Press ESC to close

Mimikri Rokok Gudang Baru yang Ceroboh tapi Sukses

Tepat 16 tahun yang lalu, sebuah merek rokok menyita perhatian. Orang mengenalnya sebagai Bintang Buana. Bungkusnya cokelat tua, memanjakan mata. Asapnya cukup pekat, aromanya mudah melekat. Dulu, Bintang Buana ini dianggap mampu membuat resah pabrikan besar, PT Djarum, namanya.

Berbagai rumor muncul begitu saja dan menyebar lewat kata-kata. Salah satunya adalah “juru racik” Djarum Super hengkang untuk kemudian menciptakan Bintang Buana. Maklum, rasa yang disajikan oleh Bintang Buana sangat mirip dengan Djarum Super. 

Bapak saya, penggemar berat Djarum Super, mengakui hal itu. Kalau bapak saya sudah berkata demikian, mana berani saya membantah. Ketimbang membantah, saya lebih suka membuktikan. Dan, memang, Bintang Buana mampu menghadirkan nuansa melegakan ketika saya merokok Djarum Super.

Dulu, saya punya teman dari Wonosari. Kembar tiga. Pemain basket musiman. Dan, ketiganya adalah perokok berat. Mereka penggemar Djarum Super dan LA Lights merah. Ketika Bintang Buana muncul, ketiga kompak untuk beralih hati. Katanya, Bintang Buana mampu menghadirkan sesuatu yang tidak dimiliki Djarum Super, yaitu murah.

Mimikri dan strategi dagang

Menurut saya, Bintang Buana yang populer antara 2007 hingga 2013 adalah bentuk mimikri terbaik sebuah merek dagang. Satu-satunya yang mirip dengan Djarum Super hanya warna bungkus saja. Itu saja hanya sebatas mirip, berbeda dengan meniru. Bintang Buana meniru sebuah aspek paling penting dari kompetitornya, yaitu soal rasa.

Rokok itu tidak jauh berbeda seperti menu sajian berselera bagi masing-masing lidah. Ada rasa yang diolah oleh reseptor lidah, bukan?

Oya, soal mimikri, dalam dunia biologi evolusioner, istilah ini merujuk kepada proses evolusi yang terjadi pada spesies untuk menjadi sama dengan spesies lainnya. Biasanya mimikri menyerupai suatu spesies sebagai salah satu cara menghindari bahaya, misalnya bila berhadapan dengan predator.

Dunia bisnis sama saja. Semuanya bertahan hidup di habitatnya masing-masing. Salah satu strateginya adalah dengan meniru sesuatu. Bisa merujuk ke lingkungan atau ke kompetitornya secara langsung. Bintang Buana melesat setelah berhasil mereplikasi rasa legendaris Djarum Super. Beberapa tahun ke belakang, Gudang Baru adalah contoh sukses lainnya.

Gudang Baru kalah di pengadilan

gudang baru

“Kasar sekali. Untung rasanya masih bisa diterima,” begitu batin saya bergejolak ketika teman saya di komunitas membawa sebungkus rokok Gudang Baru. Ini bukan merek baru. Ia sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, sepanjang “perjalanan hidupnya” dihabiskan dengan berhadapan toe-to-toe dengan Gudang Garam. 

Well, tidak bisa dimungkiri, melihat bungkusnya saja, yang kali pertama muncul dalam pikiran adalah Gudang Garam, bukan Gudang Baru. Bahkan font “International” yang dipakai oleh Gudang Baru sama seperti Gudang Garam. Maklum kalau Gudang Garam membawa perkara mimikri ini ke meja hijau.

Lukisan di bungkus Gudang Baru itu membuat Gudang Garam meradang. Masalahnya, lukisan di bungkus itu sudah didaftarkan dengan nomor IDM000381985, IDM000381705, IDM000491292, IDM000491291, IDM000528993, IDM000528994, dan IDM000528995, Gudang Baru Origin plus lukisan No. IDM000661350 dan IDM000661355, serta merek Gedung Baru plus lukisan No. IDM000528996.

Baca Juga:  4 Cast Film Gadis Kretek Yang Fenomenal

Gudang Garam tidak berhenti di situ. Mereka memohon kepada Kemenkumham mencoret pendaftaran sejumlah merek dari Daftar Umum Merek. Selain itu, Kemenkumham juga diminta menolak berbagai permohonan pendaftaran Gudang Baru, Gudang Baru Origin, dan Gedung Baru.

Dan, begitulah, Gudang Baru kalah di meja hijau. Mereka merespons putusan itu dengan mengganti merek dagang. Intinya, kini pembaca mengenalnya sebagai Gajah Baru.

Sebuah mimikri yang ceroboh

gudang baru meradang

Saya menyebutnya sebagai bold attitude atas kebijakan PT Gudang Baru ketika merilis Gudang Baru. Menyerupai kompetitor itu satu hal. Namun, menyerupai merek dagang besar itu mengandung risiko tinggi. Memang, terkadang, jarak antara kepercayaan diri dan nekat itu sependek ingatan akan mantan: akan selalu muncul, bahkan ketika kita tidak memerintahkan memori itu untuk datang.

