Press ESC to close

Mengenal Istilah-Istilah Pajak Rokok

Sebagai ahli hisap handal, rasanya kurang pas kalau kalian belum mengenal istilah-istilah atau akronim dari produk rokok. Misalnya huruf bertuliskan SKT yang kadang terdapat di sisi kiri atau kanan bungkus rokok yang merupakan singkatan sigaret kretek tangan, sebutan Tingwe atau linting dewe, singkatan HJE di pita cukai atau bahkan istilah Grenjeng yang digunakan di beberapa daerah.

Kali ini saya mau bahas soal istilah pajak dan cukai saja, supaya kalian tahu, singkatan atau istilah dari cukai itu ada nominalnya, ada gunanya, ada manfaatnya, ada sumbangsih pembelinya, ga hanya habis terbakar begitu saja, jadi debu dan jadi cemoohan orang.

Sebagai awal dan perlu kalian pahami, bahwa pajak rokok sama seperti pajak barang seperti minuman dan makanan pada umumnya, ada Objek dan ada Subjek. Di dalam penentuan harga jual rokok di pasaran dipengaruhi oleh 3 komponen pajak yang dibebankan oleh pemerintah kepada konsumen dalam sebungkus rokok. Selain cukai, terdapat PPN (Pajak Pertambahan Nilai), serta PDRD (Pajak Daerah Retribusi Daerah).

Rokok sebagaimana dimaksud meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Sementara subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.

Pajak Rokok

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar. Selanjutnya dari realisasi penerimaan pajak rokok ini dibagi hasilkan dengan proporsi 30% (tiga puluh persen) bagian Pemerintah Daerah dan 70% (tujuh puluh persen) bagian Pemerintah Kabupaten/Kota. Proporsi bagi hasil pajak rokok ke Kabupaten/ Kota dilaksanakan berdasarkan rasio jumlah penduduk Kabupaten/Kota terhadap jumlah penduduk di Daerah.

Sementara itu, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. Definisi tersebut seperti dijelaskan pada Pasal 1 UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun demikian, pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, pajak rokok adalah pungutan berdasar pada cukai rokok yang dipungut pemerintah. Sedangkan cukai rokok merupakan pungutan yang dipungut negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya termasuk sigaret, cerutu dan rokok daun berdasar harga jual rokok. Dengan kata lain, dari produk rokok, pemerintah mengenakan dua jenis pungutan, yaitu cukai dan pajak.

Selain itu pemerintah  daerah juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk adanya rokok ilegal. Dimana penerimaan pajak rokok ini dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Contoh penghitungan Pajak Rokok:

Rokok bermerek “X” dengan Harga Jual Eceran (HJE) per batang Rp 1000 dikenakan cukai dengan tarif spesifik 40% per batang. Maka Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang adalah sebesar :

  • HJE per batang rokok = Rp. 1000
  • Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 1000 =Rp. (400)
  • Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10%
  • Maka pajak yang terutang adalah : 10% x Rp. 400 = Rp. (40)
  • PPN (Pajak Pertambahan Nilai atas Rokok)

Rokok juga merupakan salah satu obyek PPN. Dasar hukum PPN atas rokok adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 yang menjelaskan bahwa hasil dari tembakau disini termasuk rokok.

Berdasarkan ketentuan PMK tersebut yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga jual, Nilai impor, Nilai ekspor, penggantian atau ‘nilai lain” yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak terutang. Pengertian ‘Nilai Lain” adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan pajak.

PPN atas penyerahan hasil tembakau dihitung dengan menerapkan tarif efektif dikalikan dengan Nilai Lain. Besarnya tarif efektif ditetapkan sebesar 8,7 % (delapan koma tujuh persen), Misalnya dalam kemasan rokok tercantum harga jual eceran Rp 18.000 maka si pembeli rokok tersebut sudah membayar PPN sebesar Rp 18.000 x 8,7% = Rp 1.566,-

Atas penyerahan hasil tembakau mulai dari tingkat produsen dan/atau importir, pengusaha penyalur hingga ke konsumen akhir dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai satu kali saja pada tingkat produsen dan/atau importir.

