Tindakan eksploitasi terhadap anak dalam berbagai bentuk tentu tidaklah mendapatkan tempat dari sisi etik maupun moral. Seluruh bangsa manapun agama apapun, tidak ada yang membenarkan perbuatan yang memanfaatkan anak demi kepentingan manipulatif, apalagi itu untuk mendukung kampanye antitembakau.
Sebagai manusia dewasa yang bernalar, tentu kita paham batasan, mana boleh dan tidak boleh. Bahwa, ada tata aturan sosial maupun hukum positif yang mengatur tentang tata laku hidup manusia dalam bermasyarakat. Termasuk dalam memaknai etika-moral kemanusiaan. Namun, pada beberapa hal justru berkebalikan pada kampanye antitembakau.
Misalnya dalam hal merokok, manusia dewasa mengambil pilihan merokok sebab dilandasi rasa tanggung jawab. Dengan sadar kita memahami bahwa produk tembakau juga memiliki faktor risiko, untuk itu perokok yang dilandasi kesadaran tidak akan merokok di dekat anak ataupula di dekat golongan rentan lainnya. Tetapi bagi antirokok, aktivitas merokok yang dilandasi rasa tanggung jawab pun tetap dipandang salah.
Cap salah dan tudingan negatif terhadap rokok dan perokok selama ini melulu didasarkan pada isu kesehatan. Bahwa, semua hal yang berkaitan dengan rokok maupun tembakau harus dipersalahkan. Jurus pukul rata yang digunakan gerakan para haters ini mengandalkan instrumen kesehatan.
Begitupun dalam menyoroti anak, kampanye antitembakau menggunakan anak sebagai instrumen. Budaya pertembakauan dijelek-jelekan lewat berbagai bentuk kampanyenya. Apa tujuannya? Ya tak lain bertujuan menyingkirkan budaya agraris itu hilang dari peradaban hari ini.
Satu contoh, kebusukan yang dilakukan oleh organisasi Human Right Watch (HRW) Indonesia, yang merilis sebuah laporan panjang dalam laman situswebnya pada 24 Mei 2016, berjudul “Panen dengan Darah Kami”, Bahaya Pekerja Anak dalam Pertanian Tembakau di Indonesia.”
Alih-alih penelitian dan wawancara ke sentra-sentra tembakau; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, HRW justru menjadikan anak-anak sebagai instrumen yang dieksploitasi demi kepentingan kampanye mereka. Kemudian pada 26 Juni 2016, organisasi ini menerbitkan video di Youtube berjudul “Indonesia: Buruh Tembakau Anak-anak Menderita Demi Kepentingan Perusahaan.”
Laporan dan video ini adalah mega proyek penelitian yang digarap sejak 2014-2015, merujuk pada situswebnya. Kebusukan itu terlacak oleh tim Narasi Indonesia yang kemudian dilawan melalui video Tabayyun. Video bertajuk Tabayyun ini membongkar semua kebusukan di balik video garapan HRW Indonesia. Menjadi semacam klarifikasi bahwa petani tembakau tak seburuk yang dipertontonkan dalam video HRW.
Siapapun yang membaca laporan dan video besutan HRW tentu akan mengutuk tindakan petani tembakau. Perlu diketahui, target mega proyek HRW adalah untuk memprovokasi dunia agar mengecam dan mengembargo industri tembakau di Indonesia. Bayangkan, mempekerjakan anak saja sudah salah besar, apalagi tidak dibayar. Itulah framing yang HRW ciptakan.
Faktanya, anak-anak yang bertindak layaknya ‘talent’ untuk sebuah produk tontonan itu di-setting untuk melakukan tindakan sesuai arahan. Para petani berang dengan tindakan para peneliti HRW yang telah mendiskreditkan budaya luhur mereka.
Di kehidupan petani tembakau, tidak ada anak-anak yang dipaksa untuk bekerja sampai terkesan merenggut hak dasar mereka. Sekali lagi tidak ada. Terjelaskan dalam video Tabayyun, bahwa kalaupun ada anak yang membantu orang tua itu atas dasar kerelaan. Tidak untuk melakukan hal-hal seperti yang difitnahkan pada video HRW.
Ya, organisasi HRW ini bukan hanya memframing kehidupan petani, melainkan sudah melakukan fitnah yang terencana sekali. Adegan anak-anak di dalam video fitnah tersebut rekayasa semata. Dari sini semakin memperjelas, bahwa kerja-kerja kampanye antirokok menggunakan anak-anak sebagai instrumen untuk memprovokasi masyarakat dunia. Menjelek-jelekan Indonesia. Keji sekali tindakan manipulatif yang dilakukan mereka.
Contoh lain pada 2019, lagi-lagi kelakuan haters rokok ini ketika KPAI menuntut audisi yang diselenggarakan PB Djarum mencari bibit pebulutangkis Indonesia. Menurut mereka, penggunaan logo PB Djarum merupakan bagian dari iklan rokok yang memanfaatkan anak-anak.
Di sinilah salah kaprah KPAI, sehingga menimbulkan kericuhan di media. Pihak PB Djarum sih sudah bersedia mengganti logo pada kaos yang dipersoalkan KPAI. Lalu ujung-ujungnya, KPAI justru mencabut surat tuntutan itu.
Pasalnya, bukan hanya soal protes dan risakan msayarakat terhadap KPAI, tetapi apa yang mereka lakukan memang blunder. Sebab, tidak ada kaitannya logo PB Djarum yang ditafsir mereka sebagai bagian dari promosi rokok dengan ajang audisi yang memberi manfaat bagi masa depan olahraga badminton di Indonesia.
Baru inilah kali pertama lembaga negara sebesar KPAI mencabut surat resmi mereka karena blunder dan kemarahan masyarakat. Mungkin mereka lelah dirisak oleh netizen, ingin semua cepat selesai, tapi ya tetap saja blunder adalah blunder.
Di lain kasus, gerakan antitembakau di Indonesia, kerap pula memanfaatkan anak-anak untuk melakukan tindakan-tindakan vandal. Seperti mencopoti spanduk di warung-warung rokok, melakukan razia terhadap perokok. Alih-alih aksi simpatik tapi kok ya anak-anak sih yang digunakan demi kepentingan kampanye. Jelas ngawur dan melanggar etika dan moral.
Dari kasus-kasus di atas dapat kita simpulkan, bahwa cara-cara yang dilakukan kelompok antitembakau dalam menyingkirkan budaya tembakau di Indonesia adalah uapaya penggiringan. Agar masyarakat memandang tembakau dan rokok sebagai musuh bersama. Upaya yang manipulatif, penuh rekayasa. Apakah gerakan yang menggunakan anak-anak sebagai instrumen kampanye semacam itu patut dibenarkan?
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023