Namun, karena itulah saya menyebut sikap Gudang Baru sebagai bold attitude. Sebuah sikap penuh kepercayaan diri, tanpa rasa takut, untuk menantang risiko. Bintang Buana menghindari risiko itu dengan mimikri yang cerdik. Tidak ada yang bisa mempermasalahkan rasa. Bahkan yang mirip sekalipun. Namun, lukisan di bungkus rokok itu sudah dipatenkan.

Oleh sebab itu, mimikri yang dilakukan Gudang Baru ini sungguh ceroboh. Ketika kalah di pengadilan, mereka berpotensi kehilangan citra diri, konsumen, hingga investasi akan merek dagang. Namun, di sisi lain, saya yakin mereka yang membuat konsep Gudang Baru sadar akan risiko itu. Bisa jadi, mereka malah merencanakan hal ini sejak lama. Mereka berani meladeni sebuah konsep bernama the long game.

Ceroboh? Atau justru cerdas?

gudang baru kopi

Konsep ceroboh jadi sedikit blur ketika melihat posisi Gudang Baru sekarang. Keberanian mereka bermain the long game membuat saya sedikit tergelitik untuk tidak menduga-duga.

Tahukah kamu, setelah bersalin nama menjadi Gajah Baru, penjualan mereka sama sekali tidak mengecewakan. Agustus tahun lalu, produksi Gudang Baru yang kini menjadi Gajah Baru tembus 10 miliar batang. Sejak 2022 hingga Juni 2023, banyak yang menyebut Gudang Baru sebagai “raja rokok kelas 2”.

Inilah yang saya maksud sebagai the long game yang dimainkan secara cantik oleh Gudang Baru. Steli Efti, pendiri Closer, sebuah firma yang bergerak di bidang Customer Relationship Management (CRM) kepada Forbes mengungkapkan bahwa the long game itu sangat penting bagi brand. Katanya:

They played the long game and focused on creating awareness with those who knew what their product was for. When you play the long game, every task or project you choose to work on connects to a larger goal. It takes hard work, but it can be worth it in the end when you hit those stretch goals.”

Baca Juga:  GG Shiver, Salah Satu Kesuksesan Gudang Garam

Saya rasa, Gudang Baru berhasil melakukannya ketika berganti nama menjadi Gajah Baru. Mereka berhasil menciptakan awareness kepada konsumen selama masa-masa pertarungan di pengadilan. Lewat rasa yang hampir mirip dan tentu saja: harga per bungkus.

Selain penjualan Gajah Baru yang tidak bisa dianggap sepele, Gudang Baru juga mempunyai merek lain yang mulai mendesak pasar isap tembakau. Merek yang saya maksud adalah rokok Andalan dengan caption “Setiap rasa ada cerita”. Manis sekali.

Penjualan Andalan ini salah satu yang mendongkrak produksi produk Gudang Baru mencapai 10 miliar batang. Hasil manis ini, saya rasa, tidak lepas dari strategi mereka bermain sabar dan cerdas menentukan nama baru.

Semua akan Gudang Baru pada waktunya

gudang baru kopi

Gajah Baru masih lekat dengan Gudang Garam karena kata “baru” di sana. Selain itu, merek “Gajah” juga bukan sembarangan. Di dalam kepala konsumen, merek tersebut sudah begitu besar karena sarung. Jadi, kombinasi keduanya berhasil menjaga konsep Gudang Baru di kepala konsumen.

Razi, salah satu kawan saya di komunitas, dengan sangat yakin bilang bahwa, “Semua akan Gudang Baru pada waktunya.” Sebuah kalimat yang terdengar sombong dan terasa mengganggu. Namun, celakanya, omongan Razi ada benarnya. Semua akan “Gudang Baru” pada waktunya.

Yang saya maksud adalah konsumen akan selalu mencari alternatif demi kenikmatan dirinya. Ketika harga rokok favorit tak lagi bisa digapai, mereka akan mencari jalur alternatif. Ketika sebuah merek berhasil menghadirkan rasa yang sama, sisanya adalah perkara harga.

Mungkin, bagi penggemar fanatik Gudang Garam, merek Gudang Baru (Gajah Baru) itu tidak bisa dikatakan menyerupai. Istilah sederhananya adalah “nggak enak”. Namun, bagi penjelajah merek rokok, di mana harga sangat menentukan, Gudang Baru mampu menghadirkan kerinduan akan kenikmatan akan rokok kelas 1 seperti Gudang Garam atau Djarum Super.

Atas nama kecerdasan bermain the long game dan rasa yang terpelihara, Gudang Baru berhasil berevolusi. Gajah Baru, menurut saya, terlepas dari perdebatan soal rasa, membawa potensi untuk naik menjadi rokok kelas 1. Tentu saja, semua tergantung dari konsisten.

Ingat, inkonsisten soal rasa itu yang membuat Bintang Buana hanya awet di kepala kita selama 6 tahun saja (2007-2013). Gudang Baru sudah punya strategi dan pasar. Kini, yang tersisa adalah menjaga kepuasan konsumen dan bertarung dengan jahatnya cukai di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *