Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah resmi dinaikkan pemerintah. Sama seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM sedikit banyak akan berpengaruh pada harga komoditas lain. Dalam waktu singkat pasca kenaikan harga BBM, stabilitas pasar terganggu.
Salah satu dampak nyata dari tidak stabilnya pasar adalah penurunan daya beli masyarakat. Distribusi semua komoditas jelas terpengaruh oleh kebijakan kontroversial ini. Dengan meningkatnya biaya produksi dan distribusi, secara otomatis akan turut mengerek naiknya harga-harga. Hal ini bukan sesuatu yang tidak dipahami oleh pemerintah. Mereka jelas tau dampaknya, tapi keputusannya tetap sama.
Pendapatan masyarakat yang tetap (tidak bertambah) juga jadi fakta lain yang menyedihkan. Jika sebelumnya penghasilan 4 juta rupiah per bulan cukup untuk biaya ABCD, kini hanya cukup untuk ABC, atau bahkan hanya AB. Itu hukum pasti: kenaikan harga yang tak diiringi kenaikan pendapatan jelas akan mengorbankan banyak hal.
Masih belum pulih dari itu, masyarakat (khususnya elemen pertembakauan) harus bersiap pada kenaikan tarif cukai rokok. Iya, pemerintah dikabarkan berencana menaikkan tarif cukai rokok untuk tahun 2023. Ini jadi kekhawatiran banyak pihak.
Kelompok yang anti terhadap tembakau dan rokok seringkali menyederhanakan persoalan, seolah kebijakan tarif cukai rokok hanya diprotes oleh perokok saja. Padahal, ada banyak elemen dalam mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT). Perokok jelas akan mengeluh, alasannya ya karena kenaikan tarif cukai secara otomatis akan membuat harga rokok juga meningkat. Ini sama seperti kenaikan harga BBM akan membuat tarif transportasi darat ikut naik. Sesederhana itu.
Tapi, selain konsumen rokok, petani, buruh, dan pabrikan juga menerima dampak langsung dari kebijakan tarif cukai. Pabrikan jelas harus mengeluarkan budget lebih untuk membeli pita cukai. Sebagai kompensasi dari itu, biasanya pabrikan mensiasati dengan menurunkan jumlah produksi. Alhasil, para pekerja pabrik tembakau terancam PHK. Setelah itu petani tembakau juga berpotensi mengalami kerugian akibat hasil panennya tak terserap maksimal. Itu bukan rocket science, orang awam juga paham.
Selain konsumen, petani, buruh, dan pabrikan, elemen lain yang mengeluh adalah pedagang pasar. Apa hubungannya dengan pedagang pasar?
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman mengatakan harga pangan hingga BBM saat ini sudah tinggi. Jika tarif cukai rokok juga ikut naik, ia khawatir inflasi akan tinggi dan omzetnya justru menurun.
“Pedagang pasar mengeluhkan kenaikan harga rokok, karena modalnya besar tetapi daya beli masyarakat menurun. Jadi kami menolak segala jenis kenaikan harga yang membuat masyarakat makin susah, termasuk kenaikan cukai,” ujar Mujiburohman, dikutip dari Kumparan.
APPSI mengklaim berdasarkan survei di 13 pasar di Indonesia, pedagang pasar yang menjual rokok mengeluhkan pendapatannya berkurang setiap kali cukai naik. Faktanya, cukai naik setiap tahun. Artinya, mereka harus mengeluh setiap tahun. Bayangkan, saat ini mereka sudah bersiap untuk mengeluh lagi di tahun depan, tahun berikutnya, tahun berikutnya lagi, dan begitu seterusnya.
Kekhawatiran mereka tentu beralasan. Sebagaimana yang disebut di awal, kenaikan harga-harga komoditas yang tidak diikuti kenaikan pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat, akan otomatis berdampak pada penurunan volume penjualan para pedagang. Ini berlaku umum, tidak cuma pada komoditas rokok.
Begitulah realita di negeri tembakau seperti Indonesia. Komoditasnya tumbuh subur, pajak dan cukainya terus diserap, tapi para stakeholder-nya dipaksa terus mengeluh.
Hal yang unik dari fenomena ini adalah sikap dari kelompok antirokok. Mereka juga jadi pihak yang terus mengeluh setiap tahun. Hanya saja berbeda keluhan. Antirokok merasa kenaikan harga rokok tak pernah cukup, selalu meminta untuk dinaikkan lagi dan lagi. Sampai hari ini masih menjadi misteri, di titik mana mereka puas pada kebijakan cukai rokok.
Satu-satunya kelompok yang tidak mengeluh, ya otoritas pembuat kebijakan. Betapa tidak, mau menaikan harga berkali-kali pun, mereka tetap mendapat pemasukan. Terutama dalam hal rokok, realisasi penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau selalu melampaui target.
Kalau bisa terus diperah, kenapa tidak? Begitu kira-kira.
Leave a Reply