Asap rokok beraroma klembak pekat membubung hampir dalam setiap kesempatan manakala para aktivis LSM, akademisi, mahasiswa, dan kelompok-kelompok kesenian progresif mengadakan pertemuan dan berbagai program kegiatan bersama warga dan petani di Urutsewu pesisir Kebumen Selatan. Bagi mereka yang pernah menghabiskan masa-masa hidupnya di pedesaan atau daerah terpencil, aroma klembak menyan dari kepulan asap rokok itu bukan sesuatu yang aneh. Namun para aktivis LSM, akademisi, mahasiswa, dan seniman yang berasal dari basis perkotaan biasanya akan memberikan respon tertentu. Menyaksikan penduduk di sepanjang pesisir Urutsewu menggapit sebuah rokok warna putih polos, berbentuk seperti lilin, dan menguarkan aroma klembak pekat. Mereka biasanya bertanya: rokok macam apa yang dihisap?
Bagi warga laki-laki di Urutsewu, rokok klembak menyan adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. Aktivitas individual maupun sosial—bekerja di ladang atau berdagang, menghadiri resepsi pernikahan hingga rapat-rapat desa dan menyelenggarakan mujahadah—tak pernah jauh dari kepulan asap rokok dan aroma klembak. Pilihan terhadap rokok semacam itu rasional. Mereka tak mungkin memboroskan uang secara membabi-buta hanya untuk membeli rokok produksi pabrik-pabrik besar yang harganya mahal bagi kantong mereka. Waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sebatang rokok klembak juga jauh lebih panjang dibandingkan dengan rokok pabrikan. Sementara aroma khas klembak yang harum menjadi citarasa yang tak akan bisa didapati di rokok produksi Djarum, Dji sam soe atau Gudang Garam. Dan yang paling realistis: barangnya mudah didapatkan karena bisa dibuat sendiri atau diperoleh dari industri rumah tangga di sekitar mereka.
Lalu apa hubungannya antara rokok yang bentuknya seperti lilin kecil ini dengan para aktivis LSM, akademisi, peneliti, dan seniman yang datang dengan berbagai kepentingan ke wilayah pesisir Urutsewu tersebut? Bukankah jenis rokok mereka sangat berlainan dengan rokok warga Urutsewu? Dalam suatu kesempatan, ketika beberapa elemen pergerakan seperti YAPPI, FKMA, dan GLI berkumpul di rumah Seniman—salah satu tokoh pergerakan petani di wilayah Urutsewu—di desa Petangkuran, secara bercanda salah seorang warga berseloroh bahwa elemen-elemen itu akan bisa diterima dengan baik oleh warga Urutsewu kalau bisa menikmati rokok klembak menyan. Selorohan serupa muncul saat serombongan seniman dan akademisi menghadiri rumah Sunu Widodo di desa Wiromartan, saat para aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Solidaritas Budaya untuk Masyaraka Urutsewu bekerja bahu membahu di desa Mirit, Mirit Petikusan, Lembu Purwo, Setrojenar, dan Tlogo Pragoto untuk mempersiapkan Pentas Budaya Rakyat 16 April 2014 lalu.
Bisa saja kita menganggap selorohan atau ‘clekopan’ dari warga itu sebagai angin lalu. Namun bagi mereka yang berpengalaman dalam gerakan sosial-kebudayaan akar rumput, ungkapan dari warga Urutsewu tersebut bisa menjadi titik krusial bagi keberhasilan berbagai elemen pergerakan dalam memasuki jiwa masyarakat Urutsewu, menggali informasi lebih jauh tentang aspek-aspek budaya, sejarah, sosial, dan politik masyarakat setempat. Bukan hal yang mustahil keberhasilan para aktivis LSM, akademisi, seniman, dan pengacara itu dalam bekerjasama dengan warga ditentukan lewat ritual ‘inisiasi’ mereka ke dalam masyarakat lokal lewat rokok klembak menyan! Bukankah ritual keagamaan dan politik dengan media tembakau dulu juga dipakai oleh suku-suku Indian?
Dalam dunia gerakan sosial-kebudayaan akar rumput era 1960-an, kita mengenal konsep turun ke bawah atau turba dari lembaga-lembaga kebudayaan yang memiliki hubungan ideologis dengan partai. Lembaga-lembaga kebudayaan seperti Lekra, LKN, dan Lesbumi memiliki bentuk turba-nya sendiri. Namun secara garis besar, turba adalah terjun sedalam-dalamnya ke tengah-tengah kehidupan massa luas terutama massa buruh, tani, dan lapisan masyarakat pekerja lainnya. Dalam turba, para aktivis sosial dan kesenian itu menyelidiki hingga semaksimal mungkin keadaan lapisan-lapisan masyarakat ini, menyelami dan meresapi perasaan, elan, suka-duka dan harapan-harapan mereka(Kusni JJ, 2005, hal. 83). Menurut Hersri Setiawan, dalam turba para aktivis tersebut harus menjalankan tiga sama (sama makan, sama tidur, dan sama bekerja) sebelum melakukan kesamaan ke empat (sama berdiskusi).
Dalam kasus masyarakat pessir Urutsewu, media untuk bergaul rapat dengan warga setempat sudah gamblang: kesukaan mereka dengan rokok klembak menyan. Maka tanpa bisa dibantah lagi, penyelidikan maksimal tentang keadaan lapisan-lapisan masyarakat Urutsewu dan keberhasilan para aktivis pergerakan dalam menyelami dan meresapi perasaan, suka-duka, dan harapan-harapan mereka akan bisa dengan mudah dilakukan kalau mereka bisa menikmati rokok yang biasa dinikmati warga. Prosesnya mungkin bisa timbal balik: warga menghisap rokok dari pabrik besar seperti Djarum, Sampurna, dan Gudang Garam, sementara para aktivis menikmati rokok lokal.
Jadi jelas sudah ketangkasan kita menindaklanjuti selorohan atau ‘clekopan’ untuk menikmati rokok klembak menyan warga setempat dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal (termasuk dalam kerja-kerja ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan) dengan aktivis pergerakan, akademisi, peneliti, dan kelompok seniman bisa menjadi jurus jitu untuk mengeratkan hubungan emosional antara warga dan kaum aktivis pergerakan. Kalau di tahun 1960-an kita mengenal tiga atau empat sama, dalam kasus Urutsewu, para aktivis pergerakan yang doyan merokok harus menambahi konsep turba mereka dengan sama merokok klembak menyan!
Penulis adalah cerpenis, penggiat sastra, sekaligus aktifis. Tinggal di Yogyakarta
- Rokok Kretek sebagai Propaganda Politik Anti Jepang - 13 May 2014
- Rokok Klembak Menyan dan ‘Ritual’ Inisiasi di Urutsewu - 22 April 2014