Di penghujung tahun 2012, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang “Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan” (yang kemudian disebut PP Tembakau). Penulis akan membagi tulisan ini dalam tiga bagian. Bagian pertama akan mengulas dasar hukum PP Tembakau perspektif konsumen tembakau. Bagian kedua akan mengulas PP Tembakau dengan perspektif konsumen rokok. Sedangkan bagian ketiga adalah implikasi PP Tembakau terhadap konsumen rokok.
PP Tembakau adalah produk hukum yang sangat berakibat langsung kepada konsumen tembakau di Indonesia. Di hadapan PP Tembakau, posisi konsumen rokok tidak bisa dikebiri begitu saja. Selain petani tembakau, industri rokok, pengasong rokok, dan buruh industri rokok, konsumen rokok adalah elemen dengan jumlah terbesar yang berhubungan langsung terhadap PP Tembakau. Dengan demikian, mengkaji PP Tembakau dengan perspektif konsumen adalah keniscayaan.
Sebelum membahas PP Tembakau, kita perlu membahas dasar hukum terbentuknya PP Tembakau. Peraturan Pemerintah tentang Tembakau ini merupakan turunan dari Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 116 tentang Kesehatan yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 116 tersebut tidak berdiri sendiri, pasal ini disokong oleh pasal 113 tentang “Pengamanan Zat Adiktif”. Secara sederhana bisa dikatakan, pasal 113 adalah alasan mengapa PP Tembakau perlu dibentuk, sedangkan Pasal 116 adalah pasal yang mengamanatkan pembentukan PP Tembakau.
Pasal 113 UU 36/2009 berjudul “Pengamanan Zat Adiktif” berbunyi, Ayat 1: ”Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.” Dengan isi pasal demikian, artinya, pasal itu akan mengatur semua produk yang mengatur zat adiktif, tanpa terkecuali, agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan konsumen, baik dilevel keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Di Indonesia banyak sekali produk yang dikonsumsi oleh masyarakat, yang dalam terminologi kesehatan dianggap mengandung zat adiktif. Ada yang secara hukum legal, ada pula yang illegal. Hubungannya dengan Pasal 113 UU 36/2009, ayat 1 dari pasal tersebut mengamanatkan pemerintah untuk mengatur semua produk yang dalam dunia kesehatan dianggap mengandung zat adiktif, baik legal maupun yang illegal, yang dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Dalam terminology kesehatan, beberapa zat adiktif yang secara hukum legal dikonsumsi oleh masyarakat diantaranya: (a) Caffeine (kafein), contohnya : kopi, teh, soda, dan minuman suplemen; (b) Nikotin, contohnya : rokok, cerutu, potongan nikotin , kopi dan produk stimulant untuk meningkatkan dopamine dan adrenaline; (c) Alkohol, contohnya : Wine (anggur), bir, (beer), Liquor, dan lain sebagainya; (d) Inhalants, contohnya : erosol, solvents (bahan untuk pembersih) dan gas nitrat, yang biasa dipakai untuk produk cat thinner, hair spray, dan lain sebagainya; (e) Amphetamine, contohnya speed, crystal meth, dan produk lain yang dipakai untuk meningkatkan konsentrasi; (f) Sedative-hypnotic, atau obat-obat hipotik, contohnya Benzodiazepines Xanax, Valium, barbiturates, Seconol, phenobarbital; (g) Opioids, contohnya: Heroin, morfin, oxycodone, kodein dan obat bius lainnya.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat pasal 113 ayat (1), pengamanan zat-zat adiktif setidaknya melingkupi semua produk yang mengandung zat adiktif di atas. Belum lagi zat adiktif yang illegal, yang tidak disebutkan dalam daftar di atas. Namun, penjelasan mengenai ayat (1) yang tertuang pada ayat (2) pasal 113 UU 36/2009, malah secara jelas hanya menyebut tembakau: “ Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.
Dari tujuh zat adiktif versi dunia kesehatan, yang secara legal dapat dipasarkan di Indonesia, ayat (2) secara tendensius hanya menyebut tembakau. Ayat ini sangat lemah, karena tidak dijelaskan, mengapa hanya tembakau yang diatur. Dan kenapa pula tembakau dianggap sebagai zat adiktif. Pada pasal 113, dan pasal lain dalam UU 36/2009, juga tidak disebutkan, mengapa hanya tembakau yang diatur, sedangkan enam zat adiktif lain sama sekali tidak disebut dalam pasal yang berjudul “Pengamanan Zat Adiktif” ini. Juga tidak disebutkan, mengapa tembakau dianggap sebagai zat adiktif.
Padahal, posisi tembakau sebagai zat adiktif, menurut hemat saya masih perlu dipertanyakan. Benarkah tembakau termasuk adalah zat adiktif (addictive substances)? Ataukah merupakan perilaku adiktif (addictive behaviors)? Ataukah mengkonsumsi tembakau itu sekadar kebiasaan (habit), sebagaimana ketika kita mengkonsumsi produk-produk lain?
Dalam terminologi kesehatan telah banyak dijelaskan, ada banyak akibat yang bisa timbul sebagai akibat dari mengkonsumsi zat adiktif. Profesor emeritus di bidang Applied Health Science asal Indiana University, Ruth Clifford Engs, menyebutkan, ada 10 akibat yang ditimbulkan dari zat adiktif, yakni:
(1) Orang menjadi terus-menerus terobsesi atas barang tersebut; (2) Mereka akan tergantung, meskipun hal itu berakibat buruk (baik masalah pekerjaan, fisik, kinerja, studi, dan relasi dengan teman-teman, keluarga, rekan sekerja); (3) Mengalami gangguan obsesif kompulsif (OCD), bergantung dan sulit untuk berhenti. (4) Setelah penghentian konsumsi, ia akan mengalami gejala sakau atau depresi; (5) Orang akan mengalami kehilangan kontrol atas dirinya; (6) Dia sering menyangkal adanya akibat negatif dalam dirinya, meskipun orang lain dapat melihat efek negative yang timbul; (7) Orang tersebut akan bertingkah aneh dan menyembunyikan perilaku buruk setelah keluarga atau teman dekat telah mengingatkan; (8) Banyak orang dengan perilaku adiktif akan kehilangan kesadaran dalam perilakunya, termasuk tidak ingat apa yang ia lakukan, berapa lama ia duduk, berapa banyak mengkonsumsi dan sebagainya; (9) Mengalami depresi; (10) Memiliki kepercayaan diri yang rendah dan merasa cemas.
Dengan deskripsi mengenai akibat yang timbul dari zat adiktif di atas, apakah tembakau bisa digolongkan dalam zat adiktif? Apakah dengan mengkonsumsi tembakau, orang akan mengalami kehilangan kendali atas apa yang mereka lakukan? Dan kalau orang berhenti merokok, apakah ia akan mengalami sakau? Karena kanyataannya, orang yang mengkonsumsi tembakau tidak lantas kehilangan kesadarannya, juga tidak lantas kehilangan kendali atas perilakunya. Dan kalau berhenti mengkonsumsi tembakau, baik untuk sementara atau seterusnya, dia tidak mengalami gejala sakau. Orang tidak harus diterapi untuk berhenti merokok. Karena secara sadar ia bisa melakukannya sendiri, mengambil keputusan itu sendiri, dengan tanpa diterapi. Contoh lain misalnya, ketika puasa, seorang perokok yang tiap harinya biasa merokok, juga tidak mengalami sakau meskipun seharian tidak merokok.
Saya tidak perlu menyangkal apakah tembakau adalah zat adiktif atau bukan, tetapi kita bisa menilai sendiri. Informasi mengenai ciri-ciri gangguan zat adiktif diproduksi oleh ilmu kesehatan. Penggolongan tembakau sebagai zat adiktif, juga dikeluarkan oleh ilmu kesehatan. Namun pada kenyataannya, keduanya mendapati fakta lapangan yang tidak sejalan. Penggolongan rokok sebagai zat adiktif, secara bertolak belakang bertentangan dengan deskripsi pengkonsumsi zat adiktif yang dikeluarkan oleh ilmu kesehatan. Keduanya kontradiktif.