Mengenai PPN atas rokok ini dalam perkembangannya mengalami kenaikan. Kenaikan PPN atas rokok ini didasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Tata Cara 

Baca Juga:  Kenaikan Tarif Cukai Rokok di Bawah 5% Harga Mati

Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Berdasarkan PMK ini menetapkan besaran tarif PPN rokok naik menjadi sebesar 9,1 persen per 1 Januari 

  1. Tarif PPN atas rokok sebesar 9,1 % ini masih di bawah harga normal PPN pada umumnya yaitu 10 %.

Selama ini PPN atas rokok dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) bersamaan dengan pemungutan cukai. Dalam perkembangan yang akan datang, mengenai pemungutan PPN atas rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

Selain cukai, PPN, jenis pajak lain yang dikenakan terhadap rokok adalah pajak daerah. Dasar hukum pajak daerah atas rokok ini adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut PDRD). 

Pasal 2 ayat (1) UU PDRD, diatur bahwa pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak propinsi. Pajak Rokok ini merupakan salah satu jenis pajak baru yang diatur dalam UU PDRD yang sebelumnya tidak ada dalam UU PDRD sebelumnya ( UU Nomor 34 Tahun 2000).

Berlakunya pajak rokok pada tanggal 1 Januari 2014. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PDRD dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 115/PMK 07/2013 tentang tata cara pemungutan dan penyetoran pajak rokok yang dalam perkembangan selanjutnya diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 102 tahun 2017.

Cukai Rokok

Berbeda dengan pajak rokok, maka cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU cukai (Undang-Undang No.11/1995 juncto UU No.39/2007). Nah, salah satu jenis barang yang memenuhi karakteristik itu adalah hasil tembakau. Dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, cukai atas hasil tembakau dinyatakan sebagai cukai rokok.

Cukai sudah lama dipungut baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, cukai dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Cukai sering disebut sebagai Sin tax (pajak dosa (dosa?)). Sin tax menurut para ahli adalah cukai yang dipungut atas perilaku sosial, dalam hal ini perilaku yang dari sisi moralitas dianggap negatif.

Selain itu cukai dianggap sebagai pajak eksternalitas atau Pigovian tax. Pigovian tax ini diterapkan terhadap suatu perilaku ekonomi yang bisa menyebabkan sisi negatif terhadap kegiatan ekonomi lain. Pigovian tax ini banyak diterapkan di negara di wilayah Eropa. 

Cukai saat ini memiliki porsi penerimaan negara dari pajak yang cukup besar yaitu sekitar 9-10 persen atau sekitar 143 triliun rupiah menurut data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 2016.

Pada tahun 2021, pemerintah sudah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau seperti rokok. Berdasarkan pertimbangan pemerintah pada situasi pandemi ini, secara rinci, kenaikan tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) adalah 16,9% untuk golongan I, 13,8% untuk golongan II A, dan 15,4% untuk golongan II B. Sementara jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) adalah 18,4% untuk golongan I, 16,5% untuk golongan II A, dan 18,1% untuk golongan II B.

Subjek cukai rokok adalah pengusaha pabrik atau importir. Sedangkan objek cukai rokok adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

CHT (Cukai Hasil Tembakau)

CUKAI hasil tembakau (CHT) atau kerap disebut pula dengan cukai rokok telah menjadi salah satu sumber pemasukan negara sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.

Pada saat itu, Staatsblad No.517 Tahun 1932 beserta perubahannya menjadi dasar hukum pemungutan CHT. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pemungutan CHT sembari terus melakukan penyesuaian kebijakan. Dalam perkembangannya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.11/1995 tentang cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No.39/2007 (UU Cukai).

Tarif CHT ditetapkan dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau. Besaran tarif CHT itu didasarkan pada jenis hasil tembakau, golongan pengusaha, dan batasan HJE per batang atau gram.

HJE (HARGA JUAL ECERAN)

Sempat disinggung di atas, yang dimaksud dengan batasan HJE per batang atau gram adalah rentang HJE per batang atau gram atas masing-masing jenis hasil tembakau produksi golongan pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir yang ditetapkan menteri keuangan.

Sementara itu, HJE dalam PMK 193/2021 yang mengatur tarif cukai untuk rokok elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL), adalah HJE minimum yang ditetapkan menteri keuangan. PMK 193/2021 tidak memberikan definisi HJE minimum.

Baca Juga:  Katon Bagaskara dan Ritual Isap Cigar Sebelum Naik Panggung

Juga, berdasarkan Pasal 1 PMK No.146/PMK.010/2017 jo. PMK No. 152/PMK.010/2019, yang menjadi dasar dalam perhitungan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE). Ada dua jenis tarif cukai yang dikenakan pada rokok, yaitu tarif berupa jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau (spesifik) dan tarif berupa persentase dari harga dasar (ad valorem).

