Press ESC to close

Kretek dan Cita Industrialisasi Indonesia (Bagian 2)

Mungkin beberapa pihak kurang jelas memahami, kenapa dalam tulisan ini begitu banyaknya (industri) rokok kretek nasional harus dibahas. Sejak dahulu, industri rokok kretek adalah satu dari sangat sedikit industri yang menyerap langsung hasil perkebunan tembakau. Hanya sekian persen yang diserap oleh industri di sektor lain, seperti kosmetik. Pola ini juga bisa ditemukan dalam sektor lain, seperti tebu/gula.

Ditjen Perkebunan menyebutkan, pada tahun 2010, luas areal untuk tanaman tembakau di Indonesia adalah 216.271 ha. Tahun 2011, luasnya meningkat menjadi 227.510 ha atau naik 5.20%. Jika 1 ha lahan tembakau dikelola sekitar 3-10 orang (yang nyata-nyata adalah Warga Negara Indonesia) ditambah anggota keluarga yang dihidupi masing-masing orang tersebut, bisa diperkirakan sendiri jumlah tenaga kerja yang bergelut di sektor tembakau.

Ditambah lagi, tembakau adalah tanaman yang tidak gampang haus. Biasanya, para petani yang memiliki siklus tanam padi-padi atau padi-jagung akan menanam tembakau untuk menyiasati musim kemarau. Benar, ini karena tembakau adalah tanaman yang tidak gampang haus. Kecuali jenis BesNOTA (Besuki Na-Oogst Tanam Awal, jenis tembakau yang digunakan untuk bahan baku cerutu), tembakau cukup diairi 3 atau 4 kali per tanam.

Dari sisi harga, sekalipun nyaris tiap tahun selalu ada sengketa soal penetapan harga beli oleh pabrik, harga per kilo tembakau kering masih di atas komoditas pertanian atau perkebunan lain, seperti misal padi atau tebu. Untuk jenis tembakau istimewa, harganya bisa mencapai Rp 100.000,- sampai di atas Rp 1 juta per kilo (seperti Tembakau Campalok di Sumenep, Pulau Madura dan Tembakau Srintil di Temanggung, Jawa Tengah). Singkatnya, tembakau adalah tanaman yang sangat ekonomis.

Maka tidak salah ketika para petani di pelosok kabupaten-kabupaten termangu kebingungan dan menjerit ketika beberapa pihak menyarankan mereka untuk alih tanaman. Persoalan alih tanam tidak semudah memberi benih atau bibit gratis. Persoalan alih tanam turut serta membawa implikasi adaptasi tanah, ekonomi, sosial, budaya, dan di beberapa daerah sampai pada aspek politik bagi orang-orang yang bersangkutan secara langsung.

***

Jika mau lebih cermat lagi, angka di atas belum ditambah tenaga kerja dari mata rantai setelah-setelahnya di sektor ini. Seperti jumlah buruh di pabrik-pabrik rokok dan pedagang asongan yang sehari-harinya menunggui lapak dan atau berjalan menembus udara panas perkotaan membawa kotak penuh berisi berbagai macam rokok kretek.

Saya tambahkan soal ini apabila dilihat dari perspektif konsumen. UU APBN 2013 memproyeksikan penerimaan negara dari pita cukai rokok (yang notabene dibayar oleh konsumen) sebesar Rp 88 T lebih sedikit. Jumlah ini berada di atas penerimaan negara yang berasal dari pajak migas yang ‘hanya’ sebesar Rp 71,38 T (pajak minyak bumi 23,98 T dan pajak gas bumi Rp 47,39 T).

Penerimaan ini, yang disebut sebagai Cukai Hasil Tembakau, setiap tahunnya tercatat meningkat. Yang menarik, ketika usai menetapkan target penerimaan, negara akan langsung mendapat cukai ini. Karena pabrikan rokok akan menalangi dulu cukai yang nantinya akan dibebankan kepada konsumen.

Jika di tengah tahun anggaran berjalan ternyata penjualan batang rokok melebihi target, negara masih tetap akan menerima selisih kelebihan dari penjualan per batang rokok. Ini dibuktikan dari pendapatan negara yang konstan meningkat tiap tahunnya.

