Press ESC to close

Wong Feihung, Kretek dan Kebudayaan Lokal

Tokoh Wong Feihung, tentunya tidaklah asing di telinga para penggemar film-film laga. Cerita Wong Feihung merupakan seorang tokoh nyata yang diangkat keatas layar lebar. Wong Feihung adalah seorang jago kungfu –seni bela diri asli Tiongkok– yang juga merupakan seorang tabib. Dalam cerita-cerita yang diangkat Guru Wong Feihung adalah seorang yang dengan teguh mempertahankan prinsip-prinsip pengobatan Tradisional Tiongkok.

Bagi saya, sedikit cerita tentang Wong Feihung bisa membawa kita dalam diskusi panjang tentang kebudayaan lokal untuk kedaulatan dan kebangsaan. Kebudayaan secara umum adalah sebuah kesatuan dari ide, aktifitas dan artefak. Memahami kebudayaan tidaklah bisa kita pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Artefak atau benda-benda hasil karya kebudayaan tentunya tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari sebuah aktifitas yang terjadi dan ide penciptaan sebagai sebuah gagasan pikiran manusia. Kesatuan itulah yang kemudian kita katakan sebagai sebuah karya kebudayaan.

Tidak sedikit orang yang secara sempit mengarahkan bahwa persoalan kebudayaan hanyalah persoalan kesenian dan lebih parah lagi “hanya” sekadar pariwisata. Hasil-hasil kebudayaan bisa pula berupa ilmu pengetahuan, teknologi, barang konsumsi, adat, perilaku ataupun berupa nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Minyak Kelapa, Jamu, dan Kretek

Dalam diskusi kali ini saya ingin mencontohkan tiga hasil kebudayaan asli Indonesia yang kini “dimatikan”. Minyak Kelapa telah dikenal bangsa Indonesia, bahkan ratusan tahun sebelum bangsa Indonesia berdiri. Minyak kelapa telah akrab dengan kehidupan di Nusantara, bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan. Minyak kelapa selain kita kenal digunakan untuk menggoreng, juga digunakan sebagai bahan bakar lampu penerangan pada masa lalu. Dengan minyak kelapa, malam-malam menjadi penuh cahaya tanpa meninggalkan jelaga hitam pada hidung sewaktu kita bangun dipagi hari.

Minyak kelapa juga akrab dengan proses penyembuhan yang diwariskan oleh orang-orang tua sebelum kita. Masih teringat dalam ingatan saya ketika nenek memberikan minyak kelapa ketika perut kembung, dan menggunakan pula ramuan minyak dan bawang merah untuk “kerokan” atau pijat pada saat badan panas. Tradisi menggunakan minyak kelapa sebagai pengobatan kini telah digusur oleh obat-obatan modern produk dari pabrik-pabrik farmasi. Bukan saja itu produksi minyak kelapa Indonesia telah hancur sejak akhir 1980-an akibat kampanye mengonsumsi minyak kelapa bisa mengakibatkan kolesterol, dan sebagainya.

Baca Juga:  Jika Industri Hasil Tembakau Mati, Apakah Nasib Para Pembenci Rokok Bakal Lebih Baik?

Kedua adalah tentang Jamu tradisional. Atas nama ilmu kedokteran modern, meminggirkan keberadaan jamu tradisional sebagai metode pengobatan. Jamu dituduh sebagai pengobatan kuno, tidak ilmiah, dan dekat dengan dunia mistik. Argumentasi yang diusung oleh para ahli kesehatan kita selalu saja berdalih bahwa obat tradisional tidak manjur, dan jikalau manjur harus membutuhkan proses yang lama. Kedua adalah pemahaman para dokter yang sudah terlanjur terkonstruksi dalam sistem pendidikan barat, sehingga argumentasi tentang uji doble-blind dengan skala besar menjadi tameng mereka. Lalu siapa yang bisa melakukan uji tersebut? Tentunya mereka perusahaan farmasi besar yang menguasai 90% lebih bahan baku obat di Indonesia. Kealpaan Negara dalam melakukan perlindungan terhadap jamu telah berakibat pada pembajakan kekayaan hayati kita. Kasus terbaru adalah ketika hak paten temulawak berhasil didapatkan oleh LG, sebuah perusahaan asal Korea Selatan.

Contoh ketiga adalah kretek yang saat ini sedang menjadi polemik dalam perdebatan pro dan kontra. Kretek adalah produk kebudayaan asli Indonesia, dia diciptakan oleh orang Indonesia, diproduksi di Indonesia dan telah akrab dalam ritus keseharian dan spiritualitas masyarakat. Berbeda dengan rokok putih yang hanya menggunakan tembakau virginia, Kretek menggunakan tembakau asli Indonesia dan tentunya dengan campuran cengkeh. Sebuah tanaman yang telah mendorong bangsa-bangsa Eropa menjelajahi dunia dan mencari darimanakah asal tanaman yang biasa kita sebut Cengkeh ini. Kini kretek semakin diasingkan dalam masyarakat yang telah membesarkan kebudayaannya. Anehnya, kini dilakukan peringatan Hari Anti-Tembakau Dunia, padahal tembakau dan rokok itu berbeda, tapi disamakan dengan target utama adalah tembakau.

Baca Juga:  BPPC, Monopoli Gaya Orde Baru

Produk Lokal, Kebudayaan Lokal dan Kemandirian Indonesia

Disinilah, saya belajar pada cerita Wong Feihung yang saya sampaikan diatas. Wong Feihung dengan teguh mempertahankan cara pengobatan Tradisional Tiongkok ditengah arus modernitas yang sedang melanda Tiongkok pada masa tersebut. Hinaan, cibiran dan cacian tidak mengubah pendiriannya. Dan bisa kita lihat hari ini, pengobatan-pengobatan ala Timur secara ilmiah tidaklah kalah dari pengobatan cara Barat. Dengan kukuatan pengetahuan lokal bangsa Tiongkok kini menjadi salah satu kiblat pengobatan dunia.

Selama ini kita terlalu terilusi oleh kebenaran-kebenaran ala barat. Mental-mental inlander rupanya belum bisa hilang walaupun Proklamasi telah dikumandangkan sejak tahun 1945. Kita terlalu minder dengan pengetahuan kita sendiri.

Kita selalu menganggap jika penelitian yang dilakukan orang barat adalah sebuah kebenaran. Kita tidak seteguh Wong Feihung yang mempertahankan cara pengobatan Tiongkok ditengah gempuran pengobatan modern. Kita juga seteguh Ki Hajar Dewantara yang berani berdebat dengan Sutan Takdir Alisjahbana tentang sistem pendidikan modern dan berakar pada kebudayaan Indonesia. Semangat Ki Hajar Dewantara kini tidak lebih dari frasa Tut Wuri Handayani tanpa kita tahu apa maksud dan kedalaman arti falsafah pendidikan ala Ki Hajar Dewantara dalam memajukan sistem pendidikan kita.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara