Tanggal 31 Mei digadang-gadang sebagai peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), semacam hari ‘lebaran’ antirokok. Komunitas Kretek kembali menggelar kegiatan bedah buku Nicotine War, kali ini berlangsung di Universitas Brawijaya, Kota Malang.
Kegiatan yang sudah berlangsung kali ketiga itu, menghadirkan narasumber yang selama ini concern di bidangnya. Di antaranya, ada budayawan Irfan Afifi, Abhisam Demosa, dan Imanina Eka Dalila. Ia dikenal sebagai peneliti PPKE Universitas Brawijaya. Acara tersebut dimoderatori oleh Eddward S. Kennedy, seorang penulis sekaligus jurnalis.
Secara umum, buku yang disusun oleh Wanda Hamilton telah menjadi perbincangan di Amerika, sebelum dirilis pada tahun 2011 di Indonesia. Hingga kini buku tersebut kerap menjadi bahan perbincangan di kalangan akademisi maupun umum.
Hasil riset dan kajian Wanda Hamilton terkait perang nikotin, menyajikan fakta-fakta yang cukup membuat banyak kalangan tersengat, mengingat hal yang diungkap di dalam buku tersebut cukup gamblang membeberkan kepentingan di balik agenda pengendalian tembakau di seluruh dunia.
Bahwa agenda tersebut sarat dengan pertarungan politik dagang. Hingga saat ini, kerap kali pula isu-isu yang berkaitan dengan rokok dan kesehatan menimbulkan kontroversi, lantaran banyak kalangan yang juga sudah membaca kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obat pengentas ketergantungan rokok.
Obat-obatan berbasis nikotin itu dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT), yang merupakan produk dagang dari motif ekonomi di balik kampanye kesehatan dan pengendalian tembakau. Perang nikotin, sejurus yang digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global anti tembakau.
Terdapat fakta penting pula, bahwa agenda yang menyasar pada penguasaan pasar perokok itu, mendapat dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.
Siasat bermitra dengan pemerintah, otoritas kesehatan publik dan membuat propaganda kesehatan melalui jaringan media, termasuk secara sistematis mengintervensi para dokter adalah semata untuk mematikan industri tembakau. Tujuannya jelas, nikotin tidak lagi dikonsumsi melalui rokok, melainkan melalui racikan farmasi.
Sebagaimana yang kita ketahui juga, gerakan antitembakau global mendorong munculnya beragam regulasi yang didasarkan pada upaya memonopoli pengetahuan publik akan bahaya rokok bagi kesehatan. Syahdan, ketika regulasi di Indonesia mengadopsi secara penuh traktat FCTC sebagai pedoman pengendalian. Cukup berdampak serius terhadap ekosistem kretek di Indonesia.
Produk kretek yang dikenal memiliki banyak varian dan tergolong khas ini, harus mengalami berbagai gempuran atas dalih pengendalian dan kesehatan. Salah satunya PP 109/2012 yang isinya mengatur tentang tata niaga pertembakauan, promosi rokok, aktivitas merokok, bahkan pada upaya diversifikasi atas tanaman produktif bernama tembakau.
Acara bedah buku di Malang ini, juga dapat diakses melalui kanal Yotube secara langsung. Bagi masyarakat yang tidak berkesempatan menyaksikan secara live streaming di kanal Youtube mojokdotco, keseruan acara tersebut dapat disaksikan ulang melalui kanal Youtube Rokok Indonesia.
Dalam diskusi kali ini, Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016, Abhisam Demosa pertama-tama menegaskan bahwa “perang nikotin ini sesungguhnya bukan perang kita”, lebih lanjut ia membeberkan bahwa ‘Nicotine War’ yang merupakan perang antar korporasi besar, farmasi dan industri rokok internasional.
Justru yang perlu menjadi perhatian, adalah dampaknya bagi Indonesia terhadap ekonomi kretek. Perang tersebut berimbas dengan punahnya kemandirian ekonomi, Industri kretek nasional adalah model industri berkarakter kuat, yakni modal, bahan baku, produksi, sampai konsumsi hampir seluruhnya bersandar di dalam negeri sendiri. Ini yang menjadi fokus kita untuk senantiasa diwaspadai.
Sementara peneliti ekonomi, ibu Imanina juga mengungkapkan bahwa rencana simplifikasi cukai dan kenaikan tarif cukai akan berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal, pada tahun 2019, ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, tidak ada simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan diikuti dengan penurunan prevalensi perokok.
“Pola tersebut memberikan hipotetis bahwa kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal,” Papar Imanina.
Dari sisi lain, Irfan Afifi sebagai budayawan menganggap rencana besar antirokok yang ditulis oleh Wanda hamilton di dalam buku ‘Nicotine War’ ini membuat bangsa Indonesia seperti tidak punya kemandirian dan kekuatan di dalam menentukan sikap dan lebih suka menerapkan apa yang dilakukan negara lain ketimbang membuat keputusan sendiri tentang kebijakan rokok dan tembakau di negara ini.
Kalau kita di level pengetahuan sudah tidak mandiri, apalagi di level solusinya, juga demikian dengan pengetahuan yang dibatasi dan kemudian diintervensi kampanye kesehatan yang masif selama puluhan tahun. Kita terus mengadopsi banyak hal mengenai hasil penelitian luar negeri dan “dipaksa” mengeksekusinya secara mentah, tidak memandang, nalar kebudayaan kita lah yang saat ini masih membuat kita masih bekerja membentengi rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia,” bebernya.
Dengan membaca ‘Nicotine War’ ini lanjut Irfan, kita akan mudah memahami bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda apa yang diceritakan Wanda Hamilton dalam bukunya. Cara-cara bagaimana antirokok menepikan industri rokok tidak ada beda.
Seiring perkembangan, agenda kepentingan pengendalian tembakau global memainkan agenda politiknya dalam upaya merebut pasar perokok di Indonesia. Di antaranya melalui regulasi cukai, menaikkan tarif cukai di atas 10 persen di tiap tahun, termasuk menerapkan simplifikasi cukai (penyederhanaan tarif) yang berpotensi membuat pabrikan level kecil menengah tidak akan kuat menanggung beban cukai yang disamakan dengan perusahaan besar.
Acara bedah buku ini trurut pula diisi oleh dua orang pegiat seni komedi tunggal yang cukup dikenal melalui sebuah acara reguler di media. Kedua comedian tersebut ialah Ken Radhiq dan Bobby Darwin, keduanya mampu membuat suasana acara relatif lebih rileks. Serileks para peserta dan narasumber saat merokok di luar ruangan acara setelahnya.
Leave a Reply