnya malu belum meratifikasi FCTC.

Menyebutkan bahwa rokok sebagai sumber kemiskinan serta menyandingkannya dengan narkoba. Logika ini memang khas banget logika antirokok, berusaha mendesakkan logika yang timpang dari kenyataan sebenarnya.

Sebagai salah satu negara penghasil tembakau terbesar, jelaslah Indonesia berkepentingan untuk tidak meratifikasi FCTC. Sudah jelas traktat internasional itu sarat kepentingan asing yang berusaha mengintervensi bisnis rokok dalam negeri.

Akhir-akhir ini, di tengah ramainya protes masyarakat terkait wacana kebijakan kenaikan tarif cukai 2022. Faisal Basri bahkan melontarkan asumsinya, menuding adanya lobi-lobi kepentingan pengusaha rokok terkait tarif cukai yang berpeluang memberi keuntungan bagi pengusaha.

Baca Juga:  Penerimaan Cukai Rokok Turun, Pembuktian Komunitas Kretek pada Sri Mulyani

Tudingan ekonom yang bermarga sama dengan Juliari Batubara ini sungguh kelewat asumtif. Seakan-akan posisi pemerintah dalam mengambil kebijakan sangat ketergantungan dengan pelaku Industri Hasil Tembakau. Padahal, selama ini menyangkut kenaikan cukai tiap tahun merupakan bagian dari klausul FCTC dalam upaya mengendalikan bisnis pertembakuan global.

Sudah bukan rahasia, kalau traktat FCTC ini sarat kepentingan politik. Jelas-jelas di dalam negeri saja sudah ada regulasi PP 109/2012 yang sebagian besar isinya mengaksesi klausul FCTC. Mengatur tentang segala hal menyangkut perdagangan rokok, ini lagi oleh Faisal didesak untuk meratifikasi traktat tersebut.

Dengan kondisi kenaikan cukai tiap tahun yang dilakukan secara gradual saja, banyak pabrikan kewalahan untuk melanjutkan produksi. Bahkan sudah mengakibatkan bangkrutnya sejumlah pabrikan. Keberadaan pasarnya makin pula didiskriminasi oleh agenda gerakan yang mendiskreditkan rokok. Ini lagi, menuding soal lobi-lobi kepentingan. Bukannya situ yang selama ini getol mendesakkan titipan asing soal FCTC, hih.

Di masa pandemi ini saja masyarakat sudah tertekan secara psikis akibat kondisi ekonomi negara yang tidak juntrung. Syukurnya masih ada industri yang mampu bertahan di tengah badai krisis ini. Sebagaimana kita tahu, industri rokok dari sektor SKT adalah salah satu industri padat karya yang masih jadi andalan negara.

Baca Juga:  22,3 Juta Anak Indonesia Merokok, Percaya?

Bayangkan, jika sektor SKT ini harus terus dicekik oleh tarif cukai hingga 50%, sama saja membuat kondisi negara berada di posisi yang makin mengerikan. Kenaikan cukai dari dua tahun lalu saja sudah berdampak pada meningkatnya angka pengangguran seturut menurunya daya beli pasar, sebagai konsekuensi dari langkah efesiensi yang dilakukan pabrikan.

Wacana kenaikan tarif cukai 2022 yang bakal naik 11 persen saja sudah bikin resah masyarakat. Entah, berapa lagi pabrik rokok yang harus kukut akibat kebijkan cukai yang tak berpihak terhadap IHT ini.

Laknat betul antirokok dengan segala agenda yang dibawanya, sudah tidak mampu memberi solusi agar negara keluar dari krisis, ini malah menambah beban dengan melempar isu yang berpotensi mencederai batin masyarakat. Terlalu!

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara