Press ESC to close

Pajak Ganda Inkonstitusional dan Menzalimi Konsumen Rokok

Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) mengemukakan empat asas pemungutan pajak yang lazim disebut “The Four Cannons Maxims Taxation“. Suatu aturan hukum tentang pajak yang adil harus memenuhi syarat (a) Asas kesamaan (equality) dan keadilan (equity); (b) asas kepastian hukum (certainty); (c) asas tepat waktu (convenient of payment); dan (d) asas economic of collection yang mengharuskan biaya pemungutan pajak harus relatif kecil dibandingkan dengan pajak yang masuk.

Dalam hal ini asas-asas dimaksud dapat menjadi acuan analisis bagi ketentuan pajak rokok dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah [UU PDRD] agar ketentuan dimaksud memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, kecuali maxim ketiga dan keempat yang hanya bersifat memberi petunjuk dalam pelaksanaan atau implementasi norma.

Asas kesamaan (equality) dan keadilan (equity) dalam The Four Maxim tidak memperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

Teori asas gaya beli memberikan pendasaran tentang keadilan (equity) dalam pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya. Teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Ibarat pompa maka negara mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.

Teori ini mengajarkan, penyelenggaraan kepentingan masyarakat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan pula bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Jadi teori ini menitikberatkan ajaran kepada fungsi pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur.

Baca Juga:  Perkara Perokok di Kereta, Mari Belajar dari Jepang

Fungsi mengatur yang adil seharusnya terdapat dalam ketentuan Pasal  1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 181 UU PDRD. Ketentuan tersebut mengatur pajak rokok sebagai pajak daerah. Sistem pemungutan pajak rokok mengacu pada tarif cukai rokok di tingkat pusat, sehingga ketentuan tersebut berakibat pada pembebanan pajak yang berbeda antara warga negara, khususnya yang perokok dengan para pemikul pajak daerah lainnya.

Warga negara perokok memikul pajak daerah (selain pajak rokok) yang ditetapkan berdasarkan desentralisasi dan sekaligus pajak rokok yang mengacu pada besaran cukai rokok yang sentralistik. Dengan demikian, ketentuan tersebut menekankan fungsi mengatur yang tidak adil, hal mana pajak rokok telah membuat pembedaan kedudukan hukum antara warga negara, khususnya yang perokok selaku wajib pajak di daerah yang otonom.

Pertimbangan konstitusionalitas menunjukkan bahwa frasa “setiap orang” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah setiap subjek hukum. Dalam teori hukum, yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang perorangan (individu) dan badan hukum. Dengan demikian, perorangan warga negara, khususnya konsumen rokok yang merupakan subjek hukum memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi tersebut. Melalui uraian asas kesamaan (equality) dan keadilan (equity) dalam The Four Maxim dan teori gaya beli di atas, maka jelas dan terang bahwa Pasal  1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 181 UU PDRD telah membuat pembedaan kedudukan hukum antara pembayar pajak di daerah otonom, sehingga ketentuan UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Baca Juga:  Menkeu: Dana Bagi Hasil Cukai Rokok Tahun ini Rp 2,7 Triliun

Selanjutnya, asas kepastian hukum (certainty) dalam The Four Maxim menyatakan, pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam asas certainty ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

Bahwa dengan berlakunya Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD terjadi tumpang tindih pengenaan pajak (cukai rokok dan pungutan atas cukai rokok) oleh dua Undang-Undang yang berbeda terhadap satu objek pajak sehingga tidak terdapat kepastian mengenai subjek, objek, besarnya pajak dan ketentuan waktu pembayarannya di tingkat daerah yang otonom.

Terlepas dari apakah dalam praktik pengenaan pajak ganda (cukai rokok dan pungutan atas cukai rokok) ini terjadi atau tidak, ketentuan yang dimohonkan pengujian a quo secara potensial merupakan pajak ganda yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dimaksudkan asas kepastian hukum (certainty) dalam The Four Maxim dan konstitusi, sehingga ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pengenaan pajak ganda semacam ini mendzolimi dan mendiskriditkan konsumen rokok.

Sumber Foto: Eko Susanto (Flickr)

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara