Menjelang Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada tanggal 31 Mei, kelompok antirokok global, termasuk di Indonesia, mulai mengampanyekan secara masif narasinya. Untuk tahun ini mereka berfokus pada bahaya rokok bagi lingkungan. Salah satu yang tengah digencarkan adalah isu potensi puntung rokok sebagai limbah darat dan laut.
Bagaimana maksudnya? Selain menjadi sampah di daratan, mereka juga menyebut kalau puntung rokok berpotensi meracuni air. Peneliti Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton), Eka Chlara Budiarti, dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Lentera Anak, menyebut limbah rokok juga menjadi faktor penyebar zat toksik lingkungan serta penyebaran penyakit.
“Limbah tersebut butuh waktu 30 tahun terurai di alam. Tak hanya itu, zat kimia satu puntung rokok bisa berpengaruh meracuni 1000 liter air,” ucap Eka.
Satu puntung bisa meracuni 1000 liter air. Entah bagaimana cara mereka menghitungnya hingga menemukan angka 1000 liter, yang jelas itu ngeri sekali. Tapi, bukankah memang limbah pasti demikian? Namanya juga limbah, ya sampah. Perlu dikelola dan dikendalikan.
Harus diakui, puntung rokok merupakan salah satu jenis sampah yang sangat mengganggu selain sampah plastik. Kebiasaan membuang puntung secara sembarangan oleh sebagian perokok kini menjadi problem lingkungan hidup. Oleh karena itu antirokok masif menjadikannya sebagai isu andalan kampanye negatif soal rokok.
Faktanya, memang masih ada banyak perokok bandel yang tak taat asas, dan itu tak bisa dipungkiri. Para perokok menyebalkan ini merokok semaunya di sembarang tempat, membuang sampah rokok–juga sampah lain–secara sembarangan. Bukan hanya oleh para pembenci rokok, kebiasaan tersebut pun juga ditentang oleh banyak perokok.
Dengan masih adanya perokok yang bandel, bukan berarti semua perokok tak peduli lingkungan. Kami bahkan sudah cukup lama mengampanyekan gerakan perokok santun. Kampanye ini adalah wujud upaya para perokok untuk peduli pada lingkungan. Salah satu poinnya adalah membawa asbak portabel agar tidak menambah limbah di jalanan. Sampai hari ini kami masih mengutuk tabiat para perokok bandel tersebut.
Pada praktiknya, kelompok antirokok memilah isu-isu yang sesuai kepentingannya, termasuk soal limbah rokok. Sebagaimana limbah dan sampah lainnya, pasti punya potensi menimbulkan kerusakan atau kerugian. Limbah pabrik mencemari sungai. Limbah plastik mengotori laut. Apakah dengan demikian berarti kita harus melarang pabrik beroperasi? Apakah penggunaan plastik harus dilarang total?
Padahal, kalau kita mau objektif, ada banyak manfaat yang bisa dihasilkan dari berbagai limbah, termasuk limbah rokok. Sekali lagi, kami tetap mengutuk perilaku perokok yang sembarangan dalam membuang limbah. Tapi, limbah-limbah ini bisa bermanfaat kalau memang dimanfaatkan. Vice versa, menimbulkan mudharat kalau hanya dibiarkan.
Di Amerika Serikat, misalnya, ada satu perusahaan yang mendaur ulang limbah rokok jadi plastik. Plastik tersebut kemudian dikaryakan menjadi beragam benda seperti asbak, rak, dan lainnya. Hal tersebut telah berlangsung sejak tahun 2000-an. Kalau sudah dikaryakan sedemikian rupa, yang muncul selanjutnya tentu manfaat dan keuntungan, kan?
Di Australia, pernah ada rilis penelitian yang menemukan potensi energi masa depan dari limbah rokok. Hasil penelitian dr. Abbas Mohajerani dari Universitas RMIT menyatakan bahwa filter puntung rokok dapat dikonversi jadi bahan pembuatan batu bata.
Perlu ditegaskan lagi, fakta-fakta di atas bukanlah upaya pembenaran agar para perokok bisa sembarang membuang puntungnya. Justru dengan berbagai fakta tersebut harusnya kita lebih serius dalam persoalan etiket. Selain belajar menghargai sesama, kita para perokok juga bisa berkontribusi bagi lingkungan, mulai dari hal terkecil dengan menjadi perokok santun.
Itu pesan bagi perokok. Sedangkan untuk otoritas, mereka tentu memiliki segala sumber daya untuk mengubah sampah jadi emas. Hal yang paling dibutuhkan adalah political will dari pemangku kebijakan, maukah melakukan itu? Atau memang kapasitasnya hanya terbatas pada aksi mengutuk rokok dan segala yang berkaitan dengannya?
Kalau memang begitu, kenapa pemerintah mencintai pendapatan dari cukai dan pajak rokok?
Leave a Reply