Pilihlah orang secara acak, bisa di angkot, di halte, di gedung-gedung perkantoran, atau dimanapun. Lantas tanyakan apa maksud kalimat yang tertera pada tiap bungkus rokok, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Jawabannya nyaris pasti akan merujuk pada satu kalimat: memberi peringatan kepada para perokok dan orang lain tentang bahaya rokok.
Kesehatan menjadi faktor istimewa dalam kontestasi dan konstelasi isu rokok, atau tembakau secara umum. Lazim diketahui, bahwa para anti-rokok, setidaknya dua dekade belakangan, telah berhasil mendorong isu kesehatan dalam tiap pembicaraan tentang rokok atau tembakau.
Sebagian besar orang memahami, bahwa semua peringatan atau tanda bahaya wajib segera dikabarkan sehingga orang yang diperingatkan akan selamat dari bahayanya. Lebih-lebih jika si pemberi peringatan ini menyangka orang yang diberi peringatan tak menyadari bahaya tersebut. WHO, atau Majelis Kesehatan Dunia, mencontohkan tindakan mulia ini.
Seperti yang dirilis di situs resminya, badan dunia yang kita cintai ini sungguh khawatir terhadap kesehatan para perokok. Di laman yang sama, WHO dengan lantang menyebutkan bahwa perokok bahkan tidak benar-benar sadar terhadap pilihan mereka sendiri. Pilihan itu tentu saja adalah merokok.
*****
Pernahkah anda membayangkan, alangkah indahnya jika setiap benda yang berpotensi membahayakan tubuh diperlakukan sama sebagaimana rokok. Itu artinya segala jenis junk food yang berpotensi menumpuk kolesterol, kendaraan bermotor berpotensi kecelakaan, pisau yang berpotensi melukai fisik, dan lain sebagainya, dan seterusnya. Kalau hal itu dilakukan, mestinya berbagai peringatan akan muncul di setiap benda. Semuanya. Adakah benda yang 100% tidak berbahaya?
Kita semua, umumnya, menyadari akan adanya resiko yang menyertai setiap benda. Tapi di sisi lain, tentu saja kita juga akan menghitung kebermanfaatan kenapa kita tetap berdekatan dengan benda-benda tersebut. Dalam benda-benda tersebut, dengan sendirinya terkandung manfaat dan resiko sekaligus.
Belum lagi jika kita memilih benda tersebut karena alasan ideologis dan prinsipil. Seperti orang yang memilih untuk merokok, atau mereka yang berhenti merokok. Tentu saja setiap orang punya basis pengalaman dan kalkulasi yang berbeda dengan orang lain. Kalkulasi ini, bahkan seringkali susah dipahami oleh orang lain.
Di sudut inilah, kampanye kesehatan yang digaungkan anti-rokok menjadi sangat lucu dan norak. Pertama, karena para aktivis anti-rokok merasa sebagai orang sok tahu, yang mengerti hal terbaik bagi diri para perokok.
Lebih-lebih, data yang digunakan untuk memberi dasar ke-sok-tahu-an itu bisa diperdebatkan seluruhnya, termasuk poin utama yang paling banyak digunakan oleh para ksatria kesehatan anti-rokok sebagai ‘senjata pamungkas’. Ada 2 soal, yakni perokok yang menderita kanker paru-paru dan perokok pasif. Lantas, jika landasan ‘kebenaran’nya saja masih bisa diperdebatkan, bagaimana mungkin kita bisa percaya terhadap kesimpulan yang mereka tarik, yang dihujamkan pada orang-orang yang secara sadar memilih untuk merokok?
Kedua, ada yang lebih dalam dan berbahaya ketimbang ke-sok-tahu-an yang lucu dan norak itu. Para aktor anti-rokok, mulai WHO yang mulia, industri-industri yang tidak suka tembakau dan rokok, aparatur negara, dan aktivis-aktivis ‘independen’ mulai melakukan apa yang biasa dilakukan oleh rejim otoriter: menggunakan segala jenis kekuatan untuk memaksa pihak lain mengikuti mereka.
*****
Hal ini pastinya mengejutkan. Di tengah gelontoran wacana soal liberalisasi yang bermuara pada individualisasi, WHO dan negara beserta aparat-aparatnya masih saja melarang suatu pola hidup yang tidak mereka senangi. Pun, di tengah gencarnya pemerintah menghajar publik dengan gagasan demokratisasi, mereka juga tidak menghargai pilihan-bebas warganya. Karakter yang hanya dapat ditemui pada pemerintah otoriter.
Bagaimana hal ini bisa dimengerti?
Kalau mau adil secara praktis, dan memang berlandaskan pada asas keadilan, tentu saja mesti dicatumkan pula tanda bahaya, seperti tersebut di atas, pada setiap benda yang mempunyai potensi bahaya bagi pemakainya. Selain itu, jika memang peduli dan bertujuan untuk mempromosikan kesehatan, kenapa tidak ada tempat-tempat yang dikhususkan untuk perokok? Seperti restoran atau kereta untuk perokok, dsb.
Kalau dilihat dengan sedikit cermat, nyaris segala aspek kesehatan dalam tembakau dan rokok yang diriuhkan adalah hanya sekedar alat. Isu kesehatan hanya digunakan untuk mencapai tujuan yang nantinya menjadi sangat ‘biasa’ dan ‘klise’. Kita bisa berkaca dan merefleksikan hal ini pada berbagai justifikasi kesehatan serupa terhadap benda-benda sejenis tembakau. Kopra, garam, dan gula, misalnya.
Singkat cerita, para anti-rokok di level puncak, sejatinya, tidak pernah peduli tentang kesehatan kita yang awam ini.
Maka, kalau sudah diliputi ketaksadaran pada kekosongan-ganda ini, segeralah ambil jarak dan berpikir ulang, lalu biasakan untuk tidak ‘menghukum’ orang yang secara sadar memilih untuk menjadi perokok. Karena secara personal itu berarti menghina akal sehat kita sendiri, baik yang merokok maupun yang memperingatkan. Mereka menganggap kita tak mengerti apa yang diri kita sendiri butuhkan. Serta bagaimana kita bertanggung jawab atas kesehatan diri kita sendiri.
Kedua, tindakan-tindakan pemaksaan dan ‘penghukuman’ semacam inilah akar dari rejim otoriter. Tentu saja kita tak ingin rejim tersebut hadir lagi di negara yang kita sayangi ini.
Untuk memudahkan anda mengambil jarak dan berpikir ulang, saya beri anda semua bocoran. Mereka-mereka itu, anti-rokok, hanya peduli (dan selamanya akan begitu) pada satu hal: uang. Mereka ingin mengambil paksa uang dari saku kita dan yang lebih ngeri lagi, merampok tanah air kita ini. Sesederhana itu.
- Psikologi Perokok - 6 September 2013
- Kretek dan Cita Industrialisasi Indonesia (Bagian 2) - 1 April 2013
- Kretek dan Cita Industrialisasi Indonesia (Bagian 1) - 22 March 2013