Padahal, dampak yang ditimbulkan oleh eksploitasi migas nyata-nyata lebih buruk bagi lingkungan sekitar, bahkan menasional. Salah satunya tentu saja kasus Lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai hingga hari ini.

Baca Juga:  Menyoal Hukuman Penjara Karena Puntung Rokok

***

Dalam tulisannya di buku yang sama, Hartarto juga menjlentrehkan dengan jelas tahap-tahap yang bisa ditempuh oleh negara/swasta nasional untuk industrialisasi Indonesia. Hartarto menyebut ini sebagai tahapan karena ia bersikukuh kalau aspek-aspek ini harus dilakukan secara berurutan, berkesinambungan, dan sinergis dari hulu hingga hilir yang seperti saya ungkapkan di atas, berpangkal pada diversifikasi pertanian.

Dimulai dari Industri pengolahan hasil produksi primer pertanian. Langkah penting yang perlu dilakukan untuk mencapai visi industri Indonesia 2030 adalah penelitian yang berkesinambungan untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas.

Hal Ini dapat dilakukan pada sebagian hasil pertanian, kelautan, dan kehutanan (misal sawit, karet, kelapa). Tembakau termasuk di dalamnya karena ia memiliki potensi untuk terus dikembangkan dan produktivitasnya masih bisa ditingkatkan secara signifikan. Jika sukses, implikasinya akan bisa dengan mudah ditebak: daya saing petani dan pengusaha lokal/nasional akan kuat menghadapi perusahaan-perusahaan asing.

Setelah dua tiang pancang itu sudah berdiri mapan, tahap berikutnya akan menjadi lebih spesifik. Yakni pengembangan industri tekstil, serat-serat sintetis dari pabrik petrokimia, baja, dan kemudian adalah pembangunan industri sarat teknologi seperti rancang bangun yang notabene membuka peluang untuk pengembangan teknologi pabrikan dengan cepat.

Disusul dengan penguatan industri kimia dasar seperti pupuk, gas, dan minyak bumi. Hal konkret terakhir adalah pengombinasian sektor-sektor jasa menjadi sebuah barisan industri yang kuat.

***

Hari ini, mudah saja membantah sekian banyak argumen Hartarto yang sudah saya urutkan di atas. Jangankan melaju pada high-tech atau kolaborasi industri-industri padat mesin, pada level industri hasil pertanian seperti kretek saja, hambatan sudah sekian banyak.

Setelah tantangan dari MNC asing sejenis, psywar dan fieldwar juga telah ditabuh oleh MNC-MNC farmasi yang bersiap menggantikan pabrik-pabrik nasional di pasar rokok dengan produk NRT (Nicotine Replacement Teraphy).

Kampanye anti-tembakau internasional yang disebut Okta Pinanjaya dan Waskito Giri S. dalam Tipu Muslihat Kapitalis Global (2012) sebagai ‘Politik Zig-Zag’ (karena alurnya yang rumit dan pola yang dikerjakan sering samar) telah berhasil mengubah culture-set publik dalam memandang persoalan ini.

Bahkan, beberapa kelompok masyarakat di dalam negeri juga turut menghancurkan industri nasional ini. Alih-alih mendorong pemerintah melindungi sambil terus membenahi relasi pabrikan dengan kelas masyarakat yang lebih terhimpit, penghancuran sistematis yang dikoordinasi di tempat nun jauh di sana, dengan konsolidasi modal dan jaringan dari gabungan anak-anak JD Rockefeller-JP Morgan (duet kapitalis tulen internasional yang menyebabkan pecahnya perang di beberapa kawasan, negara-negara runtuh dan miskin, dsb.) malah didukung dengan tanpa memandang selubung ideologis dan permainan politik penguasaan pasar ini.

Banyak yang masih percaya bahwa perang internasional terhadap tembakau lokal dan kretek adalah perjuangan membela kesehatan masyarakat. Sementara operasi pasar MNC rokok dan farmasi di Indonesia makin menghebat. Regulasi-regulasi pembatasan dan pelarangan dibuat. Bahkan, sampai di level stigmatisasi. Kesemuanya, jika disederhanakan dalam istilah sepak bola adalah: offside.

***

Pierre Lemieux, menuliskan provokasinya terhadap pabrikan rokok yang terpublikasi di The National Post pada 18 Juli 2000.

“Saya menyarankan agar para eksekutif perusahaan tembakau harus meninggalkan dunia mimpi, segera bangun, dan masuk ke dunia nyata. Gaya hidup para konsumen mereka sedang berada di bawah ancaman serangan kekuatan-kekuatan otoriter. Senyum komersial dan para pengacara mahal belum cukup baik melakukan serangan balik melawan propaganda dan pemaksaan negara (oleh rezim kesehatan. Hanya gagasan dan diskusi rasional yang dapat memenangkan pertarungan.”

Baca Juga:  Komunitas Kretek Nilai Pemerintah Munafik Naikan Cukai Rokok

Dengan lugas, ia melanjutkan:

“… Tapi ada alasan lain soal pasifnya perusahaan-perusahaan rokok. Ini merujuk pada apa yang disebut oleh para ekonom: masalah tindakan kolektif. Perusahaan-perusahaan ini selalu tergoda untuk membiarkan tiap kompetitornya bertarung sendirian melawan kekuatan-kekuatan gelap seperti pembatasan dan pemaksaan negara, lalu meraup keuntungan atas kemenangan yang tidak pasti tersebut tanpa harus menyokong biaya-biaya resistensi tertentu.”

Lemieux menyatakan juga bahwa, sama halnya dengan pabrikan-pabrikan lain di sektor usaha lain pula, persaingan merebut pasar adalah layaknya tinju di dalam ring. Jika seorang dipukul, petinju lain harus membalas. Kalaupun tidak bisa menang KO, setidaknya bisa menang angka atau minimal memaksakan draw. Bukan hanya diam saja bagai sansak empuk.

Soal pertama tentu saja adalah penyeragaman gaya hidup yang dilakukan oleh rezim kesehatan internasional. Manusia Indonesia tidak boleh menghisap kretek yang merupakan hasil karyanya sendiri. Soal kedua yang kiranya lebih penting adalah soal kemandirian dan kedaulatan ekonomi Indonesia lewat industrialisasi nasional yang saya coba jelaskan sebelumnya.

Sebagai salah satu pemain di sektor yang menjadi tiang pancang industrialisasi nusantara, pabrikan rokok wajib mempertahankan diri dan melawan perusahaan-perusahaan asing, baik MNC rokok putih atau farmasi.

Telah banyak contoh bagaimana komoditas lokal/nasional dihancurkan oleh rezim asing ini. Sebut saja gula, kakao, jamu, dan yang paling membuat geleng-geleng adalah garam. Bagaimana lucunya negeri dengan garis pantai teramat panjang ini sampai harus mengimpor garam?

***

Maka dengan alasan-alasan tersebut, dengan segala kekurangan dan perilaku yang masih sangat perlu diawasi dan diperbaiki, dengan tata-niaga yang diantaranya tidak terpuji, saya bersepakat dengan judul tulisan Pierre Lemieux yang dua kali saya kutip di sini: Tobacco Companies Must Strike Back! (Perusahaan Kretek Harus Menyerang Balik!)

Jika kemudian pabrikan kretek berhasil membuat perlawanan, hal ini akan menjadi preseden bagus untuk swasta nasional yang lain ketika berhadapan dengan MNC yang bertebaran dan siap menerkam Indonesia.

Jika pabrikan kretek menyadari dan melakukan hal ini, mereka akan membutuhkan segala sumber dayanya, dan di titik ini kita semua bisa optimis para petani dan buruh yang mereka pekerjakan akan memiliki nasib lebih baik dari pabrikan-pabrikan di sektor lain.

Tapi apabila pabrikan kretek tetap mempertahankan posisi mereka yang sekarang, tidak segera bertindak, maka dalam waktu yang tidak lama lagi, mata rantai industri ini akan berpindah tangan. Sejumlah besar keuntungan akan dikirim ke negara asal MNC. Indonesia hanya mendapat ‘uang receh’, nestapa pekerja, serta sisa-sisa lain berupa sesal dan air mata.

Lebih jauh lagi, cita industrialisasi nusantara yang digadang-gadang Hartarto terjadi di tahun 2030 akan dengan cepat musnah ditelan imperialisme global.[]

Sumber Foto: Eko Susanto (Flickr)

Arys Aditya

Arys Aditya

Penerjemah lepas dan sampai sekarang bergelut di Kelompok Belajar Tikungan Jember, Jawa Timur.