HTP (Harga Transaksi Pasar)

Namun, HJE minimum yang dijelaskan tadi biasanya menjadi batasan yang harus diambil pengusaha industri hasil tembakau apabila ingin menjual produknya di pasaran. Selain HJE, pembicaraan mengenai tarif CHT juga lekat dengan Harga Transaksi Pasar (HTP). Adapun HTP adalah besaran harga transaksi penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir. Merujuk PMK 192/2021 pengusaha dapat menetapkan HTP lebih rendah ketimbang HJE, sepanjang tidak lebih rendah dari 85% HJE.

Terkait dengan HTP, masih berdasarkan PMK 192/2021, pejabat Bea dan Cukai akan melakukan pemantauan HTP di wilayah kerja masing-masing pada periode pemantauan tertentu. Pemantauan HTP ini dilakukan dengan membandingkan HTP dengan HJE yang tercantum dalam pita CHT.

Pemantauan HTP dilaksanakan untuk memastikan agar HTP tidak melampaui batasan HJE per batang atau gram di atasnya atau kurang dari 85% dari HJE yang tercantum dalam pita CHT. Mengutip laman resmi DJBC, pemantauan HTP salah satunya dimaksudkan untuk menciptakan persaingan industri rokok yang sehat.

Sebab, pemantauan HTP dapat memastikan harga rokok yang diperjualbelikan tidak melampaui batasan HJE atau HJE dalam pita cukai. Kegiatan ini dilaksanakan dengan mendatangi penjual eceran rokok secara acak, menghimpun informasi dan data harga penjualannya, sekaligus memberikan edukasi terkait rokok ilegal. Agak puyeng bacanya? Semoga tidak.

Pita Cukai

Sebagai penutup, kita bahas yang paling ringan saja; Pita Cukai. Sesuai dengan PMK 52/PMK.04/2020, pita cukai disediakan oleh Menteri Keuangan dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai tanda pelunasan cukai yang merupakan dokumen sekuriti.

Pita cukai memiliki bentuk fisik, spesifikasi, dan desain tertentu. Pada bentuk fisik pita cukai berupa kertas yang memiliki sifat atau unsur sekuriti, sedangkan spesifikasi pita cukai paling sedikit berupa kertas sekuriti, hologram sekuriti dan cetakan sekuriti.

Pada desain pita cukai memuat lambang Negara Republik Indonesia, lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tarif cukai, angka tahunan anggaran dan harga jual eceran atau jumlah isi kemasan. Pada desain pita cukai tentunya sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2019 terdapat ketentuan terbaru yang mengatur bentuk fisik dan spesifikasi desain pita cukai hasil tembakau.

Pada pita cukai hasil tembakau disediakan dalam bentuk lembaran dengan tiga seri yakni seri I, seri II, dan seri III dengan perekat dan tanpa perekat. Setiap seri tentunya memiliki ukuran yang berbeda-beda. Ada ukuran tersebutlah yang akan membuat jumlah keping pita cukai per lembarnya berbeda.

Macam-macam ukuran yang dimaksud di atas;

  1. Seri I dengan jumlah 120 keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1,2 cm x 11,7 cm dan Memiliki hologram dengan ukuran lebar 0,7 cm.
  2. Seri II dengan jumlah 56 keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1,7 cm x 17,7 cm dan Memiliki hologram dengan ukuran lebar 0,5 cm.
  3. Seri III tanpa perekat dengan jumlah 150 keping per lembar dengan ukuran setiap keping 2,3 cm x 4,8 cm dan Seri III dengan perekat dengan jumlah 60 keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1,9 cm x 7,4 cm. Dan hologram Seri III tanpa perekat dengan ukuran lebar 0,5 cm dan pita cukai dengan perekat berukuran 0,6 cm.

Terakhir, saya lupa menyarankan untuk membaca tulisan ini sambil duduk tenang menikmati sore di teras rumah atau sedang santai ditemani rokok dan segelas minuman hangat, karena tulisan ini cukup panjang dan perlu dipahami perlahan. Salam sebat wahai para konsumen taat pajak.

Fajar Restu

Fajar Restu

Nggak bisa tidur kalau belum diucapin selamat malam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *