Produk tembakau alternatif terus dicitrakan sebagai solusi berhenti merokok. Bayangkan, sekelompok orang mengampanyekan bahaya rokok yang berbahan dasar tembakau, sambil mendorong konsumsi varian lain dengan bahan dasar yang sama. Ironis dan sarat kepentingan.
Ini bukan tuduhan berlebihan. Pasalnya, kita sudah cukup sering menemukan kelompok yang ‘galak’ pada produk rokok konvensional, namun kerap permisif pada produk tembakau alternatif yang biasa disebut Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Sikap permisif ini bahkan muncul dari lembaga-lembaga kesehatan, pembenci rokok nomor wahid.
Tema besar yang sering dipakai adalah pengurangan bahaya (harm reduction). Jadi, kelompok ini memulai dengan kampanye bahaya merokok, di mana salah satu yang paling sering disebut adalah soal adiksi. Kemudian mereka mendorong para konsumen rokok untuk berhenti merokok, apapun caranya. Selanjutnya, mereka ‘menawarkan’ alternatif untuk membantu memudahkan proses berhenti merokok, yakni dengan menyodorkan produk yang disebut lebih rendah risiko, yaitu produk tembakau alternatif atau HPTL tadi.
Sejak awal, agenda pengendalian tembakau memang sudah aneh. Mengapa pengendalian? Mengapa tidak dilarang total saja? Sebelum HPTL muncul, produk konsumsi tembakau mula-mula ya hanya rokok saja. Rokok disebut sangat berbahaya dan mematikan. Mengapa bahan baku dari produk yang disebut sangat berbahaya dan mematikan itu hanya dikendalikan saja? Dari sana sudah aneh.
Keanehan selanjutnya yakni soal regulasi cukai. Disebut sangat berbahaya dan mematikan, tapi dilegalkan dan terus diandalkan secara ekonomis. Jika mengikuti logika antirokok, berarti negara sengaja membiarkan rakyatnya mengonsumsi produk yang sangat berbahaya dan mematikan, begitu?
Kini HPTL pun digadang sebagai jalan keluar. Pihak yang gencar mengampanyekan itu ya jelas para pemangku kepentingan (stakeholder) HPTL, seperti asosiasi vapers, produsen liquid, dan lainnya. Di dalam setiap kampanye mereka hampir pasti ada topik bahaya rokok, karena dengan itu mereka bisa memisahkan diri dari kelompok perokok, sekaligus merebut pasar konsumen tembakau yang mayoritas adalah perokok.
Selain stakeholder HPTL, lembaga-lembaga kesehatan yang merangkap lembaga antirokok juga masif membuat rilis menyoal bahaya rokok konvensional seperti kretek. Sebagaimana yang disebut di awal, tema besar yang dipakai ya soal harm reduction. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF-ITB). Mereka melakukan kajian literatur yang berkesimpulan bahwa HPTL lebih rendah risiko.
“Riset tersebut bukan untuk mendorong non-perokok menjadi konsumen produk tembakau alternatif. Melainkan menyediakan alternatif produk yang lebih rendah risiko bagi perokok yang kesulitan untuk berhenti dan mendorong mereka beralih ke produk tersebut,” ujar salah seorang penelitinya dikutip dari Jawa Pos.
Pernyataan di atas sangat ambigu. Bukan ingin mendorong perokok untuk beralih, tapi menyediakan alternatif. Terdengar hanya sebagai permainan kata. “Intinya, jangan merokok, itu bahaya, kalau mau ya pakai ini saja, sejenis rokok tapi lebih aman,” begitu kira-kira. Pada titik paling antagonis, muncul narasi uap vs asap, sebagai gambaran konflik antara kedua kelompok konsumen.
Konsekuensi logis dari meruncingnya narasi uap vs asap, tak jarang konsumen HPTL turut serta menjadi antirokok. Maksudnya, ikut mendiskreditkan rokok, sambil terus mengisap vape, atau pods, atau apapun olahan tembakau lainnya. Tentu tak semua konsumen HPTL yang demikian, banyak vapers yang tidak mengusik perokok, ada pula yang masih mengonsumsi keduanya. Yang heboh ya lembaga-lembaga antirokok.
Fakta lainnya, beberapa produsen rokok konvensional pun melebarkan sayap menjadi produsen HPTL. Lha, perusahaan rokok yang jualan obat pun ada, padahal keduanya selalu dipertentangkan. Di tahun 2021 yang lalu, Philip Morris International resmi mengakuisisi perusahaan farmasi Fertin Pharma. Dengan demikian Philip Morris International resmi memiliki perusahaan rokok konvensional, rokok elektrik, dan farmasi. Pada hakikatnya, ini perkara bisnis. Nicotine War karya Wanda Hamilton telah memberikan gambaran fenomenan ini sejak lebih dari sedekade lalu.
Di tataran konsumen, konfliknya diperuncing. Di skala global, kepentingan bisnis terus berputar. Para konsumen dijebak masuk ke dalam perang yang bukan milik mereka.
Leave a Reply