Dan kalaupun benar bahwa tembakau termasuk zat adiktif, pasal 113 UU 36/2009 di atas secara tegas tampak menghakimi pengguna dan konsumen tembakau di Indonesia. Para konsumen kafein, alcohol, inhalants, amphetamine, secative-hypnotic, dan opioids yang juga dianggap mengandung zat adiktif dalam dunia kesehatan, ternyata tidak diatur. Sedangkan konsumen tembakau—dengan zat adiktif bernama Nikotin—dianggap berbahaya dan harus diatur. Pengaruh UU ini terhadap konsumen rokok di Indonesia sangat besar. Konsumen rokok dikebiri dikriminalisasi. Kalaupun benar bahwa tembakau adalah zat adiktif, konsumen tembakau tidak diperlakukan sama dengan konsumen produk lain yang juga dianggap mengandung zat adiktif. Artinya, bunyi ayat (2) pada pasal 113 tersebut sudah tidak adil dan tendensius sejak dalam pembentukan dasar hukumnya.
Padahal mestinya, kalau mau konsisten, sesui dengan judul pasal 113, yakni “Pengamanan Zat Adiktif”, ayat (2) harusnya menjelaskan semua zat adiktif, tanpa terkecuali. Hal ini dipertegas pada ayat (3), dengan bunyi pasal: “Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.” Bunyi pasal tersebut secara tegas mengatakan bahwa pengaturan yang dimaksudkan semestinya meliputi semua zat adiktif, tanpa terkecuali. Dengan demikian, ayat (2) pasal 113 ini adalah ayat yang salah arah dan tendensius.
Padahal pasal 133, terutama ayat (2), itulah yang dijadikan sebagai dasar bagi pasal 116 UU 36/2009 untuk mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif. Dengan demikian, PP nomor 109 tahun 2012 Tentang Tembakau yang merupakan amanat dari pasal 116 UU 36/2009, akhirnya menjadi PP yang salah arah dan intimidatif terhadap konsumen tembakau.
Secara jelas dan kasat mata, pasal-pasal dalam UU kesehatan tahun 2009 di atas adalah pasal-pasal yang tidak konsisten, dan menghakimi konsumen tembakau. Kenapa menghakimi? karena ternyata hanya tembakaulah yang diatur. Padahal ada banyak barang yang dalam dunia kesehatan juga dianggap sebagai zat adiktif, yang juga bisa dikonsumsi secara legal. Kalau mau berlaku adil, UU yang mengamanatkan “Pengamanan Zat Adiktif”, mestinya mengatur semua zat adiktif versi dunia kesehatan yang disebutkan di atas.
Namun kenyataannya tidaklah demikian, yang diatur dalam UU tersebut hanyalah tembakau. Ini sama saja mengatakan, konsumen tembakau adalah sosok yang keberadaannya berbahaya dan membahayakan, sehingga perlu diatur. Padahal, tembakau adalah produk legal, tindakan mengkonsumsi tembakau juga tindakan yang legal, sebagaimana mengkonsumsi produk-produk lainnya. Syahdan, UU Nomor 36 tahun 2009 yang merupakan dasar dari PP Tembakau adalah UU kriminalisasi konsumen tembakau, di mana konsumen tembakau adalah konsumen yeng mengkonsumsi barang legal, tetapi diatur dan dilarang-larang seakan-akan mengkonsumsi barang illegal. Konsumen tembakau yang tidak mengalami gangguan sebagaimana ciri-ciri pengkonsumsi zat adiktif, tetapi dianggap berbahaya, dikendalikan dan lebih jauh perlu diterapi. Dalam hal ini, konsumen tembakau yang dikriminalisasi bukan saja konsumen rokok, tetapi juga konsumen produk tembakau yang lain.
- Ragam Rokok Diplomat yang Ada di Pasaran - 29 May 2023
- Kenapa Sebaiknya Kita Tidak Merokok Saat Berkendara? - 14 February 2023
- Konsumen Kretek adalah Pahlawan; Refleksi Hari Konsumen Nasional 2014 - 20 April 2014