Press ESC to close

DPR: Industri Hasil Tembakau Butuh Regulasi Akomodatif

Bicara produk Industri Hasil Tembakau (IHT) yang paling utama jelas rokok. Dan yang paling sering terdengar soal rokok serta beragam produk turunan tembakau adalah segala hal bernada negatif.

“Rokok itu biang keladi semua jenis penyakit. Biang kemiskinan. Rokok juga gerbang masuk ke narkoba. Perokok itu identik dengan kriminal.”

Kita sudah sangat akrab dengan narasi itu. Ya, labeling pada rokok dan perokok sebenarnya repetisi yang itu-itu saja. Tujuannya jelas untuk mendiskreditkan segenap elemen IHT.

Label terakhir yang paling fenomenal lahir dari seorang Menteri Keuangan RI. “Perokok beban negara!”

Pernyataan itu lahir saat Bu Sri mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok akhir 2021 lalu. Alasannya sederhana, karena Bu Sri menganggap perokok menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan hingga lebih dari Rp 15 triliun.

“Biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9 triliun sampai Rp 27,7 triliun per tahun. Dan dari total biaya ini, Rp 10,5 triliun sampai Rp 15,6 triliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS kesehatan,” kata Sri Mulyani.

Penyakit apa saja yg dimaksud? Entah. Pokoknya sederhana saja, perokok bersalah. Kita ‘dipaksa’ mendengar dan menerima pernyataan “Perokok beban negara,”. Bukan koruptor, tapi perokok.

Pertanyaannya, apa benar demikian?

Begini. IHT adalah industri padat karya yang hasil produksinya berupa rokok dan produk turunan tembakau lainnya, harus diakui menjadi tiang penopang ekonomi negara. Klaim terebut tidak berlebihan. Fakta dan datanya menyatakan demikian.

Industri Hasil Tembakau
Buruh perempuan tengah melinting tembakau

Pada tahun 2019, penerimaan cukai rokok alias Cukai Hasil Tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp 164,87 triliun atau melebihi target APBN sebesar 103,8%. Sekali lagi, melebihi target.

Baca Juga:  Penerimaan Cukai Rokok 2023 Turun, Mana Tanggung Jawab Sri Mulyani?

Pada tahun 2020, naik menjadi Rp 170,24 triliun atau 103,2% dari target. Lagi-lagi melebihi dari angka yang dipatok pemerintah.

Penerimaan CHT kembali naik menjadi Rp 188,81 triliun atau 108,6% dari target pada tutup tahun 2021. Betapa besarnya pendapatan negara.

Dari tiga tahun tersebut (2019, 2020, 2021) penerimaan CHT rata-rata telah memenuhi 105,2% dari target setiap tahunnya. Capaian yg sulit disamai oleh sektor lain.

Pemerintah lantas meningkatkan lagi target penerimaan dari sektor CHT sekitar Rp 200 triliun untuk tahun 2022. Angka itu fantastis, meningkat sebesar 11,92% dari tahun sebelumnya. Besaran penerimaannya akan mencapai 10% dari total APBN. Apakah akan tercapai?

Pada triwulan pertama tahun ini (per Maret 2022), penerimaan CHT sudah mencapai Rp 56,84 triliun atau sebesar 26,5% dari target APBN. Sudah lebih dari seperempat target terpenuhi. Tinggal menunggu laporan hasil penerimaan di triwulan kedua (per Juni) 2022.

Pertanyaan berikutnya: mengapa target penerimaan cukai rokok selalu ditingkatkan? Ya, jelas karena faktanya sektor ini selalu memuaskan, bukan hanya mencapai target, bahkan konsisten melebihi.

Semua angka penerimaan tersebut jelas dihasilkan oleh mata rantai industri rokok dari hulu hingga ke hilir. Termasuk konsumen di dalamnya. Dari situ saja kita sudah bisa melihat kontribusi perokok bagi negara. Maka terbuktilah kalau IHT jadi salah satu tiang ekonomi negara.

Baca Juga:  Memperjuangkan Demokrasi Bukan Perbuatan Kriminal

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Patijaya, menyebut IHT butuh dukungan regulasi yang bisa mengakomodir seluruh pihak, mengingat begitu banyak elemen yang terlibat dalam ekosistemnya.

“Kita harus carikan solusi, karena sangat berkontribusi bagi PNBP lewat cukai. Industri rokok juga padat karya, banyak memberikan lapangan pekerjaan. Kemudian memberikan investasi yang besar. Kita harus menjaga ekosistem yang baik dalam industri rokok, tetapi sekali lagi tidak mengabaikan aspek kesehatan, sehingga ada suatu keseimbangan,” ujar Bambang.

Benar bahwa isu kesehatan tidak bisa dinihilkan. Perokok bahkan sudah bertahun-tahun menerima kalau dana dari pajak dan cukai yang mereka ‘sumbang’ dialokasikan ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, ada regulasi menyoal batasan usia konsumen, juga ketentuan mengenai peringatan kesehatan di kemasan pun sudah lama berlaku.

Kini, pemerintah perlu membicarakan hak seluruh partisipan dalam mata rantai Industri Hasil Tembakau. Petani, pabrikan, distributor, pedagang, hingga konsumen, harus juga mendapat perhatian.

Mari kita nantikan tindak lanjut dari pernyataan para pemangku kebijakan. Jangan sampai isu pertembakauan hanya dijadikan komoditas politik, terlebih di momen menjelang agenda besar perpolitikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *